Rahmat Subagya dalam buku Realitas Sosial (1993) menulis, "Cara berpikir dan bertindak asli di Indonesia berpangkal pada keyakinan bahwa seluruh jagat raya adalah kesatuan dan perpaduan.Â
Sekalipun kita diberi kesan seolah-olah jagat raya dikuasai dan diceraikan oleh unsur-unsur yang beroposisi satu terhadap lainnya, namun hasil terakhir yang ditonjolkan ialah persatuan, keseimbangan, dan perdamaian sebagai musabab hukum sintesa."
Memaknai Peduli
Apabila ditelusuri, peduli berakar dari kata coera atau care yang dapat dimengerti sebagai sikap memberi perhatian kepada orang lain. Bila sejenak membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata 'peduli' berarti 'mengindahkan', 'memperhatikan', atau 'menghiraukan'.Â
Sikap peduli juga turut dimaknai sebagai perasaan khawatir akan keadaan hidup orang lain.Â
Ekspresi peduli tumbuh karena merasa bahwa orang lain merupakan bagian dari dirinya sendiri. Sikap peduli sejatinya bentuk tanggung jawab moral bahwa seseorang memiliki andil bagi keberadaan dan kelangsungan hidup manusia lainnya.
Sikap peduli merupakan sifat produktif, yang bermakna tidak hanya berhenti pada rasa prihatin dan rasa iba. Melainkan turut melakukan aksi riil demi perubahan nasib hidup orang lain.Â
Pada hakikatnya, pergeseran konsep hak menuju konsep kewajiban menjadi sebuah keharusan. Artinya, peduli tidak lagi terisolasi dalam ruang kebebasan memilih. Melainkan telah bertransformasi menjadi sebuah kewajiban moral untuk menjaga keberlangsungan hidup orang lain.
Menyitir konsep tanggung jawab moral ala Emmanuel Levinas (filsuf Perancis), peduli adalah berjumpa dengan Yang Tak Berhingga. "Pertemuan dengan wajah orang lain itu merobohkan egoisme saya," begitu kurang lebih yang diungkapkan oleh Levinas.Â
Apabila rasa peduli terus dipupuk, maka kepekaan rasa akan terbentuk. Sensitivitas rasa ini menjadi unsur kognitif dalam diri manusia untuk menerjemahkan baik buruknya sebuah tindakan. Bila hal ini mengakar dalam hati, maka tidak akan pernah dijumpai tindakan keji seperti mencuri di tengah pandemi.