Presidensi G20 Indonesia telah berjalan hampir sembilan bulan. Ada tiga topik yang menjadi fokus utama; arsitektur kesehatan global, transformasi ekonomi digital, dan transisi energi.Â
Masing-masing kelompok kerja pun mulai merumuskan beragam rekomendasi untuk mencapai target yang telah dicanangkan.Â
Berhubung karir professional saya beririsan dengan sektor transisi energi, maka tulisan ini akan sedikit mengulas progress yang telah terlaksana menuju summit di bulan November di Bali mendatang.
Setidaknya ada satu pesan yang saya dapatkan ketika membaca perkembangan meeting G20 di sektor transisi energi.Â
Bahwa agresivitas untuk beralih dari bahan berbasis fosil menjadi lebih bersih dan hijau memiliki urgensi yang tinggi. Dorongan tersebut bukan karena alasan, apalagi rilis laporan dari IPCC terkait lonjakan kenaikan suhu bumi terus mengkhawatirkan.
Di tengah intimidasi dari bom perubahan iklim yang terus berdentang, kita perlu sadar akan satu hal. Bahwa persoalan setiap negara memiliki tantangan dan kebutuhan yang berbeda dalam mentransformasikan sistem energi mereka menjadi tanpa emisi.Â
Mari ambil contoh Indonesia. Urusan transisi energi nampak begitu kompleks yang tercermin dari rencana pemerintah dalam menyusun rencana jangka panjang transisi energi.Â
Mulai dari merilis Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Hijau 2021-2030 hingga berkomitmen menjalankan target emisi nol bersih pada tahun 2060.
Tentu, kompleksitas tersebut datang lantaran keberadaan barrier tantangan dalam mencapai kondisi yang diinginkan.Â
Dalam perjalanan menggulirkan transisi energi, ada tiga tantangan besar yang masih menghadang. Yakni akses energi bersih, masalah pendanaan, dan dukungan riset & teknologi.Â