Saya tidak punya akun di Facebook dan Instagram. Saya merasa tidak punya cukup waktu untuk itu. Terlebih ketika pertama kali saya mulai punya website sejak 12 tahun lalu, yang berguna untuk menampung hobi menulis saya. Kegemaran menulis, belum lagi yang lainnya, itu sudah cukup menyita waktu.
Satu-satunya alasan mengapa saya akhirnya punya akun di Youtube baru beberapa bulan ini, Â tadinya karena satu alasan sederhana saja. Sebagai seorang ibu dari seorang putri yang sudah berkeluarga, saya ingin mewariskan resep masakan melalui cara kreatif padanya. Sesuatu yang bisa menjadi kenangan abadi. Terutama resep masakan Nusantara.
Dahulu nenek saya mewariskan buku resep masakan yang ditulis tangan kepada ibu saya. Sekarang saya pun ingin melakukan hal yang sama kepada putri saya, namun dengan cara kekinian. Jika dahulu nenek saya mewariskan resep melalui buku tulis, saya mewariskannya melalui video di Youtube. Saya ingin ini bisa bermanfaat buat putri saya, syukur-syukur kalau juga bisa bermanfaat bagi orang lain.
Hal utama yang penting bagi saya, kontennya itu harus dapat memberi manfaat. Meskipun itu tadinya ditujukan sebagai warisan buat putri saya, tapi kalau bisa, orang lain pun dapat memetik manfaatnya.Â
Satu hal yang mesti disadari, manfaat itu saya bagikan di media sosial. Ini artinya saya harus menyadari konsekuensi bergiat di media sosial.
Haruskah "Aku" Sama dengan "Aku" di Media Sosial?
Jawabnya ya. Tapi bukan jawaban "ya" itu yang penting. Yang paling penting adalah mengetahui mengapa jawabannya "ya".
Saya percaya tujuan orang hidup adalah menjadi berarti bagi orang lain. Meskipun banyak orang percaya tujuan hidup yang utama adalah bahagia, tapi saya berpendapat lain.Â
Menurut saya, tujuan hidup yang utama adalah kalau ada manfaat yang bisa kita berikan. Dengan sendirinya, kalau kita bisa memberi suatu manfaat, sekecil apapun itu, Â maka itu akan memberi kebahagiaan tersendiri.
Memberi manfaat saja tidak cukup. Memberi manfaat itu sebaiknya dilakukan dengan sepenuh hati. Memberi manfaat tapi dilakukan tidak dengan sepenuh hati, apa gunanya?
Melakukan sesuatu yang bermanfaat, dilakukan dengan senang hati, hanya dapat dilakukan dengan tanpa bersandiwara. Kecuali aktor dan aktris, mereka memang dibayar untuk berakting. Tetapi dalam hidup nyata, menjadi orang lain, menampilkan diri yang tidak sesuai dengan kepribadian...pasti melelahkan.
Baru-baru ini kita membaca berita heboh tentang pengacara HS yang sebelumnya pernah berbicara begitu ideal tentang keharmonisan rumah tangga.Â
Namun ternyata justru melakukan hal yang bertolak belakang dengan ucapannya. Tak sedikit yang berpendapat, kemesraan yang dipertontonkan terhadap DT istrinya, palsu belaka.
Menyeleksi yang Senang dan Tidak Senang
Semua yang palsu tidak akan bertahan lama. Menjadi diri sendiri, jelas adalah yang terbaik. Terbaik, sebab dengan menjadi diri sendiri, sadar atau tidak, sebenarnya kita telah membiarkan terjadinya seleksi alamiah.Â
Dengan sendirinya akan terseleksi, orang-orang mana yang senang atau tidak senang dengan kepribadian kita yang sebenarnya.
Yang senang, mereka akan mendekat. Dan yang tidak senang akan menjauh. Bukankah ini cara alami untuk menyeleksi sebelum membangun jaringan pertemanan? Percayalah, dengan cara ini kita akan menemukan orang-orang yang tepat yang bisa menerima kepribadian kita yang sebenarnya.
Saya perempuan berusia senja, tampil di media sosial, tidak perlu malu bahwa saya tidak semenarik gadis muda. Tidak perlu malu wajah saya sudah berkerut.Â
Saya juga tidak perlu malu, jika cara saya berbicara terdengar kaku, tidak heboh seperti anak muda dengan gaya kekinian. Itulah diri saya. Saya hanya ingin melakukan sesuatu yang bermanfaat dan menjadi diri sendiri. *** (Penulis: Walentina Waluyanti)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H