Mohon tunggu...
Wahyusaputri
Wahyusaputri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi di UIN Mataram

Saya seorang mahasiswi dari Universitas Islam Negeri Mataram, mengambil program studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Fakultas Tarbiyah dan Kegugurua. Hobi saya adalah menulis. Saya memiliki beberapa buku antologi puisi salah satunya, berjudul Tiada Makna Tanpa Kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mencari Tenang di Tengah Kekacauan

17 Desember 2024   00:41 Diperbarui: 18 Desember 2024   01:12 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di depan masjid Al-Jami'ah UIN Mataram (Potret by. Wahyusaputri) 

Mencari Tenang di Tengah Kekacauan

Karya: Wahyusaputri


      Di alun-alun kota Mataram, aku pandangi orang-orang yang tengah sibuk dengan berbagai aktivitasnya. Ketika menyusuri jalan menuju kampus Universitas Islam Negeri Mataram, kendaraan berlalu-lalang memenuhi jalanan kota. Aku adalah seorang mahasiswa semester tiga, yang berumur 20 tahun. Mengambil program studi Guru Madrasah Ibtidaiyah meski tak memiliki dasar pada keagamaan. Mengenyam pendidikan di Universitas Islam Negeri Mataram bukanlah hal yang aku rencanakan, tapi itulah takdir. Tidak semua hal yang kita ingin akan kita dapatkan. 

      Pagi yang cerah, aku sapa penjaga gerbang dengan ramah, kuberikan senyum terbaikku pada ibu-ibu yang tengah menyapu. Aku masih berusaha ceria meski dalam pikiran penuh dengan tugas-tugasku yang menumpuk. 

      "Assalamu'alaikum, pagi, Bu."

      "Wa'alaikumussalam, pagi, Dek," balas Ibu tersebut dengan antusias. 

       Kemudian aku kembali berjalan menyusuri gedung-gedung tinggi pada setiap fakultas. Di sebelah kiri, terlihat gedung Auditorium Utama UIN Mataram yang megah, sering digunakan untuk acara wisuda, workshop, seminar, dan berbagai kegiatan lainnya. Di sebelah kanan, terdapat gedung Laboratorium Terpadu, di sebelah kiri lagi ada Ma'had Al-Jami'ah, gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa, dan beberapa gedung lainnya. 

      Setelah beberapa menit berjalan, aku terpaku pada tulisan 'Gedung Terpadu SBSN.' Sekilas aku melirik jam di ponselku. "Astagfirullahaladzim, sudah jam 07:29," batinku, yang menandakan 1 menit lagi kelas akan dimulai.

      Aku mulai mempercepat langkahku menuju kelas, tiba-tiba, ada notifikasi dari grup kelas yang menginformasikan bahwa dosen menunda jadwal perkuliahan. Rasanya aku ingin pulang namun, dua jam lagi ada kelas di mata kuliah lain. Berpikir sejenak kemana aku harus pergi untuk menunggu mata kuliah selanjutnya. Aku pandangi orang-orang yang berkerumun di kantin, seketika teringat bahwa aku lupa membawa dompet. 

      "Ya, sudahlah, lebih baik ke bawah pohon saja," lirihku pelan. 

      Tempat ini adalah favoritku, pelarian ketika masalah atau kegundahan datang. Suasananya sejuk dan nyaman, meski terkadang beberapa dosen memakainya sebagai tempat parkir, membuatku tak leluasa bersantai di sini sesering yang kuinginkan. Aku sering melanjutkan tulisan novelku, bersandar pada batang pohon yang rindang, di bawah naungan daun-daunnya yang menenangkan.

      Namun, pikiranku selalu kembali melayang pada tugas yang belum selesai. "Kenapa semua harus menumpuk seperti ini?" keluhku dalam hati. Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. 

      Setelah beberapa saat, aku mulai menuliskan beberapa ide untuk novelku. Cerita yang selalu aku tulis saat merasa terjebak dalam rutinitas. Karakter-karakternya seolah menjadi pelarian dari beban yang kuhadapi.

       "Mungkin aku bisa memasukkan elemen perjuangan dalam cerita ini," gumamku, sembari mencatat ide ke dalam ponselku.

      Di sekitar tempat ini, banyak orang berlalu-lalang dengan segala aktivitas kesibukannya. Ada yang berjalan bersama teman-temannya, mengobrol dan tertawa, sementara yang lain tampak lebih fokus, berjalan sendiri dengan tatapan serius. Mereka semua memiliki tujuan, entah itu pulang ke penginapan mereka, atau datang untuk menghadiri kelas. Suara langkah kaki dan percakapan mereka menjadi latar belakang yang hidup, tetapi aku tetap tenggelam dalam dunia imajinasiku. 

      Setiap kali melihat mereka, aku teringat bahwa setiap orang memiliki cerita dan perjuangan masing-masing. Mungkin itu yang membuatku semakin bersemangat untuk menulis. Cerita-cerita mereka bisa menjadi inspirasi, menjadi bagian dari novelku. Dengan semangat baru, aku kembali menuliskan ide-ide yang berkecamuk dalam pikiranku, berharap bisa menciptakan sesuatu yang bisa menginspirasi orang lain, seperti aku terinspirasi oleh kehidupan di sekitarku.

      "Hai, Put. Lagi ngapain? Kok serius sekali kelihatannya?" Suara ramah memecah lamunan menyapaku. 

      Aku tersentak, mengangkat wajahku dan melihat seorang perempuan dengan senyum manis berdiri di depanku. Ia adalah Aminah, teman jurusanku. Dengan balutan abaya hitam ia sangat cantik, dan aku melihat ia membawa beberapa buku di tangannya. 

       "Eh, iya, hai. Lagi duduk saja nih. Kamu mau kemana?" tanyaku sembari menepuk tempat duduk di sebelahku, mempersilakan Aminah duduk. 

      "Mau ke perpustakaan. Lagi nyari referensi untuk tugas Telaah Kurikulum. Aku duluan, ya, assalamu'alaikum." 

      "Oh, ya sudah. Hati-hati, ya, wa'alaikumussalam." 

      Ia melambaikan tangan dan berlalu, meninggalkan aku dengan senyum yang masih terukir di wajah. Percakapan singkat itu memberikan suntikan semangat baru. Aku kembali fokus menulis di ponselku, dengan perasaan yang lebih tenang dan termotivasi. Mungkin, cerita-cerita kecil di sekitar kita, bahkan percakapan singkat yang tak terduga, bisa menjadi inspirasi yang tak ternilai harganya.

      Tak lama kemudian, ada sekelompok mahasiswa lain yang duduk di dekatku. Mereka tampak asyik berdiskusi, tertawa, dan sesekali mengeluarkan buku untuk merujuk materi kuliah. Melihat mereka, aku merasa sedikit cemburu. Betapa mereka tampak menikmati momen itu, sementara aku terjebak dalam pikiran akan tugas dan deadline yang menanti.

      "Eh, Put, kamu di sini sendirian?" Salah satu dari mereka, adalah teman tetangga kelas, ia menghampiriku. Namanya Jia, wajahnya selalu ceria dan ramah, selalu merespon dengan baik jika aku bertanya. Entah itu ketika berpapasan di jalan, atau melalui room chat.

      "Iya, Jia. Lagi nunggu kelas," jawabku, mencoba tersenyum meski dalam hati masih ada beban.

      "Yuk, gabung sama kita! Kita lagi bahas tugas dari Bu Rosa," ajaknya.

       Aku merasa ragu sejenak, tetapi tawarannya terlalu menarik untuk ditolak. "Baiklah, izin gabung, ya," kataku sembari berdiri dan menghampiri mereka. 

      Setelah bergabung dengan mereka, suasana hatiku mulai membaik. Diskusi yang berlangsung membuatku terinspirasi dan lebih bersemangat. Ternyata, berbagi pikiran dengan orang lain bisa menjadi cara yang efektif untuk mengatasi beban yang terasa berat.

      Kelas baru dimulai dalam waktu 30 menitan lagi, tetapi aku merasa lebih siap setelah mendapatkan perspektif baru dari teman-teman baruku, karena yang aku kenal di antara mereka hanyalah Jia. "Terima kasih, ya, teman-teman. Aku benar-benar butuh ini," kataku tulus saat kami berpisah untuk menuju kelas.

      Dengan langkah yang lebih ringan, aku menuju Gedung Terpadu SBSN. Nyatanya, tak semua beban harus ditanggung sendirian, dan terkadang, berbagi bisa menjadi solusi terbaik untuk mengatasi rasa penat dalam menjalani rutinitas. 

Rabu, 27 November 2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun