Selain itu, daur ulang dapat memangkas jejak karbon yang dihasilkan oleh penambangan primer, yang memerlukan penggunaan lahan signifikan dan menghasilkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar. Sebaliknya, daur ulang menjadi alternatif yang lebih berkelanjutan.
Dari segi biaya, perbandingan antara material baru dan material daur ulang sangat mencolok. Sintesis material aktif katoda (CAM) mencakup hingga 45% dari biaya produksi sel baterai, sebagian besar karena proses kalsinasi yang memerlukan energi tinggi.
Misalnya, katoda NMC (nikel-mangan-kobalt) dapat mencapai biaya hingga USD 36 per kilogram, mencerminkan mahalnya bahan baku dan proses produksinya.Â
Sebaliknya, biaya daur ulang material ini berkisar antara USD 6,8 hingga USD 8,6 per kWh---jauh lebih rendah dibandingkan ekstraksi material baru.
Namun, meskipun memiliki keunggulan biaya, infrastruktur daur ulang baterai di Indonesia masih berada pada tahap awal.Â
Meski Indonesia memiliki target ambisius untuk adopsi EV dan menjadi pusat produksi baterai global, industri daur ulangnya belum berkembang pesat.
Saat ini, hanya ada beberapa proyek percontohan yang berjalan. Contohnya, PT Indonesia Puqing Recycling Technology telah mulai membangun fasilitas untuk mendaur ulang baterai EV, tetapi hambatan regulasi, terutama terkait klasifikasi limbah berbahaya (B3), memperlambat kemajuan proyek ini.
Tantangan lain terletak pada kurangnya kerangka kebijakan yang mendukung daur ulang baterai dalam skala besar. Peraturan seperti Peraturan Pemerintah No. 101/2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) lebih berfokus pada pembuangan daripada penggunaan kembali secara sirkular, sehingga membuat proses daur ulang menjadi rumit.
Baterai diklasifikasikan sebagai limbah B3, yang memerlukan izin mahal untuk transportasi dan pengolahan, sehingga menghambat investasi.Â
Selain itu, tidak adanya insentif khusus bagi operasi daur ulang dan kurangnya jalur regulasi yang terintegrasi semakin mempersulit pertumbuhan industri ini.
Sebagian besar upaya daur ulang saat ini juga masih berfokus pada baterai bernilai tinggi seperti NMC, sementara baterai lithium iron phosphate (LFP) yang lebih aman dan terjangkau kurang diminati untuk didaur ulang karena tidak mengandung kobalt dan nikel yang bernilai tinggi.