Agar mobil listrik menempuh jarak 480 kilometer, target densitas energi untuk baterainya berkisar 200 watt hour/kg. Jenis baterai yang paling mendekati target tersebut adalah LiCoO2 (150 Wh/kg) yang merupakan generasi pertama baterai litium-ion yang kini masih banyak digunakan pada telepon selular.Â
Namun, berhubung banyak kandungan kobaltnya, maka harganya pun relatif mahal dan agak tidak mungkin untuk baterai kendaraan listrik. Kandidat lain yang masih dikembangkan adalah tipe NCA (Nickel, Cobalt, Alumunium) dan NMC (Nickel, Mangan, Cobalt).Â
Keberadaan nikel membuat densitas energi menjadi bertambah sekaligus menurunkan harga. Apalagi Indonesia memiliki nikel yang melimpah sehingga dapat berperan penting dalam rantai pasok.
Namun, material tersebut tergolong tidak stabil sehingga baterai cepat rusak atau bahkan meledak yang mengancam aspek safety.
Ada juga jenis baterai lain yang tanpa nikel, seperti Lithium Iron Phospat (LiFePO4) yang memiliki durasi cycle lebih lama namun lebih besar secara ukuran dan lebih berat.
Pada akhirnya, tidak berlebihan bila nasib kendaraan listrik dapat dipengaruhi oleh baterai yang digunakan. Dengan mendorong investasi riset di bidang pengembangan baterai kendaraan listrik, kita bisa terlepas dari ilusi harga serta meningkatkan nilai jual dari sumber daya alam kita, dalam konteks ini adalah nikel.
Semoga, abad kendaraan listrik dapat menjadi era baru bagi Indonesia untuk lebih meningkatkan daya saing pada taraf global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H