Life is not determined by consciousness, but consciousness by life. Karl Marx, German Ideology
Pada mulanya adalah pertanyaan-pertanyaan: Siapakah manusia? Dari mana manusia datang? Ke manakah tujuan atau arah hidup manusia? Itulah pertanyaan-pertanyaan mendasar untuk melacak konsep antropologi filosofis (filsafat manusia) dalam sebuah sistem pemikiran. Pertanyaan-pertanyaan itu yang akan menjadi panduan untuk melacak konsep antropologi filosofis dalam seni realisme sosialis, terutama dalam seni realisme sosialis George Lukacs. Sebelum lebih jauh masuk dalam usaha melacak antropologi filosofis dalam realisme sosialis George Lukacs, mungkin muncul sebuah pertanyaan di awal tulisan ini.
Mengapa yang dilacak adalah antropologi filosofis dalam seni realisme sosialis Lukacs, bukan yang lain? Ada beberapa alasan. Pertama, melalui seni realisme Lukacs sangat gencar membela keberadaan manusia. Kegencaran Lukacs itu memunculkan pertanyaan lebih lanjut: Apakah status ontologis manusia (alasan ada-nya) sehingga dengan seni realisme sosialis Lukacs gencar membela keberadaan manusia? Kedua, bila membaca gagasan Lukacs mengenai seni realisme sosialis (Ib. Karyanto, 1997) dan karyanya yang lain (George Lukacs, 2010) kita – sekurang-kurangnya saya – tidak begitu saja mendapat gambaran yang jelas dan utuh tentang antropologi filosofisnya. Ketiga, dalam konsepnya tentang seni realisme sosialis, sebagai seorang Marxis, Lukacs mendasarkan pemikirannya pada pemikiran Karl Marx dan beberapa antropolog marxis. Oleh karena itu, dalam upaya menemukan konsep antropologi filosofis dalam realisme sosialis, selain berpijak pada pemikiran Marx tentang Materialisme Historis, saya juga mendasarkan tulisan ini pada tafsiran para antropolog marxis tentang Materialisme Historis.
Tentu dengan harapan bahwa berdasarkan tiga alasan tersebut, pertanyaan mengenai status ontologis atau alasan ada-nya manusia dalam realisme sosialis Lukacs dapat terjawab melalui tulisan ini. Selain itu pertanyaan-pertanyaan dasar antropologi filosofis pada awal tulisan ini pun dapat terjawab melalui lorong-lorong seni realisme sosialis.
Realisme Sosialis; dari Filsafat Sejarah Hegel ke Materialisme Historis Marx
Pada bagian ini dipaparkan terlebih dahulu secara ringkas gagasan Lukacs mengenai realisme (Ib. Karyanto, 1997,52-80). Dengan uraian singkat ini, kita dapat melihat apa problem besar yang dialami manusia, yang kemudian menjadi keprihatinan sekaligus dibela oleh Lukacs sebagai seorang marxis. Di tengah kebengisan manusia yang saling bertempur dalam dalam gelanggang Perang Dunia sehingga awan gelap memayungi manusia modern, Lukacs membangun sebuah harapan emansipatif bagi manusia melalui seni. Ia melihat bahwa bibit-bibit emansipasi manusia sesungguhnya sudah dirintis oleh Hegel melalui gagasannya tentant sejarah (filsafat sejarah).
Sejarah bagi Hegel merupakan satu momen dari gerak dialektif roh. Manusia bagi Hegel adalah suatu produk dari sejarahnya sendiri. Dengan demikian hakikat gerak sejarah terletak pada manusia. Gerak sejarah itu sendiri merupakan manifestasi dari “roh universal” di dunia. Hegel menjelaskan hal itu melalui defenisinya tentang nilai pekerjaan. Nilai pekerjaan terletak pada kemampuan dari pekerjaan itu sendiri sebagai upaya manusia memanusiakan objek di luar diri manusia. Kerja menurut Hegel tersebut oleh Lukacs dipahami sebagai gerak evolusi yang niscaya, semacam gerak organik dari evolusi.
Meskipun Hegel memberi fondasi yang kukuh bagi sebuah gerak evolusi tetapi bagi Lukacs, gagasan Hegel terlalu abstrak sehingga tidak memberi gambaran yang jelas mengenai gerak dialektis teori dan praktik. Dialektika antara subjek dan objek pun tidak jelas dalam filsafat sejarah Hegel. Oleh karena itu, Lukacs kemudian mengerucutkan teori seni realisme sosialis dengan bertumpu pada teori Materialisme Historis Marx. Materialisme Historis, ungkap Lukacs mampu membantu mencari akar materi setiap gejala sosial dengan memandangnya sebagai gerak kesatuan yang menyejarah dan dalam gerak itu hukum-hukum perkembangannya dinyatakan (Ib. Karyanto, 1997,37-38).
Prinsip dasar Materialisme Historis adalah bahwa bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan manusia melainkan sebaliknya keadaan sosial manusialah yang menentukan kesadarannya. Kesadaran atau apa yang dipikirkan tidak menentukan perkembangan masyarakat, melainkan situasi konkrit masyarakatlah (manusia) yang menentukan kesadarannya (Franz Magnis-Suseno, 1999,138-139). Berbeda dengan teori dialektika Hegel yang tidak tegas dan jelas menggambarkan dialektika teori dan praktik, antara subjek dan objek, Materialisme Historis Marx merupakan penjelasan tentang dialektika yang lebih jelas dan menggambarkan dialektika subjek dan objek, antara teori dan praktik. Materialisme Historis juga lebih mudah untuk dipraktikkan (Ib. Karyanto, 1997,55). Dengan kata lain, bukan pikiran yang mengungkapkan dan menegaskan ada (being) manusia, melainkan pekerjaan jasmani atau aktivitas produktiflah yang mengungkapkan ada manusia.
“Filsfat sejarah Marx merupakan ajaran komprehensif yang memperhatikan kemajuan yang dilakukan oleh usaha kemanusiaan dari sejak masa komunisme primitif sampai pada zaman kita. Sekaligus merupakan perspektif yang menunjukkan pada kita perkembangan sejarah di masa depan,” aku Lukacs (George Lukacs, 1989,4; Ib. Karyanto, 1997, 56). Salah satu gagasan kunci dalam pengakuan Lukacs atas kelebihan Materialisme Historis Marx tersebut adalah “komunisme primitif”. Gagasan kunci itu kemudian ditafsirkan dalam bingkai antropologi marxis oleh antropolog marxis.
Dari gagasan emansipatif yang terinspirasi dari filsafat sejarah Hegel dan dialektika teori dan praktek yang aplikatif dalam Materialisme Historis, Lukacs kemudian menempatkan ide-ide itu dalam konteks seni realisme sosialis, khususnya sastrawan realis. Sastrawan realis, kata Lukacs, mempunyai tanggungjawab etis terhadap proses pembebasan manusia dari segala bentuk kepalsuan (kesadaran palsu). Tanggungjawab itu merupakan buah dari pemahaman sastrawan terhadap eksistensi manusia di tengah perkembangan gerak historis (George Lukacs, 1989, 36). Oleh karena itu “prinsip realisme adalah mengantar manusia berkembang menuju keutuhannya sebagai persona” (George Lukacs, 1989,52).
Seni realisme sosialis khususnya sastra, bagi Lukacs, memiliki daya untuk mengubah kesadaran manusia (Pauline Jhonson, 1984,23;Ib. Karyanto, 1997,61). Bahkan jauh sebelum Lukacs, Marx sudah mengatakan bahwa seni bukan sekedar mimesis realitas eksternal, melainkan lebih merupakan usaha mendorong masuk realitas tadi ke dalam tujuan-tujuan manusia. Secara alamiah manusia menjadikan aktivitas hidupnya sebagai objek kesadaran. Dalam proses bekerja, manusia membangun kodrat dan kapasitas yang ia miliki. Seperti, “seorang pemain piano,” kata Marx, “mendorong proses produksi lewat caranya sendiri, antara lain membuat kita menjadi lebih aktif maupun dengan menciptakan rangsangan guna menimbulkan kebutuhan yang baru” (Greg Soetomo, 2003,30-31).
Baik Marx maupun Lukacs, seni secara umum dan khususnya seni sastra sebagai sebuah tindakan konkrit mengemban misi mesianik atau memiliki dimensi emansipatif yakni memungkinkan manusia memaksimalkan berbagai kemampuan dasar (potensi) yang terdapat dalam dirinya dan menghasilkan sesuatu yang baru. Misi mesianik dan dimensi emansipatif itu bukan buah dari kesadaran atau produksi pikiran spekulatif melainkan tindakan konkrit manusia. Seni sebagai tindakan konkrit menghasilkan sesuatu yang lain yang konkrit pula.
Kerja: Transformasi dari kera besar ke manusia
Pada aras perspektif seni realisme sosialis itulah, saya akan mengeksplisitkan kemungkinan-kemungkinan antropologi filosofis yang diusung oleh seni realisme sosialis. Namun sebelum itu, saya mengedepankan perspektif antropologi marxis atas Materialisme Historis Marx. Perspektif antropologi marxis berikut ini mempunyai titik sambung dengan pengakuan Lukacs mengenai “komunitas primitif” ketika ia mengomentari teori Materialisme Historis.
Para antropolog marxis menemukan dalam teori Materialisme Historis gagasan mengenai modus produksi sebagai basis evolusi sosial (C.D. Kernig/Ed, 1972,124). Hal itu bisa dilihat dalam tulisan Engels berjudul "The Part Played by Labour in the Transition from Ape to Man” yang dimuat di dalam Dialectis of Nature. Di bawah judul tulisan itu, Engels mengulas masalah antropogenesis (asal-usul manusia) berdasarkan doktrin Charles Darwin mengenai evolusi dan Thomas Huxley mengenai relasi dekat antara manusia dan kera besar yang menyerupai manusia (anthropoid apes). Pokok permasalahan yang diulas Engels dalam artikelnya tersebut adalah perihal kerja. Kerja, kata Engels, merupakan faktor utama dalam transformasi dari kera besar ke manusia purba (C.D. Kernig, 1972,125).
Proses evolusi terus berlangsung sampai pada manusia neandertal. Manusia neandertal sudah mampu memproduksi alat-alat yang terbuat dari tanduk dan memproduksi senjata yang dibutuhkannya. Manusia neandertal yang memproduksi alat-alat yang dibutuhkan ini, oleh Lenin, ditafsirkan sebagai masa transisi dari kawanan primitif ke komunitas primitif (Franz Magnis-Suseno, 1999,89-92).
Engels dan antropolog marxis yang lain berpendapat bahwa proses evolusi manusia yang tampak dalam evolusi fisik manusia dari kera besar ke manusia tersebut dideterminasi oleh ketergantungan secara langsung pada sejarah pekerja(an) dan masyarakat (C.D. Kernig,1972,126). Dalam kerangka yang lebih luas, dengan berpijak pada teori evolusi Darwin dan pemikiran Thomas Huxley tentang hubungan dekat antara manusia dan kera besar, Marx, Engels dan antropolog marxis hendak mengatakan bahwa sejarah konkritlah yang membentuk dan menentukan kesadaran manusia. Salah satu poin pokok dalam sejarah konkrit adalah kerja. Kerja yang dilakukan manusialah yang membentuk cara berpikir manusia.
Sebagai seorang marxis, Lukacs dalam mengonstruksikan gagasan seni realisme sosialis tidak melepaskan diri dari persoalan mengenai kerja. Di balik teropongnya terhadap persoalan kerja, hal pokok yang mau dibela oleh Lukacs melalui seni realisme sosialis adalah eksistensi manusia. Eksistensi manusia sebagai makhluk sosial menjadi tekanan utama dalam seni realisme sosialis. Sejak dari Marx sampai para marxis generasi kemudian termasuk Lukacs di dalamnya, eksistensi manusia sebagai makhluk sosial atau manusia yang berkomunitas menjadi hal utama yang dibela. Dengan kata lain, eksistensi manusia sebagai makhluk sosiallah yang menjadi jantung antropologi filosofis dalam seni realisme sosialis. Bagaimana manusia dalam seni realisme sosialis, akan kita lihat berikut ini.
Manusia dalam seni realisme sosialis: Pembebas dan yang dibebaskan dari reifikasi
Seni realisme sosialis mengemban misi emansipatif terhadap manusia, yakni pembebasan manusia dari reifikasi. Uniknya, dalam seni realisme sosialis terdapat dua hal penting yang saling berkaitan yakni keterlibatan aktif seniman (sastrawan) dalam problem yang dialami manusia (pekerja) dan manusia pekerja sebagai korban dari reifikasi. Berbeda dengan dalam seni-seni yang lain hubungan antara seniman dan penikmat seni terlepas (tak terhubungkan) satu sama lain, dalam seni realisme sosialis hubungan antara seniman (sastra) dan ”penikmat seni” yakni manusia pekerja yang (di-te)reifikasi saling menunjang satu sama lain (Bdk., Eka Kurniawan, 2006).
Apa yang dimaksudkan dengan reifikasi? Reifikasi atau pembedaan adalah proses reduksi keberadaan manusia menjadi setara dengan benda-benda material (alat-alat produksi). Manusia disamakan dengan alat-alat produksi. Padahal, eksistensi manusia menurut Lukacs, adalah subjek yang tidak dikuasai oleh sesuatu yang datang dari luar dirinya. Manusia sejati adalah manusia dengan seluruh kekayaan dimensionalnya tidak terhambat perkembangannya oleh pihak-pihak dan hal-hal di luar dirinya.
Tetapi eksistensi manusia yang demikian mengalami proses reifikasi oleh kapitalis(me) melalui mekanisme dan sistem produksi. Relasi sosial sejati antarmanusia dan dengan pekerjaannya menjadi hancur. Reifikasi yang menimbulkan kesadaran palsu itu, membuat manusia terasing (mengalami alienasi) dari dirinya sendiri, sesama manusia, dan terasing dari pekerjaan yang dilakukannya. Reifikasi telah menimbulkan dehumanisasi. Atas dasar itu Lukacs mengonstruksikan seni realisme sosialis untuk membebaskan manusia dari proses reifikasi yang kapitalistik itu dan membangun kembali humanitas yang sesungguhnya.
Dalam proses pembebasan manusia pekerja dari reifikasi itu, seniman realis harus terlibat aktif di dalam problem sosial yang dialami oleh manusia pekerja. Aktivitas seni sang seniman realisme sosialis merupakan bentuk dari pemahamannya terhadap eksistensi manusia di tengah perkembangan sejarah. Seniman realisme sosialis sebagai pembebas mempunyai tanggung jawab etis terhadap problem keterasingan yang dialami oleh manusia akibat reifikasi. Tanggung jawab etis itu datang dari dalam diri seniman. Itu berarti seniman sungguh-sungguh masuk dan terlibat dalam denyut persoalan manusia pekerja.
Dengan demikian seniman dapat menyingkapkan kebenaran realitas sosial (Ib. Karyanto, 1997,36). ”Serang realis sejati,” ucap Lukacs, ”adalah orang yang tidak hanya mampu mewujudkan atau melukiskan realitas objektif, melainkan lebih dari itu, mampu mengejawantahkan tuntutan dasariah manusia. Mereka paham bahwa kekacauan realitas objektif, urusan umum dan kepentingan tertentu yang memecah keutuhan pribadi manusia merupakan penghancuran jati diri manusia.”
Keterlibatan aktif seniman realis dengan realitas sosial, baik sebagai seniman, proses kreatifnya, dan hasil karya (karya seni) memungkinkan manusia yang (di-te)reifikasi dibebaskan dan mendapatkan kembali eksistensinya sebagai manusia utuh. Kesadaran palsu yang ditebar oleh kapitalisme dalam diri manusia yang (di-te)reifikasi hilang dan digantikan dengan kesadaran sesungguhnya: manusia menyadari dirinya sebagai sosok unik, sosok multidimensi, sosok yang hidup berkomunitas, sosok yang tak bisa disamakan dengan alat-alat produksi.
Pada akhirnya adalah akhir yang terbuka (open ending)
Apa status ontologis manusia sehingga seni(man) begitu gencar membela manusia? Pada mulanya manusia adalah sosok unik, sosok multidimensi, sosok yang hidup berkomunitas. Inilah eksistensi dasar manusia, status ontologis manusia. Tetapi kapitalis(me) telah mereifikasinya. Seni(man) realis mempunyai tanggungjawab etis mengembalikan manusia yang (di-te)reifikasi ke status ontologisnya.
Secara samar-samar, manusia modern dalam seni realisme sosialis – sebagaimana juga yang ditafsirkan oleh para antropolog marxis atas teori Materialisme Historis Marx – adalah evolusi dari kawanan primitif ke komunitas primitif dan berlanjut ke manusia modern. Memang sangat darwinistik. Tetapi yang jelas adalah manusia yang dibela sejak Marx sampai para marxis termasuk Lukacs adalah manusia historis, manusia konkrit, manusia yang bekerja, manusia yang mengalami keterasingan oleh sistem produksi kapitalistik.
Tentunya kesimpulan tersebut adalah akhir yang terbuka: untuk didebat, dibantah, dan diruntuhkan, dan diganti dengan konsep yang lebih solid dan valid mengenai antropologi filosofis dalam seni realisme sosialis.•
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI