Mohon tunggu...
Wamdi Jihadi
Wamdi Jihadi Mohon Tunggu... -

Nilai kita bukan pada apa yang kita miliki, namun apa yang kita beri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berita

4 April 2016   08:01 Diperbarui: 4 April 2016   08:19 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kau harus rajin belajar dan sekolah tinggi-tinggi Haris,” masih terngiang petuah bapak bertahun silam, “Karena dengan cara itulah kau bisa mengusir kemiskinan ini.”

Aku memang menurutinya. Kutinggalkan pelosok kampung di hulu sungai Rokan sana yang memang hanya menyediakan sekolah dasar. Sementara sekolah menengah pertama dan atas kuteruskan di ibu kota Provinsi ini. Dan lima tahun lalu tunai sudah hingga perguruan tinggi. Namun sepertinya petuah bapak itu belum menemukan tuahnya. Aku tetap saja seperti dulu, miskin. Bekerja sebagai karyawan rendahan di salah satu perusahaan, cuma sekarang bedanya sudah sarjana.

Namun berita yang menghiasi layar kaca beberapa hari terakhir ini memberiku jawaban yang lain. bahwa di tanah ini tidak berlaku lingkaran setan yang mengatakan bahwa orang miskin karena tidak terdidik atau orang tidak terdidik karena miskin. Aku sekarang meyakini bahwa orang-orang tidak terdidik dan miskin karena negeri ini salah asuhan. Kami seperti mangsa yang selamat dari mulut harimau tapi sayang terlempar ke mulut buaya.

***

“Mari Bapak Ibu, jangan lupa diajak keluarga kita untuk datang memilih kepala daerah pagi ini di lapangan sekolah!” teriakku mengingatkan warga perumahan beberapa bulan lalu. Lewat penggeras suara seruan itu selalu kuulangi setiap jam hingga masa pemilihan usai. Kami sebagai panitia bahkan sudah bekerja sejak sore sebelumnya; menyiapkan tenda, bangku, kursi, tali batas, kotak suara, dan berbagai pernak pernik lainnya.

Berduyun-duyun warga yang datang di hari itu memberikan hak suaranya. Suami istri bergandengan tangan sepertinya sudah sehati dalam pilihan. Anak-anak muda bergerombol sambil memamerkan kartu pemilihannnya (soalah ingin menyampaikan bahwa mereka sudah dewasa). Orang-orang tua yang jalannya disangga tongkat pun tiba, memilih dan duduk dalam waktu yang lama mengingat dan menceritakan kembali pemilu tahun lima-lima. Penjual jamu gendongan berhenti, penjaja es berhenti. Bahkan ada seorang ibu memangku anaknya yang tidak sudah-sudah menangis, “Sebentar sayang, Sebentar,” ujarnya. “Ibu pilih dulu pemimpin yang setidaknya bisa menurunkan harga susumu.”

“Siapa bagusnya saya pilih, Pak Haris?” tanya tetangga sebelah rumahku separuh berbisik.

“Aih, pilih sajalah salah satu! Jangan lupa sebut nama Tuhan. Semoga pemimpin kita kali ini tidak seperti yang dulu-dulu lagi.”

Ramainya warga yang datang hingga jam pencoblosan usai membuat kami penitia merasa lega. Tidak sampai di situ, mereka yang tadinya telah memilih dan pulang kembali hadir ketika kotak suara dibuka dan nama-nama pasangan calon dibaca satu persatu. Sesekali ketika satu nama mengungguli nama lainnya sekelompok orang berteriak, sepertinya itu pilihan mereka. Begitu pun sebaliknya. Tapi hingga surat suara terakhir dibacakan tidak ada di antara para pendukung yang saling serang, saling caci maki dan merendahkan. Kami bahkan penutup prosesi itu dengan doa bersama, berharap siapa pun terpilih nantinya bisa menggeser hidup kami ke arah yang lebih baik.

***

Sore itu sepulang dari perusahaan kulihat mahasiswa sesak di jalan raya depan gubernuran, sebagian merangsek ke pintu pagar yang dijaga ketat oleh petugas keamanan. Macet pun tak dapat dielakkan, kendaraan beringsut bagai siput. Sesekali jalan untuk kemudian berhenti dalam waktu yang panjang. Bunyi klakson tanpa henti pecah dengan pekikan, teriakan mahasiswa yang berorasi bergiliran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun