Mohon tunggu...
L. Wahyu Putra Utama
L. Wahyu Putra Utama Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Kopi

Literasi dan Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Buya Syafii Maarif, Refleksi Religiusitas dalam Wadah Kebhinekaan

11 Juni 2020   18:13 Diperbarui: 11 Juni 2020   18:28 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.voaindonesia.com

Sejak awal kedatangannya, Islam telah mengalir hingga daerah pedalaman Nusantara, melintasi lautan, menembus belantara dan tapal batas wilayah. Dari pedalaman hutan, sayup-sayup terdengar suara adzan tanpa pengeras suara, pada malam hari nyala obor api menyinari anak-anak yang belajar agama.

Di pagi hingga siang hari, mereka saling bahu-membahu merapikan ilalang kering mengatapi bangunan sederhana yang mereka sebut sebagai langgar, tempat ibadah.

Di wilayah dengan potret masyarakat plural, tempat ibadah seperti masjid berdampingan dengan gereja, atau pura. Saling mengasihi, menegur sapa dan berbagi senyum meski berbeda keyakianan. Kami sering menyaksikan, betapa banyak komunitas Muslim berbondong-bodong ikut membantu pembangunan tempat ibadah agama lain, begitu pun sebaliknya.

Nuansa ini mungkin sulit kita temukan di negara lain, Islam di Indonesia  telah mendarah daging pada sebagian besar penduduk di sebuah wilayah nan luas dengan bentangan ribuan pulau yang diapit oleh Samudra Hindia dan Samudra Pasifik itu.

Nilai-nilai Islam begitu mudah diterima, paling logis diterima akal serta merupakan sumber nilai yang paling ideal dalam menata diri, keluarga dan masyarakat. Salah satu sumber nilai ideal Islam dalam menata masyarakat ideal yaitu konsep Islam Rahmah Lil 'Alamin yang diwujudkan melalui harmonisasi sosial dan kebangsaan serta berkelindan dengan model-model tatanan modern.

Buya Syafii Maarif mencoba mendeskripsikan kenapa Islam di Indonesia begitu unik, unik dalam artian selain nilai Islam telah melekat kuat dalam setiap pemeluknya, Islam juga terekspresikan melalui relasi sosial multikultural dan berhasil mewujudkan masyarakat madani yang harmonis.

Hal tersebut pertama dikarenakan Islam adalah agama yang terbuka (an open religion). Ini bukan berarti bahwa Islam dengan bebas dimasuki oleh nilai-nilai dari luar, atau mencampuradukkan antara Islam dengan nilai diluarnya, tetapi yang dimaksud "agama terbuka" lebih kepada proses ijtihad pemikiran. Bagi Buya, Ijtihad harus diberikan porsi memadai agar terus relevan dengan kondisi dunia Islam.

Kita semua tahu, dalam konsep agama, terdapat norma yang sakral dan norma yang sifatnya profan. Dalam konteks sakralitas Islam, ia berisi nilai-nilai baku yang harus diikuti oleh semua pemeluknya tanpa terkecuali, norma ini sifatnya transenden, berdimensi vertikal antara hamba dan penciptanya. 

Adapun norma profan sifatnya sosial-keumatan, di mana realitas sosial dibalut dengan beragam persoalan yang hasilnya berisi ijtihad hukum yang berlandaskan dalil-dalil agama.

Bagi Buya, keberhasilan nilai propetis mengenai perubahan sosial dan kemajuan peradaban akan sangat bergantung pada kualitas ijtihad para pemikir Muslim secara berani dan dengan penuh rasa tanggungjawab.

Memang upaya ijtihad membutuhkan kecerdasan, perspektif luas dan mendalam sehingga seorang mujtahid harus dibekali pemikiran tajam serta pengalaman segar dalam upaya rekonstuksi terhadap realita sosial. (Syafii Maarif; 2018).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun