Mohon tunggu...
Wamdi Jihadi
Wamdi Jihadi Mohon Tunggu... -

Nilai kita bukan pada apa yang kita miliki, namun apa yang kita beri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berita

4 April 2016   08:01 Diperbarui: 4 April 2016   08:19 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami warga perumahan terkejut dan menggeleng. Seakan tidak percaya dengan kabar yang dibawakan presenter berita di sebuah stasiun televisi siang itu. Tapi ketika kupindahkan ke chanel yang lain pun tak jauh berbeda, mereka sepertinya sepakat untuk Breaking News dalam berita yang sama. Bagaimana kami tidak terperanjat karena penyiar itu mengabarkan perihal pemimpin kami, ya kepala daerah kami yang baru beberapa bulan lalu terpilih dan diresmikan. Dan kini menurut aparat hukum ia terdakwa dalam kasus korupsi yang juga melibatkan orang-orang di sebelit pinggangnya.

 “Maaf pak, tapi bukankah kepala daerah ini baru terpilih?” tanya pewancara pada sesi dialog sore hari itu.

“Saudara, masalah korupsi ini bisa saja terjadi di pangkal, di tengah, atau di penghujung jabatan seseorang. Tinggal mungkin ada di antara mereka yang baru terkuak di akhir atau setelah tidak lagi memegang kendali. Tergantung lengkap atau tidaknya bukti, bukan!”

“Dan bagaimana menurut saudara melihat perihal ini?” sambil melambaikan tangannya presenter itu kemudian menyilakan penasehat hukum terdakwa.

“Ah, saya melihat Bapak ini dan teman-temannya terlalu gegabah dalam memutuskan klien saya sebagai terdakwa, tapi ya kita lihatlah nanti dipersidangan. Kami juga tentunya mempunyai barang bukti yang segunung banyaknya.”

Debat dan adu argumen tak dapat dielakkan. Satu persatu bersitengang urat leher mempertahankan pendapatnya. Masing-masing ingin dilihat bahwa kebenaran itu berumah dalam mulut mereka.

“Cuma harap dicatat,” ujar pengamat politik di sesi terakhir sambil menegakkan jari telunjuknya. “Kita patut kasihan pada daerah yang satu ini. Bukankah untuk kesekian kalinya kepala daerahnya terjerat!”

Berhari-hari kemudian berita itu masih saja diulang-ulang, didialogkan, diperdebatkan, dikecam, dikasihani, dan dikait-kaitkan dengan ini dan itu seperti benang yang kian kusut.

***

Kami tinggal di daerah yang kekayaan alamnya tiada tara. Perut bumi tanah kami menyimpan minyak yang miliaran barrel hitungannya, sementara di atasnya subur berbagai tetumbuhan yang sebagiannya enggan hidup di tempat lain. Dan bahkan konon kabarnya ibu kota negara ini pun menyusu ke tanah kami.

Dulu sewaktu sekolah dasar ada pertanyaan tentang daerah terkaya di negeri ini, tentu saja kujawab ibu kota negara dan kota-kota yang ramai penduduknya. Kini, setelah dewasa aku yakin jawabanku kala itu salah, karena justeru daerahku inilah yang benar. Tapi apa aku benar-benar salah? Sebab aku dan orang-orang sekampungku memang hidup miskin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun