Mohon tunggu...
Moh Wahyu Syafiul Mubarok
Moh Wahyu Syafiul Mubarok Mohon Tunggu... Penulis - Part time writer, full time dreamer

No Sacrifices No Victories

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Ilusi Harga dan Nasib Kendaraan Listrik

19 Juni 2022   14:55 Diperbarui: 24 Juni 2022   14:14 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by AndyF on Shutterstock via simplilearn.com

Satu tren global yang akan mendisrupsi teknologi hari ini adalah kendaraan listrik. Alat transportasi bebas emisi tersebut digadang-gadang akan menjadi salah satu penyelamat bumi dari sesaknya atmosfer yang telah dipenuhi emisi karbon. 

Memang, data menyebutkan bahwa sektor transportasi dari mesin Internal Combustion Engine (ICE) menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar, bersaing dengan sektor energi.

Namun, seperti kebanyakan inovasi, kendaraan listrik harus memiliki cukup tenaga untuk bisa keluar dari lembah kematian yang seringkali menimbulkan kegagalan inovasi.

Salah satu ngarai dalam lembah kematian tersebut adalah harga yang belum kompetitif. Di mata masyarakat Indonesia, kendaraan listrik masih belum ramah di kantong. Mobil listrik umumnya dijual dengan harga berkisar antara 600 juta hingga 800 juta per unit. 

Padahal, daya beli mayoritas masyarakat Indonesia masih di rentang 250 juta hingga 300 juta per unit untuk mobil.

Tentu, ini menjadi tantangan serius yang harus segera selesaikan oleh stakeholder yang terlibat dalam rantai pasok. Bagaimanapun, strategi untuk menghadirkan demand menjadi penting untuk mendorong ekosistem kendaraan listrik nasional.

Jikalau kita menelaah kurva inovasi, kendaraan listrik berada dalam tahap early adopter atau tahap adopsi awal. Maka wajar harganya masih melambung tinggi dengan minim pengalaman.

Namun, seiring berjalannya waktu ditambah visi peralihan kendaraan yang lebih ramah lingkungan yang lambat laun akan menjadi keharusan, ilusi harga tersebut akan sirna dengan sendirinya. 

Hukum supply and demand ekonomi, akan ada masanya kurva akan bertemu di tengah sebagai harga pasar. Namun, bukan berarti hal tersebut justru menjadi pembenaran atas kelambatan progres kita dalam kendaraan listrik. Bagaimanapun, sumber daya nikel yang melimpah ruah tanpa diimbangi dengan transfer teknologi yang mumpuni, sekali lagi akan membuat bangsa kita menjadi pasar, alih-alih produsen penguasa industri mobil listrik global.

Dari perspektif Pemerintah, utamanya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B Pandjaitan, mengisyaratkan bahwa guyuran insentif dapat menjadi strategi instan untuk mengurai ilusi harga kendaraan listrik agar lebih kompetitif. Seperti pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan beberapa insentif fiskal lainnya.'

Lantas, apa yang membuat harga kendaraan listrik begitu melambung?

Jawabannya ada di sumber energinya, yakni baterai.

Jantung Kendaraan Listrik

Apabila kita bedah komponen pembiayaan untuk produksi mobil listrik, maka baterai mengeruk porsi hingga 40% dari total biaya produksi.

Hal ini bukan tanpa alasan, karena baterai adalah jantungnya kendaraan listrik. Serupa solar atau bahan bakar minyak pada kendaraan konvensional berbasis ICE.

Jika kita telisik lebih dalam, apa yang membuat baterai menjadi begitu mahal?

Setidaknya saya menemukan dua alasan. Pertama terkait dengan supply chain dari bahan baku dan yang kedua adalah transfer teknologi yang masih memerlukan waktu.

Berbicara terkait rantai pasok produksi, kita perlu paham bahwa banyak tahapan yang perlu dilaksanakan untuk memproduksi sebuah baterai.

Mulai dari teknologi proses dari tambang (nickel ore, mangan ore, lithium, dst), disulap menjadi bahan baku baterai untuk pembuatan katoda dan anoda, lanjut ke manufaktur baterai hingga proses recycling baterai dalam 8-9 tahun. Proses panjang tersebut membutuhkan investasi yang tidak sedikit.

Analisis yang dilakukan oleh Indonesia Battery Corporation (IBC) menyebut bahwa total investasi yang diperlukan untuk membangun 140 GWh rantai pasok end to end baterai listrik mencapai USD 15 milliar. Hal itu belum terhitung biaya integrasi antarstakeholders. Bagaimanapun, integrasi tersebut turut melibatkan waktu, investasi, sampai regulasi yang mendukung.

Dalam konteks adaptasi teknologi, para pengembang sudah mengerahkan segala macam cara untuk memenuhi tuntutan hukum ekonomi. Faktor pentingnya ada pada densitas energi, bagaimana baterai dapat menyimpan lebih banyak energi untuk menjalankan kendaraan listrik. 

Strategi yang sering digunakan adalah dengan melakukan modifikasi terhadap material penyusun baterai. Sejauh ini, porsi paling mahal berasal dari bagian katoda baterai yang menyentuh angka 50% dari total produksi sel baterai. Jika kita mampu menurunkan harga material untuk katoda sembari meningkatkan densitas energinya, maka kita akan mampu menurunkan harga produksi mobil listrik.

Agar mobil listrik menempuh jarak 480 kilometer, target densitas energi untuk baterainya berkisar 200 watt hour/kg. Jenis baterai yang paling mendekati target tersebut adalah LiCoO2 (150 Wh/kg) yang merupakan generasi pertama baterai litium-ion yang kini masih banyak digunakan pada telepon selular. 

Namun, berhubung banyak kandungan kobaltnya, maka harganya pun relatif mahal dan agak tidak mungkin untuk baterai kendaraan listrik. Kandidat lain yang masih dikembangkan adalah tipe NCA (Nickel, Cobalt, Alumunium) dan NMC (Nickel, Mangan, Cobalt). 

Keberadaan nikel membuat densitas energi menjadi bertambah sekaligus menurunkan harga. Apalagi Indonesia memiliki nikel yang melimpah sehingga dapat berperan penting dalam rantai pasok.

Namun, material tersebut tergolong tidak stabil sehingga baterai cepat rusak atau bahkan meledak yang mengancam aspek safety.

Ada juga jenis baterai lain yang tanpa nikel, seperti Lithium Iron Phospat (LiFePO4) yang memiliki durasi cycle lebih lama namun lebih besar secara ukuran dan lebih berat.

Pada akhirnya, tidak berlebihan bila nasib kendaraan listrik dapat dipengaruhi oleh baterai yang digunakan. Dengan mendorong investasi riset di bidang pengembangan baterai kendaraan listrik, kita bisa terlepas dari ilusi harga serta meningkatkan nilai jual dari sumber daya alam kita, dalam konteks ini adalah nikel.

Semoga, abad kendaraan listrik dapat menjadi era baru bagi Indonesia untuk lebih meningkatkan daya saing pada taraf global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun