Mohon tunggu...
Wahyu Noliim Lestari Siregar
Wahyu Noliim Lestari Siregar Mohon Tunggu... MAHASISWA -

Jangan Takut Bermimpi, dan Lukiskanlah itu dalam Kanvas Dunia mu yang Nyata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kekuasaan Dalam Pluralis Agama Menurut Paul Tillich

19 November 2016   22:21 Diperbarui: 19 November 2016   22:58 1265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://thestoryprize.blogspot.co.id/

Meskipun tulisannya menyangkut beberapa thema penting seperti Allah yang mengangkat setinggi-tingginya.[3] Paul Tillich tanpa menggunakan “teologi fundamental” untuk melakukan usaha yang sangat menjelaskan metode, norma dan sumber teologinya. Ia tidak mengembangkan ketergantungan pada filsafat sama seperti yang dilakukan oleh teolog lainnya. Teologi sistematikanya berkembang, semakin nampak pula bahwa Paul Tillich telah berusaha untuk mencapai suatu penyatupaduan doktrin Kristen dengan prinsip-prinsip metodologis formal yang ia tekuni. Tillich menyerap teologi fundamental ke dalam sistematikanya.[4] 

Dalam tulisannya Tillich banyak berbicara mengenai ontologi, struktur dan keseluruhan pemikirannya lebih mirip filsafat dari pada teologi. Filsafat dan teologi dibicarakan dalam hubungannnya dalam keberadaannya. Ia juga menegaskan tugas teologi ialah mengalimatkan pertanyaan-pertanyaan yang terkandung di dalam eksistensi manusia dan mengalimatkan jawaban-jawaban yang terkandung di dalam penyataan (Wahyu Allah) yang disesuaikan dengan pertanyaan-pertanyaan yang terkandung di dalam eksistensi manusia itu. Setelah itu teologi harus menganalisi situasi manusia dan menunjukkan bahwa simbol-simbol ajaran Kristiani mewujudkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan manusia dalam situasi itu.

Dalam agama Kristen Tillich melihat suatu ketengan yang terus menerus antara yang partikular dan universal. Partikularitas tentu saja berpusat pada penampilan dan jawaban Yesus dari Nazaret sebagai Kristus. Inilah kriteria untuk seluruh perjumpaan agama Kristen dengan agama-agama lain dan untuk seluruh penilaian dari agama Kristen.[5]

Gagasan Paul Tillich tentang Pluralisme Keagamaan

Menurut Tillich posisi agama dalam kehidupan manusia dapat dipandang dari dua sisi. Beberapa teolog Kristen dapat mempertanyakan posisi agama sebagai unsur kreatif manusia. Kerohanian manusia lebih dari pada sebagai anugerah wahyu dari Allah. Beberapa teolog menolak agama sebagai suatu unsur kehidupan spiritual manusia memiliki nilai nyata. Menurut mereka pemahaman agama adalah manusia menerima sesuatu yang tidak datang dari dirinya tetapi diberikan kepadanya. Mereka mengatakan bahwa hubungan dengan Allah suatu kemungkinan untuk dilakukan manusia dan Allah-lah yang harus pertama kali menghubungkan diriNya dengan manusia. Manusia hanya dapat menerima saja, manusia tidak memiliki kebebasan untuk menghubungkan diri dengan Allah.[6]

Agama adalah cara khusus dalam ilmu pengetahuan. Tempat tinggal agama dalam diri manusia adalah dalam fungsi-fungsi kehidupan kerohanian manusia. Kedalaman berarti aspek keagamaan adalah kemutlakkan, tidak terbatas dan tidak bersyarat dalam kehidupan kerohanian yang disebut dengan menyangkut dengan sepenuhnya. Menyangkut sepenuhnya diwujudkan dalam seluruh fungsi kreatif kerohanian manusia. Karena itu jika seseorang menolak agama dalam nama fungsi moral dia menolak agama dalam agama. Agama adalah subsatansi, dasar dan kedalaman kehidupan kerohanian manusia. Inilah aspek kerohanian manusia. Selanjutnya Tillich mengatakan, bahwa seorang teolog tidak bisa berbicara mengenai agama tanpa berdasarkan pemahaman akan kasih, kedamaian dan keadilan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat.[7]

Tanggapan Alkitabiah terhadap Pluralisme Keagamaan

Kitab Turat Yahudi mencatat bagaiamana Israel dipisahkan dari  banyak sekali agama berbeda. Orang-orang Yahudi menemukan asal-usulnya pada Abraham, yang meninggalkan Mesopotamia dan berpindah ke Kanaan. Perjalanan Abraham itu mempunyai arti penting bagi keagamaan, yaitu selain meninggalkan Mesopotamia Abraham jiga meninggalkan dewa-dewa duniawi dan berhala-berhala alam dengan maksud untuk berbakti kepada Allah yang adalah pencipta langit dan bumi. Pengalaman awal bangsa Yahudi bersama Allah Abraham merupakan wujud suatu perjanjian. Kitab Ulangan memahami orang-orang Yahudi mirip orang yang berhamba pada Allah karena perjanjian yang melibatkan Musa.

Sebagai taklukan yang dibebaskan dari perbudakan duniawi seperti ketika mereka berada di Mesir, orang-orang Yahudi terikat pada suatu hubungan pengabdian dan kepatuhan pada  Allah. Gagasan kesetiaan pada Allah ini merupakan dasar teologi Yahudi dan pemahaman orang Yahudi mengenai hubungan bangsa-bangsa lain dengan Allah. Sebagaimana Allah telah menjalin suatu hubungan perjanjian khusus dengan orang Yahudi, tidak ada alasan bagi Allah untuk tidak menjalin hubungan dengan bangsa-bangsa lain. 

Jadi perspektif Alkitabiah tentang orang Yahudi adalah bermacam-macam agama lain dapat dilihat sebagai ungkapan hubungan yang diperoleh antara bangsa-bangsa lain dalam Allah. Memang dalam hubungan Perjanjian Lama yang diuraikan dalam Kejadian 9: 8-17, Allah mengikat perjanjian dengan Nuh, keluarganya dan dengan seluruh makhluk hidup, manusia dan binatang. Dalam perjanjian Nuh kita melihat suatu pernyataan yang sederhana namun berpengaruh dari kasih Allah untuk semua bangsa.[8]

Dalam agama Yahudi ditekankan hubungan  perjanjian yang bersifat pribadi antara Allah dan umat Allah. Panggilan Allah untuk seluruh umat itu dialami sebagai firman Allah yang disampaikan melalui Musa dan para nabi. Dalam pemahaman orang Yahudi, Allah memanggil umat manusia dan satu-satunya yang harus mereka lakukan ialah mendengarkan dan patuh. Konsepsi mengenai satu Tuhan yang dipatuhi dengan setia oleh orang-orang Israel  ini merupakan pemersatu dalam agama Yahudi. Masa akhir pembuangan Babel dan kembali ke Palestina menandai permulaan suatu sikap yang makin eksklusif terhadap bangsa dan agama lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun