Mohon tunggu...
Walentina Waluyanti
Walentina Waluyanti Mohon Tunggu... Penulis - Menulis dan berani mempertanggungjawabkan tulisan adalah kehormatan.

Penulis. Bermukim di Belanda. Website: Walentina Waluyanti ~~~~ Email: walentina.waluyanti@upcmail.nl ~~~ Youtube channel: Kiki's Mom

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengalaman Mistis Menyapa Hantu dan Sangkaan Buruk

12 Desember 2021   20:43 Diperbarui: 13 Desember 2021   07:02 1052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Jalan di Belanda. (Sumber: Pikist)

Setelah menjadi pelajar sekolah menengah, kebiasaan bangun subuh menjadi kebutuhan. Saya termasuk pelajar yang khawatir kalau mendapat nilai jelek saat ulangan. Jadi sebelum berangkat ke sekolah, saya selalu membaca materi pelajaran, meskipun malam sebelumnya sudah saya baca juga.

Setelah bermukim di Belanda, kebiasaan bangun subuh sudah telanjur menjadi kebiasaan yang terus melekat. Subuh merupakan waktu terbaik bagi saya untuk menulis ataupun membaca. Pikiran masih segar.

Meskipun tidak mesti menghasilkan tulisan yang sudah jadi setiap hari, tapi setiap subuh saya membuat catatan kecil. Entah itu sekadar konsep, paragraf pendek, atau sekadar rangkuman kecil yang mungkin nanti akan saya butuhkan.

Selain itu, saya juga suka berolahraga saat masih subuh. Di usia saya yang tidak muda lagi, berat badan saya mudah sekali naik. Jadi saya mesti berolahraga.

Dulu saya suka jogging. Tapi di usia senja ini saya sudah tidak berani berolahraga yang berat-berat. Jalan kaki atau jalan cepat, rasanya sudah cukup.

Pengalaman Mistis di Subuh Hari

Saya bukan termasuk orang yang percaya pada hal-hal mistis. Tidak suka nonton film horor. Juga tidak tertarik pada dunia mistis. Dan karena tidak tertarik, saya juga tidak percaya bahwa saya bisa mengalami hal mistis.

Tetapi entah ini hal mistis atau bukan, pernah saat berolahraga di subuh hari, saya mengalami sesuatu yang aneh.

Saya berolahraga sendirian. Kompleks tempat tinggal saya adalah daerah yang aman. Dan saya sudah biasa berolahraga sendirian saat subuh.

Masih agak gelap ketika saya berjalan di trotoar. Saya pelankan langkah saat melihat seseorang berdiri di sisi trotoar dengan memegang sepedanya. Sepertinya orang itu perempuan, bersiap-siap naik sepeda. Pakaiannya jas berwarna gelap, dengan penutup kepala. Pakaian seperti ini biasa di Eropa, apalagi saat musim dingin.

Orang itu menyapa saya. Merasa disapa, saya melihat wajahnya. Siluet wajahnya yang sangat putih menyembul di keremangan. Tapi ini bukan hal aneh. Namanya juga di Eropa. Bertemu orang berkulit putih, itu hal biasa.

Saya membalas sapaannya dengan berucap, "Selamat pagi!" Tapi saya agak ragu. Betulkah orang itu tadi mengucapkan selamat pagi kepada saya?

Tadi ia memang mengucapkan sesuatu, tapi tidak jelas. Saya hanya mendengar suara seseorang yang sepertinya sangat tua. Suaranya gemetar, tapi tidak jelas apa yang diucapkannya.

Saya meneruskan langkah. Tapi penasaran dengan ucapan tak jelas dari orang itu. Tadi orang itu bilang apa? Lalu saya menoleh. Pada saat saya menoleh, orang itu sudah tidak ada.

Dan karena orang itu tidak ada di tempatnya semula, kontan saya berhenti. Mungkin orang tadi sudah berkendara dengan sepedanya? Saya melihat ke sepanjang jalan. Tidak ada sepeda dan tidak ada satupun kendaraan yang lewat. Juga tidak ada orang lain yang terlihat, selain saya sendiri. Jalan ini lurus saja, tidak ada belokan.

Kalaupun orang itu bersepeda dengan cepat... masak iya, orang bisa menghilang secepat itu dalam hitungan detik di jalan yang lurus ini? Lampu jalanan memberi penerangan cukup. Mata saya bisa melihat ke sepanjang jalan. Tak ada orang bersepeda, tak ada orang lewat, juga tak ada mobil dan tak ada kendaraan lainnya.

Apakah tadi saya sedang saling menyapa dengan hantu? Seketika saya lari sekencang-kencangnya.

Dari suaranya, orang itu mestinya sudah sangat tua. Biasanya orang setua itu di Belanda sudah pensiun, tinggal di rumah saat subuh begini. Jarang ada lansia pensiunan di Belanda yang bersepeda di tengah dinginnya subuh.

Saat lari sekencang-kencangnya karena ketakutan, saya sudah lupa usia. Rasanya kecepatan lari saya saat itu bisa mengalahkan kecepatan pelari estafet usia 20-an. Saya yang tadinya tidak berani berolahraga berat, malah mendadak berolahraga tingkat Olimpiade.

Saat lari, saya merasa hantu itu sedang mengganduli punggung saya. Mungkin hantu itu menempelkan tangannya di tengkuk saya. Tentu saja ini  cuma perasaan saya saja.

Hantu yang Sesungguhnya

Pengalaman mistis menyapa hantu, membuat saya merenungkan sesuatu. Bahwa kadang sangkaan-sangkaan buruk kita sendiri sebetulnya adalah "HANTU" yang sesungguhnya.

Ketika saya merasa punggung saya diganduli hantu, saya merasa sudah sewenang-wenang terhadap sesama hantu, eh... maksud saya sesama makhluk.

Sewenang-wenang, karena sudah berburuk sangka terhadap hantu. Kalaupun hantu itu mau mengganduli punggung, siapa tahu si hantu lebih memilih punggung orang lain ketimbang punggung saya?

Apa dasarnya saya menganggap diri saya begitu penting, sehingga mencurigai pihak lain menjadikan "AKU" sebagai sasaran? Sebegitu pentingkah diri saya?

Mudah berburuk sangka terhadap orang lain, juga sering dilakukan oleh orang yang "jempol jari kakinya panjang". Ini adalah ungkapan orang Belanda.

Orang Belanda menyebut "jempol jari kakinya panjang" (lange tenen) untuk orang yang gampang tersinggung. Karena panjang, jempol kakinya mudah terantuk sesuatu. Jari kaki kalau sudah terantuk sedikit saja, sakitnya bukan main.

Perumpamaan di atas juga diberikan kepada seseorang yang mudah merasa terhina dan mudah tersakiti. Ini karena hampir setiap ucapan orang dirasanya ditujukan kepada dirinya. Mudah merasa orang menyindir dirinya.

Kakek nenek kita mengungkapkannya dengan kalimat, "Jangan dimasukkan ke hati." Ungkapan ini ditujukan kepada orang yang sangat sensitif, mudah tersinggung karena menghubungkan segala sesuatu secara personal dengan dirinya.

"AKU" Bukan Pusat Jagat Raya

Terlalu obsesif dengan diri sendiri, seakan diri sendiri adalah pusat jagat raya. Ini adalah gambaran tepat untuk orang-orang yang mudah tersinggung.

Orang-orang yang melihat dirinya sebagai orang penting, berstatus sosial tinggi di dalam masyarakat, biasanya sangat mudah tersinggung.

Salah ngomong sedikit, ucapan orang lain sangat mudah diinterpretasikan sebagai sindiran yang ditujukan kepada dirinya. Padahal mungkin orang lain itu berbicara biasa saja, tentang fenomena umum atau tentang diri sendiri. Tidak spesifik menunjuk ke pribadi tertentu.

Piet bercerita kepada Ben bahwa ia bangga bisa mengantar anaknya jadi orang sukses. Ben tersinggung, merasa Piet sedang merendahkan dirinya bahwa anaknya tidak sesukses anak Piet. 

