Mohon tunggu...
Moh Wahyu Syafiul Mubarok
Moh Wahyu Syafiul Mubarok Mohon Tunggu... Part time writer, full time dreamer

No Sacrifices No Victories

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Menabuh Genderang Ekonomi Hijau

21 Agustus 2022   23:33 Diperbarui: 22 Agustus 2022   23:00 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi ekonomi hijau. (sumber: KOMPAS.ID/HERYUNANTO)

Presidensi G20 Indonesia telah berjalan hampir sembilan bulan. Ada tiga topik yang menjadi fokus utama; arsitektur kesehatan global, transformasi ekonomi digital, dan transisi energi. 

Masing-masing kelompok kerja pun mulai merumuskan beragam rekomendasi untuk mencapai target yang telah dicanangkan. 

Berhubung karir professional saya beririsan dengan sektor transisi energi, maka tulisan ini akan sedikit mengulas progress yang telah terlaksana menuju summit di bulan November di Bali mendatang.

Setidaknya ada satu pesan yang saya dapatkan ketika membaca perkembangan meeting G20 di sektor transisi energi. 

Bahwa agresivitas untuk beralih dari bahan berbasis fosil menjadi lebih bersih dan hijau memiliki urgensi yang tinggi. Dorongan tersebut bukan karena alasan, apalagi rilis laporan dari IPCC terkait lonjakan kenaikan suhu bumi terus mengkhawatirkan.

Di tengah intimidasi dari bom perubahan iklim yang terus berdentang, kita perlu sadar akan satu hal. Bahwa persoalan setiap negara memiliki tantangan dan kebutuhan yang berbeda dalam mentransformasikan sistem energi mereka menjadi tanpa emisi. 

Mari ambil contoh Indonesia. Urusan transisi energi nampak begitu kompleks yang tercermin dari rencana pemerintah dalam menyusun rencana jangka panjang transisi energi. 

Mulai dari merilis Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Hijau 2021-2030 hingga berkomitmen menjalankan target emisi nol bersih pada tahun 2060.

Tentu, kompleksitas tersebut datang lantaran keberadaan barrier tantangan dalam mencapai kondisi yang diinginkan. 

Dalam perjalanan menggulirkan transisi energi, ada tiga tantangan besar yang masih menghadang. Yakni akses energi bersih, masalah pendanaan, dan dukungan riset & teknologi. 

Dalam problema akses energi bersih, tidak semua penduduk dunia memiliki akses pada energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern sesuai dengan target SDGs poin ke 7. 

Transisi energi juga membutuhkan dana yang sangat besar dan mengarahkan kita ke tantangan kedua yang berkaitan dengan masalah pendanaan. Transisi energi membutuhkan proyek-proyek baru yang turut menyeret investasi yang baru. 

Sehingga, mekanisme pembiayaan yang tepat sangat dibutuhkan, dengan harapan tercipta keekonomian, harga yang kompetitif, dan tidak membebani masyarakat.

Dan dukungan riset dan teknologi, dalam beberapa kasus, turut menghambat progress transisi energi. Tidak hanya perkara teknologi baru yang lebih efisien dan kompetitif, persoalan ini juga turut melibatkan kesiapan kompetensi dan keahlian dari sumber daya manusia kita. 

Menjadi hal yang sia-sia bila kita telah berhasil meningkatkan nilai tambah pada produk industri energi baru terbarukan kita, namun SDM kita masih belum siap. Sehingga, transformasi kurikulum dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi yang relevan turut dibutuhkan.

Sejatinya, momentum presidensi G20 Indonesia berpeluang untuk meruntuhkan tiga batasan di atas. Dengan mendorong sinergi antara negara berkembang dan maju guna mengakselerasi capaian transisi energi. 

Kolaborasi ini mutlak diperlukan untuk mengatasi jurang disparitas akses energi, menciptakan inovasi teknologi, serta saling bahu-membahu untuk menghadirkan terobosan pendanaan. Dengan demikian, kita memiliki lebih banyak opsi untuk merumuskan strategi yang lebih konsisten dan berkelanjutan.

Genderang Ekonomi Hijau

Illustration by BsWei on Energy Tracker Asia
Illustration by BsWei on Energy Tracker Asia

Satu alasan yang membuat saya optimis terhadap agenda transisi energi adalah kehadiran peluang ekonomi baru yang sering disebut sebagai green economy atau ekonomi hijau. 

Tidak hanya menekan laju kenaikan emisi karbon yang berimplikasi pada keberhasilan kita untuk meredam lonjakan suhu bumi, model ekonomi hijau turut membuka peluang baru serta lapangan kerja baru. 

Rilis laporan dari IRENA pada tahun 2020 kemarin menyebut bahwa akan ada 9 juta jenis pekerjaan yang tecipta akibat kesuksesan melaksanakan transisi energi.

Indonesia sendiri memiliki agenda lain ketika berselancar di atas ombak transisi energi. Tidak hanya persoalan etis terhadap lingkungan dengan pemenuhan target Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia turut berpeluang untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle-income trap) melalui skema ekonomi hijau.

Tidak hanya menjaga keberlanjutan lingkungan, ekonomi hijau juga diproyeksikan turut mendorong pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan kesejahteraan sosial.

Tentu, untuk menggenjot infrastruktur ekonomi hijau, pemerintah telah melakukan beberapa inisiatif. Seperti mengobral berbagai fasilitas fiskal dan keuangan guna menarik minat para investor. 

Kehadiran instrumen fiskal turut membutuhkan dukungan aktif industri jasa keuangan, guna lebih mengakselerasi ekonomi hijau di Indonesia. Keterlibatan pihak swasta juga menjadi strategi yang krusial. Bagaimanapun, pengurangan emisi karbon kita turut membutuhkan dana yang tidak sedikit. 

Dengan kehadiran pihak swasta, tentu beban modal akan lebih bisa terdistribusi. Mengacu kepada kalkulasi yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan, untuk mengejar target penurunan karbon tahun 2030, dibutuhkan setidaknya 266 triliun rupiah setiap tahunnya. 

Apabila dilakukan proyeksi semenjak 2017, maka Indonesia membutuhkan anggaran hampir 3.500 triliun rupiah untuk mencapai target penurunan emisi.

Setidaknya, momentum Presidensi G20 Indonesia telah mendorong pemerintah kita untuk mengidentifikasi tantangan transisi energi seperti yang telah kita ulas di atas. 

Kita masih menanti langkah konkrit seperti apa yang akan dilaksanakan dan semoga terlepas dari siklus kekuasaan lima tahunan. Pada akhirnya, forum G20 hendaknya menjadi meja untuk membangun lebih banyak kolaborasi demi kemudahan akses guna mempercepat transisi energi. 

Bagaimana pun, negara dengan beban yang berat harus mendapatkan sokongan dari negara yang telah memiliki tren positif dalam transisi energi maupun ekonomi hijau. Sekali lagi, kolaborasi dan sinergi adalah simpul untuk menabuh genderang ekonomi hijau.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun