Mohon tunggu...
Wahyu Suryodarsono
Wahyu Suryodarsono Mohon Tunggu... Tentara - TNI AU, Ajudan Menteri Perindustrian RI, Alumni Paramadina Graduate School of Diplomacy

Indonesian Air Force Officer, and International Relations Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Anarki Laut China Selatan dan Urgensi Strategi "Zero Conflict"

16 Mei 2024   11:35 Diperbarui: 17 Mei 2024   05:46 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyusul semakin memanasnya perselisihan sengketa wilayah di Laut China Selatan, baru-baru ini, Eduardo Ano, seorang penasihat keamanan nasional Filipina, memberikan usulan agar para diplomat China untuk segera angkat kaki dari negara tersebut. Apabila seruan ini benar akan dilakukan oleh Pemerintah Filipina, hal ini dapat memantik konfrontasi yang lebih serius dengan China di kemudian hari, hingga adanya potensi konflik yang lebih besar.

Usulan pengusiran diplomat China ini dilakukan pasca bocornya percakapan telepon antara salah seorang perwira tinggi angkatan laut Filipina dengan diplomat dari Negeri Tirai Bambu tersebut terkait kompromi di Laut China Selatan. Hingga saat ini, aktivitas militer maupun non-militer China di Laut China Selatan dinilai semakin intens, yang membuat semakin banyaknya China terlibat dalam konfrontasi di wilayah perairan bersama Asia Tenggara tersebut (khususnya dengan Filipina dan Vietnam).

Selain itu, semakin masifnya pembangunan pulau-pulau buatan yang selanjutnya dijadikan pangkalan militer oleh China di perairan ini, serta provokasi strategis dari Amerika Serikat, membuat Laut China Selatan berpotensi besar menjadi arena "Perang Dingin Baru" dalam konteks persaingan geopolitik antara AS dengan China.

Sebagai wilayah yang memiliki potensi cadangan migas besar sekaligus jalur perdagangan global, Laut China Selatan adalah salah satu wilayah perairan internasional, dimana pada masa yang akan datang, secara potensial dapat menimbulkan ekskalasi konflik yang melibatkan banyak negara termasuk Indonesia.

Dalam hal pemanfaatan hak berdaulat (sovereign rights), wilayah yang menjadi hotspot utama Indonesia dalam konflik ini adalah wilayah Laut Natuna Utara, yang merupakan bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sesuai dengan ratifikasi aturan dari United Nations Conventions on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982.

Akan tetapi, klaim historis nine-dash line China berdasarkan peta negaranya tahun 1947 membuat negeri tirai bambu tersebut seringkali berkonflik dengan negara-negara di sekitar perairan Asia Tenggara, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan tak terkecuali Indonesia.

Selain ketidakjelasan batas wilayah yang berakibat pada banyaknya potensi penindakan kapal-kapal asing, klaim nine-dash line China ini membuat pemanfaatan hak berdaulat yang semula diatur dalam hukum internasional dalam tatanan yang berbasis aturan (rules-based), malah berbalik menjadi sebuah kondisi yang berwujud anarki (tanpa aturan).

Pemantik konfrontasi antara Indonesia dengan China di perairan Natuna Utara pertama terjadi pada tahun 2016, dimana ketika itu TNI Angkatan Laut menangkap kapal ikan berbendera China, Han Tan Cou 19038, yang melakukan illegal fishing.

Sebelumnya, dua kapal nelayan China juga telah tertangkap akibat melakukan hal serupa di sekitar Laut Natuna Utara dengan mengklaim bahwa perairan tersebut adalah traditional fishing ground bagi nelayan China. Sadar akan semakin banyaknya keberadaan kapal asing di perairan tersebut, di tahun 2018, Indonesia mulai mengintensifkan pelaksanaan latihan tempur TNI serta pengembangan pangkalan militer di Natuna.

Konfrontasi ini sempat memuncak di tahun 2021, ketika Indonesia mulai melakukan pengeboran minyak di perairan Natuna Utara. Pasca dimulainya aktivitas pengeboran, kapal Angkatan Laut RI dan China beberapa kali tercatat saling berlayar membayang-bayangi di sekitar lokasi tersebut. China merespons dengan berkali-kali memperingatkan serta mengirimkan surat kepada Kementerian Luar Negeri RI agar Indonesia menyetop aktivitas pengeboran minyak di wilayah tersebut.

Sebagai bentuk respons tidak langsung, Indonesia menggelar latihan militer berskala besar bersama AS bertajuk Garuda Shield, dimana setahun setelahnya, Indonesia kembali melaksanakan latihan militer yang sama namun berskala lebih besar bersama 13 negara lainnya, yang diberi nama Super Garuda Shield. Latihan ini dinilai strategis bagi Indonesia, demi mengasah interoperabilitas operasi militer antar negara-negara mitra di kawasan Indo-Pasifik, serta mengantisipasi konfrontasi yang lebih serius di kawasan Laut Natuna Utara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun