Mohon tunggu...
Wahyu Maulana Mustafa
Wahyu Maulana Mustafa Mohon Tunggu... Freelancer - Anak Guru

setiap karya sastra adalah kritik

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mengingat "Rumah" menjadi "Ziarah" (Housing Stories)

10 Juni 2022   14:16 Diperbarui: 10 Juni 2022   14:20 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usia 0-3 Bulan, di Rumah Ibu-Bapak

Tahun 1991, saat saya lahir di sebuah Desa di Kabupaten Bolaang Mongondow, wilayah yang saat ini dapat ditempuh 3 jam dari Kota Manado. Pada saat itu mungkin bisa 4 hingg 5 jam dengan keterbatasan moda zaman dulu. 

Di Desa Poigar, tempat tugas ibu saya mengajar di salah satu sekolah menengah sebagai guru matapelajaran matematika, kami menempati rumah dinas berukuran 3x4 meter berderetan 4 unit dengan tetangga, dengan fasilitas kamar mandi yang terpisah dari bangunan rumah dan di dukung oleh sebuah sumur konvensional. 

Pilihan merumah tersebut tidak banyak dipikirkan oleh ibu-bapak saya yang memang tidak punya pilihan. Desa tersebut bukan juga kampung halaman mereka, hanya Surat Tugas sebaga seorang guru menjadi satu-satunya alasan mereka datang di desa itu, dan menempati fasilitas murah tersebut.

Masa bayi yang saya tidak ingat persis tersebut diceritakan sang ayah yang pada saat itu masih mahasiswa. Kami cukup menikmati suasana desa yang gelap saat malam hari, listrik yang hanya menyala hingga pukul 20, saya dan kakak berumur 3 tahun tumbuh bugar. 

Rumah dinas yang di kontrak tersebut dekat dengan pesisir pantai, persis depan lapangan sepak bola, yang kami makan, yang kami hirup dan yang kami minum adalah segala macam fasilitas alam yang segar.

Usia 3 Bulan-3 Tahun, di Rumah Kakek-Nenek

Pada saya berusia 3 bulan, kesulitan ekonomi menimpa ayah-bapak saya. Bapak harus kembali ke kampus untuk menyelesaikan tahap akhir studinya, sementara ibu harus menerima kenyataan bahwa gajinya akan di rapel beberapa bulan. 

Melalui teknologi surat-menyurat yang seadanya, Nenek saya datang dari Kota Ternate untuk menjemput saya tinggal bersama kakek dan nenek. 

Ini juga tentu bukan menjadi pilihan dan pertimbangan teoritikal saya yang masih belia, dorongan ekonomi dan motivasi menjaga kualitas pertumbuhan seorang anak, adalah satu-satunya pertimbangan sang kakek, seorang pensiunan (veteran) polisi mengevakuasi cucunya dari ancaman kemiskinan.

Di Ternate, rumah yang saya tempati adalah rumah kakek, keluarga dengan 9 anak. Memiliki 5 kamar yang saling terhubung, ruang tamu yang sangat besar, sejajar dengan ruang keluarga hingga ke dapur. Saya tumbuh besar sebagai pewaris marga kakek, ayah saya satu-satunya laki-laki dalam 9 bersaudara tersebut. 

Saya tinggal di kamar urutan ke dua dari depan rumah, setelah kamar kakek dan nenek. Secara arsitektural, rumah di Kota Ternate zaman dulu semua menghadap ke laut, dan memunggungi gunung. Sehingga ketinggian pondasi depan rumah kami mencapai 2 meter dan bagian dapur hanya 10 cm. secara filosofis ini juga menunjukan level kekuasaan tertinggi penghuni di dalam setiap rumah tersebut.

Usia 3-15 Tahun, kembali ke rumah Ibu-Bapak

Pada saat kembali ke tanah kelahiran saya, rumah yang ditempati ibu-Bapak kini berbeda, bukan lagi di rumah dinas guru SMP. Bapak saya telah selesai studinya sebagai Sarjana Ekonomi dan menjadi honorer di kantor kecamatan, gaji ibu saya telah terkumpul, lalu mereka membeli sebidang tanah dan rumah sederhana. 

Pilihan tersebut tergolong teoritikal, ayah saya yang punya pengalaman kampus yang lama, dan pendidikan ekonominya ditambah dengan proyeksi ala kadarnya sang ibu, akhirnya mereka menentukan rumah dan sebidang tanah tersebut sebagai akhir dari nomadenisme kami, setidaknya yang saya rasakan. 

Rumah tersebut berada persis di sisi jalan arteri Sulawesi, kota-kota di seluruh pulau sulawesi terhubung dan melintas depan rumah saya, median jalan berjarak 14 meter dari pagar rumah, perhadap-hadapan dengan koperasi, 250 meter dari pasar, 70 meter dari masjid, 100 meter dari sekolah dan tempat kerja ibu-bapak. Lokasi yang setelah 30 tahun menjadi benar-benar paling strategis di kampung halaman saya.

Saat itu, ayah saya memulai pembangunan rumah baru kami, dari secara keseluruhan bambu beratap "katu" (anyaman daun sagu), secara bertahap menjadi permanen. Rumah di desain oleh arsitek teman bapak, masih dengan gaya klasik, memiliki dapur dan ruang keluarga yang besar, hanya saja ruang tamu yang cenderung lebih kecil dibanding rumah kakek. 