Kalau Piet mengatakan bahwa pemilik rumah di kompleks perumahannya umumnya orang yang berpenghasilan tinggi? Ben merasa Piet menghinanya bahwa penghasilannya lebih rendah.

Ketika dua orang yang lewat berbicara sambil tertawa dan melihat ke seorang ibu, si ibu langsung merasa bahwa dua orang itu sedang mengejek dirinya.

Orang membunyikan klakson dengan keras di belakang, saya langsung tersinggung, merasa dihardik kasar. Padahal orang itu mungkin memang sedang terburu-buru karena teringat kompor di rumahnya lupa dimatikan. Bukan karena marah terhadap saya.

Orang-orang yang mudah tersinggung, seolah mudah menempatkan "AKU" sebagai pusat jagat raya. Juga mudah membuat orang lain menjadi "tersangka".

Orang yang mudah tersinggung, terhina dan tersakiti, menempatkan dirinya sendiri sebagai korban. Padahal boleh jadi yang menjadi korban adalah sebaliknya.

Yang menjadi korban justru adalah orang lain yang diperlakukan sebagai "tersangka" secara sewenang-wenang, disangka telah menghina dan menyinggung dirinya. Padahal belum tentu demikian. Akibatnya setiap bertemu orang yang disangka telah menghina tersebut, timbul kebencian tanpa alasan.

Bencana nasional dan bencana internasional bisa terpicu akibat menjatuhkan prasangka-prasangka kepada orang lain secara sewenang-wenang, hanya berdasarkan asumsi semata. 

Sejarah mencatat, karena prasangka terhadap orang-orang yang disangka komunis tanpa bukti, bisa terjadi pembantaian massal. (Kalaupun benar-benar terbukti komunis, tentu saja tidak menjadi pembenaran untuk melakukan pembantaian).

Prasangka juga bisa menjadi hantu yang mengakibatkan bencana internasional. Karena prasangka Hitler terhadap etnis Yahudi, mengakibatkan genosida dengan korban tewasnya 6 juta orang Yahudi. Prasangka ini juga berlanjut kepada orang-orang non-Yahudi yang tak tergolong ras Arya, sehingga mereka ini juga ikut menjadi korban genosida.

Dengan berburuk sangka terhadap orang lain hanya berdasarkan asumsi pribadi, seseorang telah menciptakan "HANTU" yang sesungguhnya.

Kembali lagi ke nasihat kakek nenek kita, "Jangan dimasukkan ke hati."

"Ah, bicara memang gampang. Sakitnya tuh di sini, tahu?!!", kata Anda sambil menunjuk dada.

Tapi hidup memang menjadi lebih ringan ketika kita selalu mengingat bahwa diri kita bukanlah pusat jagat raya.

Kalaupun ada orang lain yang benar-benar ingin membuat diri kita tersinggung, mungkin justru itu bisa menjadi cambuk pembuktian diri. Membuktikan bahwa diri kita tak seburuk yang diduga.

Bukankah kesuksesan bisa tercapai bukan hanya karena dibanjiri pujian, tapi juga karena dicambuk oleh celaan dan kritik? (Tidak berarti bahwa orang boleh sesuka hati mencela orang lain).

Dan kalaupun ada orang yang memang bermaksud membuat tersinggung, orang itu pun bukanlah pusat jagat raya. Masih banyak urusan lain yang lebih penting untuk diurusi.

Kadang-kadang juga lebih praktis dengan mengubah fokus bukan lagi ke "AKU". Tetapi mencoba berpikir dari perspektif orang lain. Lihatlah niat di balik ucapan atau tindakan orang lain.

Kita tidak suka orang lain berpikir bahwa diri kita buruk. Jadi tidaklah adil berpikir buruk tentang orang lain tanpa betul-betul mengenal orang tersebut.

Cobalah berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan lain yang ada di dalam pikiran orang lain, tanpa perlu mengaitkannya dengan "AKU" alias diri sendiri. ***

Penulis: Walentina Waluyanti

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun