Pada saat kembali ke tanah kelahiran saya, rumah yang ditempati ibu-Bapak kini berbeda, bukan lagi di rumah dinas guru SMP. Bapak saya telah selesai studinya sebagai Sarjana Ekonomi dan menjadi honorer di kantor kecamatan, gaji ibu saya telah terkumpul, lalu mereka membeli sebidang tanah dan rumah sederhana.Â
Pilihan tersebut tergolong teoritikal, ayah saya yang punya pengalaman kampus yang lama, dan pendidikan ekonominya ditambah dengan proyeksi ala kadarnya sang ibu, akhirnya mereka menentukan rumah dan sebidang tanah tersebut sebagai akhir dari nomadenisme kami, setidaknya yang saya rasakan.Â
Rumah tersebut berada persis di sisi jalan arteri Sulawesi, kota-kota di seluruh pulau sulawesi terhubung dan melintas depan rumah saya, median jalan berjarak 14 meter dari pagar rumah, perhadap-hadapan dengan koperasi, 250 meter dari pasar, 70 meter dari masjid, 100 meter dari sekolah dan tempat kerja ibu-bapak. Lokasi yang setelah 30 tahun menjadi benar-benar paling strategis di kampung halaman saya.
Saat itu, ayah saya memulai pembangunan rumah baru kami, dari secara keseluruhan bambu beratap "katu" (anyaman daun sagu), secara bertahap menjadi permanen. Rumah di desain oleh arsitek teman bapak, masih dengan gaya klasik, memiliki dapur dan ruang keluarga yang besar, hanya saja ruang tamu yang cenderung lebih kecil dibanding rumah kakek.Â
Hal ini memberi kesan perbedaan kebudayaan dan latar belakang profesi kakek dan bapak yang berbeda. Kakek lebih sering dikunjungi mitra dan urusan kantor sebagai polisi, sedang bapak dan ibu saya tidak memiliki mitra yang sebesar dan seluas kakek.Â
Ruang keluarga dan dapur yang besar memberi gambaran bahwa kebudayaan yang guyub di desa tersebut mempengaruhi gaya arsitektural rumah kami.Â
Kebudayaan desa tersebut adalah "samua basudara" atau saling bersaudara. Yang datang bertamu di ruang keluarga selayaknya mereka bagian inti dalam rumah tersebut, ikut memasak dan berbapartisipasi dalam setiap hajatan tetangga-tetangganya, sehingga dapur di rumah saya 2 kali lebih besar dai ukuran kamar tidur.
Usia 16-23 Tahun, di Gorontalo dan Makassar
 Budaya merantau diwariskan kepada saya, masa SMA saya habiskan di asrma sebuah sekolah islamic boarding school yang berbasis semi-militer di Kota Gorontalo. Tidur di dalam barak bersama 30 orang lainnya menjadi setara, sama, dan bertahan dari Rimba asrama. Berbagai karakter teman menyebabkan kita berubah dalam bangunan asrama, menyesuaikan diri, terutama bertahan dari penyakit-penyakit menular.
Setelah lulus SMA, saya melanjutkan perantauan ke Makassar untuk berkuliah. Selama 4 Tahun saya mengalami pindah tempat tinggal (rumah kos) sebanyak 6 kali. Rasa bosan, pengaruh lingkungan, biaya, dan lain sebagainya menjadi faktor penentu nomadenisme ke dua saya di kota itu.
Usia 24-27 Tahun 'membujang' di Jakarta
Masih dalam rangka perantauan, setelah mendapat ijazah S1 saya mencoba mengadu nasib ke grogol Jakarta Barat, tinggal di Tawakal V merasakan kerasnya Ibu kota. Lalu lalang jalanan di dominasi mahasiswa trisakti, lingkungan yang yang nyaris tak pernah tidur.Â
Saya menempati kamar kos ukuran 3x3 meter, mengingatkan saya pada rumah dinas guru waktu saya kecil. Hanya berbeda iklim dan nuansa, kalau saya seluruhnya adalah kamar yang saya tiduri sendiri, sedangkan rumah dinas guru peruntukannya untuk kami berempat termasuk segala barang kebutuhannya ada disitu.Â