Hal ini memberi kesan perbedaan kebudayaan dan latar belakang profesi kakek dan bapak yang berbeda. Kakek lebih sering dikunjungi mitra dan urusan kantor sebagai polisi, sedang bapak dan ibu saya tidak memiliki mitra yang sebesar dan seluas kakek. 

Ruang keluarga dan dapur yang besar memberi gambaran bahwa kebudayaan yang guyub di desa tersebut mempengaruhi gaya arsitektural rumah kami. 

Kebudayaan desa tersebut adalah "samua basudara" atau saling bersaudara. Yang datang bertamu di ruang keluarga selayaknya mereka bagian inti dalam rumah tersebut, ikut memasak dan berbapartisipasi dalam setiap hajatan tetangga-tetangganya, sehingga dapur di rumah saya 2 kali lebih besar dai ukuran kamar tidur.

Usia 16-23 Tahun, di Gorontalo dan Makassar

 Budaya merantau diwariskan kepada saya, masa SMA saya habiskan di asrma sebuah sekolah islamic boarding school yang berbasis semi-militer di Kota Gorontalo. Tidur di dalam barak bersama 30 orang lainnya menjadi setara, sama, dan bertahan dari Rimba asrama. Berbagai karakter teman menyebabkan kita berubah dalam bangunan asrama, menyesuaikan diri, terutama bertahan dari penyakit-penyakit menular.

Setelah lulus SMA, saya melanjutkan perantauan ke Makassar untuk berkuliah. Selama 4 Tahun saya mengalami pindah tempat tinggal (rumah kos) sebanyak 6 kali. Rasa bosan, pengaruh lingkungan, biaya, dan lain sebagainya menjadi faktor penentu nomadenisme ke dua saya di kota itu.

Usia 24-27 Tahun 'membujang' di Jakarta

Masih dalam rangka perantauan, setelah mendapat ijazah S1 saya mencoba mengadu nasib ke grogol Jakarta Barat, tinggal di Tawakal V merasakan kerasnya Ibu kota. Lalu lalang jalanan di dominasi mahasiswa trisakti, lingkungan yang yang nyaris tak pernah tidur. 

Saya menempati kamar kos ukuran 3x3 meter, mengingatkan saya pada rumah dinas guru waktu saya kecil. Hanya berbeda iklim dan nuansa, kalau saya seluruhnya adalah kamar yang saya tiduri sendiri, sedangkan rumah dinas guru peruntukannya untuk kami berempat termasuk segala barang kebutuhannya ada disitu. 

Saya tidak tinggal sendiri, saya berbaur dengan anak-anak trisakti lainnya yang memilih di kos yang sama, ada beberapa berasal dari Bandung bersuku sunda, ada juga dari Sulawesi selatan bersuku bugis. Akulturasi budaya membuat kami menjadi lebih kompak, kami menjadi saudara oleh rasa sulit bersama-sama. Dinding kamar sejatinya bukan batas antar kamar lagi, kami telah menjadikan bangunan rumah kos itu sebagai rumah untuk keluarga kecil ini. 

Dorongan utama saya dalam memilih bertinggal di Jakarta adalah teman, tidak memikirkan hal-hal lainnya. Karena satu-satunya yang menakutkan bagi saya adalah ketika sulit tidak ada teman yang membantu, itu tertanamkan karena tidak ada satupun keluarga saya yang bertinggal di Jakarta. Untuk itu, saya harus tinggal sedekat mungkin dengan teman-teman saya.

Usia 27 Tahun, Menikah di Jakarta 

Setelah menikah, saya memutuskan pindah menyewa ke kos-kosan yang lebih besar, lebih layak dan memiliki kamar mandi sendiri. Saya tinggal dengan istri di kos-kosan daerah setiabudi dengan pertimbangan dekat dengan kantor istri dan lebih efektif bagi saya untuk antar-jemput. Satu-satunya masalah kami alami ketika barang kami tak cukup lagi ditampung oleh kamar kosan teresbut, dan juga rencana untuk memiliki anak menjadi pertimbangan baru. 

Kami memutuskan pindah ke rumah kontrakan 2 kamar di daerah Rawamangun, Jakarta Timur. Lokasi tersebut dipilih karena biaya, pemilik rumah kontrakan adalah teman istri saya, rumah yang ada di dalam gang, tidak bisa di akses oleh mobil, minim cahaya matahari, tapi kami menikmatinya.

Usia 29 Tahun, 'geser' Bojong Gede

2 Tahun berjalan, kami mengalami musibah banjir, rumah dan barang-barang kami mengalami kerusakan, meledaknya wabah covid-19 di Jakarta yang di tangani di RSUP Persahabatan (100 m dari rumah kontrakan) keselamatan dan kesehatan anak kami yang masih 1 tahun menjadi motivasi untuk mencari rumah sendiri di kawasan pinggiran jabodetabek dengan lingkungan bebas banjir dan sehat. 

1 tahun mencari dan memilih rumah, akhirnya didapatlah rumah di daerah Bojong Gede, Kabupaten Bogor. Keberadaan KRL adalah dorongan utama, lingkungan sehat dan bersih, akses kendaraan cukup besar, dan bangunan konstruksi yang baik membuat saya dan istri membulatkan tekad memilih rumah yang sampai detik ini kami tinggali.

Mungkin saja ini bukan akhir perjalanan Housing Stories saya, masih ada rencana-rencana setelah ini, akan saya ceritakan di masa mendatang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun