Dengan demikian, pertanyaan dasarnya adalah jika kita menyadari post-truth adalah wabah sosial, lalu apa solusi untuk mencegah watak post-truth ini? solusinya ada ditangan kekuasaan. Bila kekuasaan mampu membentuk daya pikir ilmiah atau tradisi intelektual dan masyarakat memiliki kesadaran (awareness) untuk mengidentifikasi kebenaran, maka kebohongan, karakter dari pasca-kebenaran tidak akan terjadi.
Masalahnya, kekuasaan telah memanfaatkan post-truth untuk mengendalikan pikiran publik, mendesain agar nampak kekuasaan hadir dengan kebenaran tunggal sehingga kadang ia muncul dengan watak otoriter; pengendali kebenaran, membolak-balikkan fakta atau bahkan berita palsu pun dimanfaatkan hanya kepentingan kekuasan. Watak otoriter kuasa ini melahirkan opsi ketiga setelah kekuasaan dan media yaitu masyarakat. Kekuasaan mengendalikan media, masyarakat memilih jalan lain untuk menciptakan kebenaran.
Jadi, hadirnya post-truth karena kekuasaan gagal membuka keran kebebasan informasi sehingga masyarakat memilih yang sebenarnya palsu (hoax) tetapi dianggap benar untuk melawan otoritarianisme kuasa. Post-truth adalah kegagalan kuasa mentransmisikan kebenaran pada publik, sehingga publik lebih memilih berita fiktif sebagai alat perlawanan.
Contoh sederhana, ketika presiden pada awal pemerintahannya (2014) meyakinkan publik bahwa ekonomi Indonesia akan meroket, kurs-rupiah akan mengalami penguatan, namun faktanya, empat tahun berkuasa, ekonomi Indonesia tak sanggup melawan terjangan kondisi global, meleset dari rencana. Namun, kuasa tetap mengklaim berhasil menjaga stabilitas ekonomi dengan narasi versi kekuasaan.
 Post-Truth dan KekuasaanÂ
Menurut James Ball dalam bukunya "Post-Truth; How Bullshit Conquered The World" menjelaskan, wabah Post-Truth terjadi karena dua fenomena politik yaitu retorika politik presiden Donald Trump dan Brexit, upaya Inggris Raya keluar dari Uni Eropa.
Pertama, memang bukan hal baru dalam kontestasi presiden bahwa retorika hanya komuditas politik. Tetapi pada tahun 2016, Donald Trump membawa warna baru dalam kluster retorikanya terutama tentang sebuah fakta yang tidak masuk akal, tuduhan yang tak dapat dibuktikan sekaligus kontroversial.
Contoh sederhana, kebijakan pajak Donald Trump, ia mengklaim pemotongan pajak dapat membantu mendorong pertumbuhan AS hingga mencapai 5 hingga 6% per tahun; angka di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi domestik selama tiga puluh tahun terakhir. Â
Kedua, Referendum Britania Raya pada 23 Juni 2016, ketika perusahaan dan politisi Inggris selama berbulan-bulan berupaya mewujudkan referendum yang menegaskan bahwa Inggris akan keluar dari Uni Eropa.
Pada pagi hari, ketika Inggris akan meninggalkan Eropa, mata uang Poundsterling jatuh 10 % terhadap dollar, menyentuh level terendah dalam 31 tahun. Beberapa jam setelahnya, David Cameron telah mempersiapkan upacara pelepasan Inggris dari ikatan 43 tahun Uni Eropa.
Referendum itu sebagai tanggapan atas perpecahan selama beberapa dekade di antara para pendukung mengenai keanggotaan Uni-Eropa. Namun, hingga detik ini upaya referendum itu belum menemukan titik terang.