Seni realisme sosialis khususnya sastra, bagi Lukacs, memiliki daya untuk mengubah kesadaran manusia (Pauline Jhonson, 1984,23;Ib. Karyanto, 1997,61). Bahkan jauh sebelum Lukacs, Marx sudah mengatakan bahwa seni bukan sekedar mimesis realitas eksternal, melainkan lebih merupakan usaha mendorong masuk realitas tadi ke dalam tujuan-tujuan manusia. Secara alamiah manusia menjadikan aktivitas hidupnya sebagai objek kesadaran. Dalam proses bekerja, manusia membangun kodrat dan kapasitas yang ia miliki. Seperti, “seorang pemain piano,” kata Marx, “mendorong proses produksi lewat caranya sendiri, antara lain membuat kita menjadi lebih aktif maupun dengan menciptakan rangsangan guna menimbulkan kebutuhan yang baru” (Greg Soetomo, 2003,30-31).
Baik Marx maupun Lukacs, seni secara umum dan khususnya seni sastra sebagai sebuah tindakan konkrit mengemban misi mesianik atau memiliki dimensi emansipatif yakni memungkinkan manusia memaksimalkan berbagai kemampuan dasar (potensi) yang terdapat dalam dirinya dan menghasilkan sesuatu yang baru. Misi mesianik dan dimensi emansipatif itu bukan buah dari kesadaran atau produksi pikiran spekulatif melainkan tindakan konkrit manusia. Seni sebagai tindakan konkrit menghasilkan sesuatu yang lain yang konkrit pula.
Kerja: Transformasi dari kera besar ke manusia
Pada aras perspektif seni realisme sosialis itulah, saya akan mengeksplisitkan kemungkinan-kemungkinan antropologi filosofis yang diusung oleh seni realisme sosialis. Namun sebelum itu, saya mengedepankan perspektif antropologi marxis atas Materialisme Historis Marx. Perspektif antropologi marxis berikut ini mempunyai titik sambung dengan pengakuan Lukacs mengenai “komunitas primitif” ketika ia mengomentari teori Materialisme Historis.
Para antropolog marxis menemukan dalam teori Materialisme Historis gagasan mengenai modus produksi sebagai basis evolusi sosial (C.D. Kernig/Ed, 1972,124). Hal itu bisa dilihat dalam tulisan Engels berjudul "The Part Played by Labour in the Transition from Ape to Man” yang dimuat di dalam Dialectis of Nature. Di bawah judul tulisan itu, Engels mengulas masalah antropogenesis (asal-usul manusia) berdasarkan doktrin Charles Darwin mengenai evolusi dan Thomas Huxley mengenai relasi dekat antara manusia dan kera besar yang menyerupai manusia (anthropoid apes). Pokok permasalahan yang diulas Engels dalam artikelnya tersebut adalah perihal kerja. Kerja, kata Engels, merupakan faktor utama dalam transformasi dari kera besar ke manusia purba (C.D. Kernig, 1972,125).
Proses evolusi terus berlangsung sampai pada manusia neandertal. Manusia neandertal sudah mampu memproduksi alat-alat yang terbuat dari tanduk dan memproduksi senjata yang dibutuhkannya. Manusia neandertal yang memproduksi alat-alat yang dibutuhkan ini, oleh Lenin, ditafsirkan sebagai masa transisi dari kawanan primitif ke komunitas primitif (Franz Magnis-Suseno, 1999,89-92).
Engels dan antropolog marxis yang lain berpendapat bahwa proses evolusi manusia yang tampak dalam evolusi fisik manusia dari kera besar ke manusia tersebut dideterminasi oleh ketergantungan secara langsung pada sejarah pekerja(an) dan masyarakat (C.D. Kernig,1972,126). Dalam kerangka yang lebih luas, dengan berpijak pada teori evolusi Darwin dan pemikiran Thomas Huxley tentang hubungan dekat antara manusia dan kera besar, Marx, Engels dan antropolog marxis hendak mengatakan bahwa sejarah konkritlah yang membentuk dan menentukan kesadaran manusia. Salah satu poin pokok dalam sejarah konkrit adalah kerja. Kerja yang dilakukan manusialah yang membentuk cara berpikir manusia.
Sebagai seorang marxis, Lukacs dalam mengonstruksikan gagasan seni realisme sosialis tidak melepaskan diri dari persoalan mengenai kerja. Di balik teropongnya terhadap persoalan kerja, hal pokok yang mau dibela oleh Lukacs melalui seni realisme sosialis adalah eksistensi manusia. Eksistensi manusia sebagai makhluk sosial menjadi tekanan utama dalam seni realisme sosialis. Sejak dari Marx sampai para marxis generasi kemudian termasuk Lukacs di dalamnya, eksistensi manusia sebagai makhluk sosial atau manusia yang berkomunitas menjadi hal utama yang dibela. Dengan kata lain, eksistensi manusia sebagai makhluk sosiallah yang menjadi jantung antropologi filosofis dalam seni realisme sosialis. Bagaimana manusia dalam seni realisme sosialis, akan kita lihat berikut ini.
Manusia dalam seni realisme sosialis: Pembebas dan yang dibebaskan dari reifikasi
Seni realisme sosialis mengemban misi emansipatif terhadap manusia, yakni pembebasan manusia dari reifikasi. Uniknya, dalam seni realisme sosialis terdapat dua hal penting yang saling berkaitan yakni keterlibatan aktif seniman (sastrawan) dalam problem yang dialami manusia (pekerja) dan manusia pekerja sebagai korban dari reifikasi. Berbeda dengan dalam seni-seni yang lain hubungan antara seniman dan penikmat seni terlepas (tak terhubungkan) satu sama lain, dalam seni realisme sosialis hubungan antara seniman (sastra) dan ”penikmat seni” yakni manusia pekerja yang (di-te)reifikasi saling menunjang satu sama lain (Bdk., Eka Kurniawan, 2006).
Apa yang dimaksudkan dengan reifikasi? Reifikasi atau pembedaan adalah proses reduksi keberadaan manusia menjadi setara dengan benda-benda material (alat-alat produksi). Manusia disamakan dengan alat-alat produksi. Padahal, eksistensi manusia menurut Lukacs, adalah subjek yang tidak dikuasai oleh sesuatu yang datang dari luar dirinya. Manusia sejati adalah manusia dengan seluruh kekayaan dimensionalnya tidak terhambat perkembangannya oleh pihak-pihak dan hal-hal di luar dirinya.