Sejatinya, rasa bukan sekadar rasa, perasaan, sensasi lahiriah, atau inderawi. Melainkan rasa sebagai puncak makna kultural dan spiritual, nilai tertinggi kehidupan dalam hikmah abadi.Â
Hal ini turut didukung oleh kutipan Theodoor Gautier Thomas Pigeaud (1960), seorang ahli Sastra Jawa berkebangsaan Belanda. Makatanggawa rasagama ri sang hyang kuataramanawadi (rasa menjadi inti atau pokok ajaran agama, norma, dan perbuatan).Â
Lebih jauh, teks Wedhatama garapan Mangkunegara IV mengartikan rasa merupakan titik pertemuan antara manusia dan Tuhan (Mawardi, 2013). Maka, rasa diperlukan dalam kehidupan dan membuat manusia pantas dikatakan sebagai manusia.
Memangkas Disparitas
Ada satu keajaiban yang turut mencuri perhatian di awal pandemi. Ketika mesin egalitarianisme radikal bekerja. Pandemi ini menghantam siapa saja tanpa pandang perbedaaan status sosial, ekonomi, ras, agama, dan warna kulit.Â
Bahkan sekat-sekat peta politik global turut tergoyang. Seperti Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang diluar dugaan menawarkan bantuan dan kerja sama kepada Palestina, bangsa yang dikekangnya selama puluhan tahun.
Tawaran bantuan tersebut bukan atas dasar pertimbangan kemanusiaan atau kedermawanan, melainkan semata pertimbangan pragmatis, rakyat Israel dan Palestina sama-sama rentan terinfeksi virus covid-19.Â
Hal ini Kembali mengingatkan kita akan kesamaan antar umat manusia, yakni kerentanan universal. Kondisi tersebut menjadi benang pemintal persaudaraan, terlepas dari perbedaan agama, ras, budaya, status sosial, hingga bangsa. Tentu, sikap peduli dan solidaritas berawal dengan mengakui dan menerima kerentanan kita bersama.
Bahkan, sekalipun ego kita lebih besar dari rasa kemanusiaan itu sendiri, ada porsi kepedulian yang hendaknya perlu kita penuhi. Demi menerima kenyataan, bahwa kita hanya entitas dengan kerentanan yang tinggi, digulung gelombang ketidakberdayaan pandemi.Â
Sudah sepantasnya, pandemi menjadi gunting pemangkas disparitas ketimpangan nasib antar manusia, dengan lebih peduli terhadap sesama. Menumbuhkan rasa yang dipenuhi aroma cinta atas nama kepeduliaan.
Barangkali kita sudah sangat familiar dengan sebuah hadis, khairunnasi anfauhum linnas. Dalam bahasa Ibnu Arabi, yang bermanfaat bagi sesamanya itulah yang disebut cinta dengan paradigma terus memberi apapun yang terjadi.Â