Mohon tunggu...
Moh Wahyu Syafiul Mubarok
Moh Wahyu Syafiul Mubarok Mohon Tunggu... Penulis - Part time writer, full time dreamer

No Sacrifices No Victories

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pandemi dan Anosmia Hati

20 September 2021   09:41 Diperbarui: 23 September 2021   11:01 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang pedagang menarik gerobaknya dengan latar belakang mural imbauan 'Pandemi Belum Usai di Jakarta, Minggu (18/7/2021). (ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT via kompas.com)

Menarik bila kita menyoroti salah satu satire yang muncul di Catatan Najwa. Sang presenter kenamaan tanah air, Najwa Shihab, menyebut para pejabat sedang didera gejala anosmia di tengah pandemi. 

Secara tersurat, anosmia adalah salah satu gejala covid-19 yang sering dialami pasien, yakni hilang rasa. Mereka tidak lagi mampu mengecap rasa dan mencium aroma. Namun, dalam konteks pejabat, anosmia yang dimaksud adalah ketiadaan rasa untuk peduli, rasa untuk bersimpati, bahkan berempati.

Media arus utama tidak kehabisan stok kabar untuk mengungkap gejala anosmia pejabat. Mulai dari menggelar hajatan di tengah pembatasan, penolakan kewajiban karantina pasca kunjungan kerja, sampai sibuk mengomentari sinetron televisi. 

Hal ini memunculkan riak pesan tak terbantahkan ke publik, betapa sense of crisis pejabat kita begitu miris. 

Sehingga benar apa yang diutarakan oleh F Budi Hardiman (2020) dalam tulisannya Pandemi Covid: Penyingkapan Eksistensial. Begitu menginfeksi tubuh manusia, virus covid-19 juga merambat ke dunia sosial dan mengubah perilaku manusia. 

Organisme ini turut menginfeksi "realitas" sosiologis, psikologis, hingga teologis. Terjadi sedimentasi sosial yang mengubah praktik hidup manusia menjadi tak lagi peduli.

Di tengah nihilnya sensitivitas pejabat, masyarakat akar rumput nyatanya masih membentang kepedulian antar sesama. Hal ini seolah menjustifikasi bahwa rakyat adalah episentrum demokrasi, yang sejatinya penguasa harus belajar darinya. 

Walaupun nyala api ekonomi tertutup kabut tebal resesi, manusia Indonesia tetap menyandang selendang warga negara paling dermawan tahun 2021.

Hal ini mengacu kepada Laporan World Giving Index (WGI) 2021 yang dirilis Charities Aid Foundation (CAF) bulan Juni kemarin. Skor Indonesia menyentuh angka 69 persen, naik signifikan dari skor 59 persen pada WGI 2018 sebelum pandemi, yang saat itu masyarakat kita juga menjadi manusia paling dermawan di muka bumi.

Anomali kondisi yang terjadi antara pejabat dan rakyat tersebut mungkin menjadi salah satu efek samping dari hukum sintesa. Sebuah hukum dasar cara menguasai alam semesta Indonesia. 

Rahmat Subagya dalam buku Realitas Sosial (1993) menulis, "Cara berpikir dan bertindak asli di Indonesia berpangkal pada keyakinan bahwa seluruh jagat raya adalah kesatuan dan perpaduan. 

Sekalipun kita diberi kesan seolah-olah jagat raya dikuasai dan diceraikan oleh unsur-unsur yang beroposisi satu terhadap lainnya, namun hasil terakhir yang ditonjolkan ialah persatuan, keseimbangan, dan perdamaian sebagai musabab hukum sintesa."

Memaknai Peduli

Photo by Conor P. Williams via New America
Photo by Conor P. Williams via New America

Apabila ditelusuri, peduli berakar dari kata coera atau care yang dapat dimengerti sebagai sikap memberi perhatian kepada orang lain. Bila sejenak membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata 'peduli' berarti 'mengindahkan', 'memperhatikan', atau 'menghiraukan'. 

Sikap peduli juga turut dimaknai sebagai perasaan khawatir akan keadaan hidup orang lain. 

Ekspresi peduli tumbuh karena merasa bahwa orang lain merupakan bagian dari dirinya sendiri. Sikap peduli sejatinya bentuk tanggung jawab moral bahwa seseorang memiliki andil bagi keberadaan dan kelangsungan hidup manusia lainnya.

Sikap peduli merupakan sifat produktif, yang bermakna tidak hanya berhenti pada rasa prihatin dan rasa iba. Melainkan turut melakukan aksi riil demi perubahan nasib hidup orang lain. 

Pada hakikatnya, pergeseran konsep hak menuju konsep kewajiban menjadi sebuah keharusan. Artinya, peduli tidak lagi terisolasi dalam ruang kebebasan memilih. Melainkan telah bertransformasi menjadi sebuah kewajiban moral untuk menjaga keberlangsungan hidup orang lain.

Menyitir konsep tanggung jawab moral ala Emmanuel Levinas (filsuf Perancis), peduli adalah berjumpa dengan Yang Tak Berhingga. "Pertemuan dengan wajah orang lain itu merobohkan egoisme saya," begitu kurang lebih yang diungkapkan oleh Levinas. 

Apabila rasa peduli terus dipupuk, maka kepekaan rasa akan terbentuk. Sensitivitas rasa ini menjadi unsur kognitif dalam diri manusia untuk menerjemahkan baik buruknya sebuah tindakan. Bila hal ini mengakar dalam hati, maka tidak akan pernah dijumpai tindakan keji seperti mencuri di tengah pandemi.

Sejatinya, rasa bukan sekadar rasa, perasaan, sensasi lahiriah, atau inderawi. Melainkan rasa sebagai puncak makna kultural dan spiritual, nilai tertinggi kehidupan dalam hikmah abadi. 

Hal ini turut didukung oleh kutipan Theodoor Gautier Thomas Pigeaud (1960), seorang ahli Sastra Jawa berkebangsaan Belanda. Makatanggawa rasagama ri sang hyang kuataramanawadi (rasa menjadi inti atau pokok ajaran agama, norma, dan perbuatan). 

Lebih jauh, teks Wedhatama garapan Mangkunegara IV mengartikan rasa merupakan titik pertemuan antara manusia dan Tuhan (Mawardi, 2013). Maka, rasa diperlukan dalam kehidupan dan membuat manusia pantas dikatakan sebagai manusia.

Memangkas Disparitas

Ada satu keajaiban yang turut mencuri perhatian di awal pandemi. Ketika mesin egalitarianisme radikal bekerja. Pandemi ini menghantam siapa saja tanpa pandang perbedaaan status sosial, ekonomi, ras, agama, dan warna kulit. 

Bahkan sekat-sekat peta politik global turut tergoyang. Seperti Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang diluar dugaan menawarkan bantuan dan kerja sama kepada Palestina, bangsa yang dikekangnya selama puluhan tahun.

Tawaran bantuan tersebut bukan atas dasar pertimbangan kemanusiaan atau kedermawanan, melainkan semata pertimbangan pragmatis, rakyat Israel dan Palestina sama-sama rentan terinfeksi virus covid-19. 

Hal ini Kembali mengingatkan kita akan kesamaan antar umat manusia, yakni kerentanan universal. Kondisi tersebut menjadi benang pemintal persaudaraan, terlepas dari perbedaan agama, ras, budaya, status sosial, hingga bangsa. Tentu, sikap peduli dan solidaritas berawal dengan mengakui dan menerima kerentanan kita bersama.

Bahkan, sekalipun ego kita lebih besar dari rasa kemanusiaan itu sendiri, ada porsi kepedulian yang hendaknya perlu kita penuhi. Demi menerima kenyataan, bahwa kita hanya entitas dengan kerentanan yang tinggi, digulung gelombang ketidakberdayaan pandemi. 

Sudah sepantasnya, pandemi menjadi gunting pemangkas disparitas ketimpangan nasib antar manusia, dengan lebih peduli terhadap sesama. Menumbuhkan rasa yang dipenuhi aroma cinta atas nama kepeduliaan.

Barangkali kita sudah sangat familiar dengan sebuah hadis, khairunnasi anfauhum linnas. Dalam bahasa Ibnu Arabi, yang bermanfaat bagi sesamanya itulah yang disebut cinta dengan paradigma terus memberi apapun yang terjadi. 

Oleh karenanya, mari menyemai lebih banyak kebaikan di bumi dengan terus memperbesar frekuensi peduli. Syukur-syukur bisa ditindaklanjuti dengan berempati, meringkan beban saudara kita yang terdampak pandemi, hingga memastikan kita tidak terkena anosmia hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun