Prolog
Sang Guru Bangsa telah genap berusia 85 tahun, meskipun sudah memasuki usia senja, hati dan pikirannnya jauh lebih membara dari kami murid-muridnya yang terbilang masih muda atau para penikmat magnum opus dari pikiran brilian sang Buya.
Beliau adalah sosok sempurna di mata kami, seorang pemikir, penggerak dan sekaligus pengayom bangsa. Ditangannya benang kusut persoalan sosial-keagamaan dapat terurai, merajutnya menjadi kain berwarna; realita masyarakat plural; suku, agama dan etnis berhasil ia perkokoh melalui paham kebangsaan. Namanya tak lekang waktu, pikirannya tak termakan zaman, Ia telah membuat dirinya abadi baik generasi sekarang hingga masa yang akan datang.
Jemari tangannya merekam goresan jutaan kata, kata-kata itu disusun dalam ribuan paragraf yang berisi narasi tentang masa depan anak cucu. Buya berharap agar saya, anda dan kita semua hidup dalam keserasian, rukun, damai dan menghilangkan sikap primordialisme serta rasa ke-Aku-an dalam diri. Sang Buya berada di garda depan memberi alarm sinyalemen bahaya yang mengancam persatuan dan melawan arus pemikiran yang memecah belah.
Buya Syafii Maarif memberikan seluruh hidupnya untuk memelihara dan membangun peradaban. Bukan itu saja, ia juga memberi pencerahan bagi kita semua, dalam upaya membingkai kehidupan masyarakat melalui Islam rahmat lil 'Alamin supaya semua elemen masyarakat saling menghormati dan menghargai perbedaan; keyakinan, suku dan latar budaya.
Tulisan sederhana ini tidak cukup merangkum pemikiran Buya Syafii Maarif yang begitu luas. Saya hanya ingin mengulas pemikirannya tentang Islam dalam narasi keindonesiaan, tujuannya untuk menyegarkan kembali betapa konsep Islam, dan keindonesiaan amat penting untuk diulas. Sebab, kondisi kita hari ini seperti berselancar di atas arung jeram, dihempas arus deras sungai dan diapit batuan cadas, salah sediki  bisa oleng dan tenggelam.
Ancaman disintegrasi bangsa sudah di depan mata, isu SARA makin marak di tengah masyarakat, radikalisme tetap eksis dan makin merajalela, ujaran kebencian di media sosial tak terbendung lagi.
Parahnya, kondisi ini diikuti oleh memudarnya tradisi yang mengandung nilai moral untuk merajut keserasian masyarakat, ditambah lagi gagapnya kekuasaan untuk mempertahankan serta menjaga rajutan keserasian tersebut.
Betapa sedihnya ketika seorang pemimpin negeri, lebih tertarik membaca komik Jepang ketimbang membaca karya-karya Buya Syafii Maarif, atau pemimpin negeri itu lebih senang potret sana sini, membuat guyonon tak penting ketimbang mendorong masyarakatnya untuk membangun budaya literasi. Awas, saya tidak bermaksud menyebut nama lho ya, entar dituduh makar atau fitnah.
Intinya, saya ingin menyadarkan kembali, bahwa perubahan itu dimulai dari diri kita sendiri. Agar jalinan harmonisasi dan solidaritas tetap kokoh, maka salah satu caranya dengan mendalami pemikiran Buya Syafii Maarif. Salah satu karya beliau yang saya baca berjudul Islam, Humanity and Indonesian Identity; Reflection on History (2018), diterjemahkan oleh George A. Fowler.
Wajah Islam di Indonesia
Sejak awal kedatangannya, Islam telah mengalir hingga daerah pedalaman Nusantara, melintasi lautan, menembus belantara dan tapal batas wilayah. Dari pedalaman hutan, sayup-sayup terdengar suara adzan tanpa pengeras suara, pada malam hari nyala obor api menyinari anak-anak yang belajar agama.
Di pagi hingga siang hari, mereka saling bahu-membahu merapikan ilalang kering mengatapi bangunan sederhana yang mereka sebut sebagai langgar, tempat ibadah.
Di wilayah dengan potret masyarakat plural, tempat ibadah seperti masjid berdampingan dengan gereja, atau pura. Saling mengasihi, menegur sapa dan berbagi senyum meski berbeda keyakianan. Kami sering menyaksikan, betapa banyak komunitas Muslim berbondong-bodong ikut membantu pembangunan tempat ibadah agama lain, begitu pun sebaliknya.
Nuansa ini mungkin sulit kita temukan di negara lain, Islam di Indonesia  telah mendarah daging pada sebagian besar penduduk di sebuah wilayah nan luas dengan bentangan ribuan pulau yang diapit oleh Samudra Hindia dan Samudra Pasifik itu.
Nilai-nilai Islam begitu mudah diterima, paling logis diterima akal serta merupakan sumber nilai yang paling ideal dalam menata diri, keluarga dan masyarakat. Salah satu sumber nilai ideal Islam dalam menata masyarakat ideal yaitu konsep Islam Rahmah Lil 'Alamin yang diwujudkan melalui harmonisasi sosial dan kebangsaan serta berkelindan dengan model-model tatanan modern.
Buya Syafii Maarif mencoba mendeskripsikan kenapa Islam di Indonesia begitu unik, unik dalam artian selain nilai Islam telah melekat kuat dalam setiap pemeluknya, Islam juga terekspresikan melalui relasi sosial multikultural dan berhasil mewujudkan masyarakat madani yang harmonis.
Hal tersebut pertama dikarenakan Islam adalah agama yang terbuka (an open religion). Ini bukan berarti bahwa Islam dengan bebas dimasuki oleh nilai-nilai dari luar, atau mencampuradukkan antara Islam dengan nilai diluarnya, tetapi yang dimaksud "agama terbuka" lebih kepada proses ijtihad pemikiran. Bagi Buya, Ijtihad harus diberikan porsi memadai agar terus relevan dengan kondisi dunia Islam.
Kita semua tahu, dalam konsep agama, terdapat norma yang sakral dan norma yang sifatnya profan. Dalam konteks sakralitas Islam, ia berisi nilai-nilai baku yang harus diikuti oleh semua pemeluknya tanpa terkecuali, norma ini sifatnya transenden, berdimensi vertikal antara hamba dan penciptanya.Â
Adapun norma profan sifatnya sosial-keumatan, di mana realitas sosial dibalut dengan beragam persoalan yang hasilnya berisi ijtihad hukum yang berlandaskan dalil-dalil agama.
Bagi Buya, keberhasilan nilai propetis mengenai perubahan sosial dan kemajuan peradaban akan sangat bergantung pada kualitas ijtihad para pemikir Muslim secara berani dan dengan penuh rasa tanggungjawab.
Memang upaya ijtihad membutuhkan kecerdasan, perspektif luas dan mendalam sehingga seorang mujtahid harus dibekali pemikiran tajam serta pengalaman segar dalam upaya rekonstuksi terhadap realita sosial. (Syafii Maarif; 2018).
Islam Agama KetulusanÂ
Dalam Al-Qur'an, para nabi dan rasul adalah mereka yang ikhlas, tulus, bebas dari rasa iri, kepura-puraan, dan terbebas dari segala penyakit hati yang dapat meruntuhkan bangunan kemanusiaan. Allah Swt mewajibkan pemeluknya untuk tulus ikhlas dalam memahami dan mempraktikkan perintah-perintah agama. Tanpa ketulusan, ibadah tidak akan berarti apa-apa dihadapan-Nya, dan tanpa ikhlas dan ketulusan, sesorang akan tersesat dan menyesatkan orang lain.
Orang yang tulus, ketika memberi tidak berharap imbalan manusia, tetapi mengharapkan keridhaan Allah Swt semata. Konsep agama yang tulus ini menjadi atribut umat Islam di  Indonesia sehingga dikenal dunia. Ketulusan ini juga merupakan salah satu cerminan bahwa dalam membangun bangsa, mustinya saling membahu sebab kita tidak bisa berjalan sendiri.
Dalam konteks gerakan sosial-politik, terekam betapa telah terjalin persahabatan erat  di antara  tokoh-tokoh pergerakan Muslim dan penganut agama lainnya. Seperti kedekatan Natsir dengan Prawoto Mangkusasmito, baik selama revolusi maupun sedahnya, atau bergabungnya Kasimo dengan partai Masyumi dalam upaya menentang sistem politik otoriter selama era demokrasi terpimpin. (Ibid; 197).
Narasi sejarah tersebut mengindikasikan bahwa Islam di Indonesia telah memberi corak ideal dalam pentas narasi sosial dan politik kenegaraan. Maka, jangan lagi ada sangkaan, ada organisasi Islam yang bersilang haluan dituduh makar. Bagi saya, Islam-lah yang merekat kita semua, Islam-lah yang pertama kali membuka jalan perjuangan, dan Islam pula yang selama ini berada di garda terdepan dalam merawat persatuan dan kesatuan bangsa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H