Mohon tunggu...
Waidjie S.
Waidjie S. Mohon Tunggu... -

Mengarang cerita fiksi di setitiktintawaidjie.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

do re mi 1: Bab 1 Para Kolektan

30 Oktober 2016   18:53 Diperbarui: 27 Maret 2017   03:00 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bab 1

Di atas pintu bertengger papan nama.

Kelas X-B.

Anak-anak cowok yang selalu nongkrong di koridor kelas itu memandangi seorang anak cewek.

Apa lagi yang nangkring di rambut Emma. Aksesoris apa yang dikenakan. Pikiran-pikiran itulah bersemayam di benak mereka.

Siapa sih anak cewek yang tak mau tampil kece, disebut anak gaul. Kepengin tampil maksimal pas berangkat sekolah. Diperhatiin sama anak-anak cowok. Sekalian tebar pesona sewaktu gebetan lewat.

Bukan sembarang kepangan namun kepangan rambut Emma ditarik ke atas kepala percis seorang princess. Agak ribet memang mengaplikasikan model rambut Braided Headband.Tapi berhasil membuat perhatian teman-teman cowok tersita kepada Emma. Sukses berat!

Itu kemarin.

Nah, pagi ini.

Ketika Emma berjalan membelakangi, mereka terkikik. Boneka Tweetybesar di kepalanya. Kaos kaki putihnya ada gambar Tweety.

Sekalipun ada peraturan sekolah sebagai anak muda pasti ada celah buat tampil bergaya di sekolah. Yang Emma mau dia tampil beda setiap hari.

Kemudian dia masuk ke dalam kelas.

Huh...

Di sudut kiri kelas menumpuk kelompok-kelompok siswa. Mereka berkumpul dekat bangku Rara tepat di pusat kelas membahas seorang penyanyi lokal yang baru menghibur kota Taru. Kalau di sudut lain bicara gosip hangat.

Diam-diam mereka barteran mini pin up atau poster artis lokal maupun non lokal yang mereka tak punya. Barangkali kelewatan tak terbeli majalah terbitan ibukota, majalahnya anak gaul.

Bukan anak SD yang hobi main barter-barteran peralatan tulis yang keren, unyu bin ajaib untuk dipamerin ke temannya. Anak SMA masih ada, sebut saja si Ervin, kedatangan barang superb ajaib. Ballpoint-nya itu kalau ditulis tak kelihatan.

“Mau baca gimana dong?” tanya Mia.

“Kalau pakai,” kata Ervin, sang pemilik sambil memegang ballpoint, “lampu di ujung ini nih dia akan nyala.”

“Wah bisa dong buat nyontek ujian.”

Dony yang berada di depan kelas menimpali, “Gak bisa dong. Kalau mau baca lampunya nyala. Otomatis ketahuan guru.”

“Iya, benar.” Ervin mengangguk-angguk. Dengan gaya Steve Job, tangannya memegang dagu, “Kecuali aku yang ciptain deh. Aku akan modif…”

“Huuuu…” disambut seruan teman-teman Ervin.

Lalu di sebelah ruang kelas X-B, tiba-tiba hiruk pikuk dengan suara riuh, cemoohan. Seorang cowok berkacamata bingkai hitam, tangkainya berwarna putih susu. Iya, dia memang norak dan suka dengan keadaan itu di dalam dirinya. Tak puas bergaya di antara teman-teman sekelasnya. Dia lari ke kelas X-B. Beberapa pasang mata anak-anak menatap sekilas lalu balik muka ke konsentrasi semula atau alihkan pandangan serta merta ke tempat lain. Pura-pura tak melihat wajahnya. Tak hiraukan dia.

Emma yang duduk di baris ke dua dari depan, Dia merasa ada yang janggal kemudian dia merogoh handphone di sakunya. Sepintas melirik Ony Saputra yang berada di ambang pintu. Emma kembali mantengin wajahnya di layar hape. Dia mengatup bibirnya sambil berkaca apakah jerawatnya tumbuh besar dan bengkak.

“Hai, bro!” Ony memberi salam Hi five ke udara. Tangan kirinya menenteng gadget. Celana panjang abu-abunya dipotong model pipa, mengecil ke bawah. Salah seorang murid dihampiri. “Nih, coba lihat meme picture-ku, gimana?”

Yang ditanya tak beri tanggapan.

“Lucu, kan?” lanjutnya.

Barulah siswa itu angguk pelan. Bersandar di tepi meja paling depan. Meja guru. “Nih, ada lagi ini,” tunjuknya.

“Lho Ony, plastiknya masih nempel,” timpal Doni.

“Iya dong.. barusan tadi malam aku beli. Keluaran terbaru. Ayahku isi banyak game.”

Semua murid tak menyukai dirinya. Dia memang kaya. Kaya dari ortunya.

Anak-anak perempuan yang mengumpul pada bubaran ketika Ony menyampiri, “Eh…” Dan mereka berpencar kemana-mana.

“Heh!” panggilnya. Tak ada yang menanggapi. Dengan bersungut Ony menutupi aplikasi di monitor smartphone. Sadar akan dirinya dicuekin. Daripada diam mematung di wilayah orang. Dia beranjak dari situ.

“Doni, kau kok mau tanggapin dia?” semprit Mia setelah wajah Ony tak ada di ruangan itu.

“Cuekin aja. Barang baru pasti ke sini. Jelas-jelas dia sengaja keliling kelas buat tunjukin HP baru. Caper banget sih. Barang juga masih dibeliin ortu. Pamer-pamer. Bikin bete pagi-pagi!” sungut seorang teman.

“Sok banget sih dia. Kita saja ada anak orang kaya. Gak sampai segitu.” Miranda meminta tanggapan dari Rara, “Iya kan, Ra. Di sebelahmu tuh nyantai aja.”

Rara memilih diam. Rambutnya sebahu. Berponi tipis sampai di atas alis. Dia tahu orang di sebelahnya duduki bangku sambil ayun-ayunkan kaki bangku ke belakang. Sikut tangannya menopang meja di belakang. “Ra!” panggilnya.

Rara memalingkan muka. Rambutnya hari ini tak diikat. Ujung helai rambutnya dia kibas pelan. Tak ingin seperti orang-orang iklan di TV. Tak mau disengaja. Apalagi di depan Revi. Jika Revi tahu ada shampo anti-dandruff, dia tak tahu Rara anti Revi.

“Aku bisa begitu.”

“Lagakmu, Revi!”

Kalau aku mau.

Teet, tettt…

Pelajaran pertama dimulai.

***

“Cari apa, Ra?” sidik Miranda di sebelah Rara. Rara kasak kusuk di meja tempat dia belajar setelah Bu Linda keluar dari jam pelajaran. “Setipku hilang.”

“Nih.”

Rara terus menyelidiki seperti mencari jejak.

“Ini kupinjami.”

“Bukan masalah itu sekarang, Mi. Aku gak butuh.”

“Lalu?”

“Setipku hilang.”

“Kau sudah ngomong tadi,” agak dikit kesel Miranda. “Setip yang mana satu sih?” Miranda tahu Rara suka mengoleksi setip. Tapi dia tak tahu setip gambar apa dicarinya. Lalu ia berusaha menenangkan temannya. “Oh… Mungkin ketinggalan di rumah.”

Rara terkesiap lalu berbalik menghadap Miranda. Tiba-tiba ditodong muka kaget Rara, Miranda tersontak. “Tadi malam dia sudah hilang,” Rara setengah berteriak.

“Woi, kau kenapa sih?”

Rara mengenal suara dari pertanyaan itu. Dia jawab dengan ketus dan masih berhadapan dengan Miranda. “Setip hilang.”

Teringat orang itu, Rara menoleh dan langsung menohok, “Kau yah pinjam setipku?”

“Gak ada.” Revi menempelkan sisi wajahnya ke atas meja.

“Coba kau pikir-pikir. Siapa tahu kau minjam lupa kembalikan?”

“Aku?” Revi tegakkan badannya, “Sorry yah! Setip hilang kok heboh.”

Rara meletakkan tangannya ke meja, melengus pada Revi. “Itu barang kesukaanku. Aku baru beli kemarin di koperasi.”

“Yeuh nyeuih.” Revi mengolok Rara dengan ekspresi wajah jelek. Mulutnya dimoncongkan.

“Dasar.”

“Apa mungkin jatuh di lantai, Ra?”

“Mudahan, Mi.”

Rara berusaha mengingat kapan terakhir kali setip itu bersama dia kalau saja Miranda tak beri petunjuk.

“Kapan ya dia hilang? Dimana dia?”

***

Semua murid girang setelah tak sabar menunggu bel terakhir. Emma sibuk menyisir rambutnya dan mengaca di cermin. Rara buru-buru benahin buku pelajaran ke dalam tas langsung selonyor keluar.

“Rara!” panggil Revi di belakang Rara. Dia membalikkan badan.

“Ada gak yang ketinggalan?”

“Apaan sih, Revi?”

“Benda padat.”

“Udah ah.” Rara melanjut jalan ke luar gerbang. Panas mentari sudah begini terik. Revi pula mau ajak main tebak-tebakan.

“Ra, kau gak nyesel?”

Apa coba!Rara memelas berbalik. “Kau, Revi!!!”

Revi jepit setip di jari telunjuk dan ibu jarinya.

“Balikin kagak!” ancam Rara.

“Tadi cuekin.”

“Kembalikan, Revi!”

Rara mengejar Revi sampai di depan gerbang sekolah. “Awas kau, Revi!” Revi sudah keduluan masuk ke dalam mobil pribadi keluarganya.

Rara manyun. Tatapan tajam menusuk kepada Revi.

Di dalam mobil pasti Revi memuntar-muntir balik setip milik Rara.

Teett...

Di kursi angkot Rara terbangun dari kekagetannya sendiri. Tak hanya orang terkasih yang mendapat tempat di hati tetapi di alam bawah sadar pun mereka hadir menemani kita. Terkadang barang yang teramat disukai bisa terbawa dalam mimpi.

Heran, ucap Rara pada dirinya sendiri.

Sebegitu berhargakah setip itu bagi Rara. Hanya Rara memahami. Setip bergambar logo sekolah suvenir sekolah. Buat dikoleksi simpan di rumah. Setip tersebut tinggal satu makanya dia sayang berat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun