Mohon tunggu...
Wahyu Maulana Mustafa
Wahyu Maulana Mustafa Mohon Tunggu... Freelancer - Anak Guru

setiap karya sastra adalah kritik

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mengingat "Rumah" menjadi "Ziarah" (Housing Stories)

10 Juni 2022   14:16 Diperbarui: 10 Juni 2022   14:20 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak tinggal sendiri, saya berbaur dengan anak-anak trisakti lainnya yang memilih di kos yang sama, ada beberapa berasal dari Bandung bersuku sunda, ada juga dari Sulawesi selatan bersuku bugis. Akulturasi budaya membuat kami menjadi lebih kompak, kami menjadi saudara oleh rasa sulit bersama-sama. Dinding kamar sejatinya bukan batas antar kamar lagi, kami telah menjadikan bangunan rumah kos itu sebagai rumah untuk keluarga kecil ini. 

Dorongan utama saya dalam memilih bertinggal di Jakarta adalah teman, tidak memikirkan hal-hal lainnya. Karena satu-satunya yang menakutkan bagi saya adalah ketika sulit tidak ada teman yang membantu, itu tertanamkan karena tidak ada satupun keluarga saya yang bertinggal di Jakarta. Untuk itu, saya harus tinggal sedekat mungkin dengan teman-teman saya.

Usia 27 Tahun, Menikah di Jakarta 

Setelah menikah, saya memutuskan pindah menyewa ke kos-kosan yang lebih besar, lebih layak dan memiliki kamar mandi sendiri. Saya tinggal dengan istri di kos-kosan daerah setiabudi dengan pertimbangan dekat dengan kantor istri dan lebih efektif bagi saya untuk antar-jemput. Satu-satunya masalah kami alami ketika barang kami tak cukup lagi ditampung oleh kamar kosan teresbut, dan juga rencana untuk memiliki anak menjadi pertimbangan baru. 

Kami memutuskan pindah ke rumah kontrakan 2 kamar di daerah Rawamangun, Jakarta Timur. Lokasi tersebut dipilih karena biaya, pemilik rumah kontrakan adalah teman istri saya, rumah yang ada di dalam gang, tidak bisa di akses oleh mobil, minim cahaya matahari, tapi kami menikmatinya.

Usia 29 Tahun, 'geser' Bojong Gede

2 Tahun berjalan, kami mengalami musibah banjir, rumah dan barang-barang kami mengalami kerusakan, meledaknya wabah covid-19 di Jakarta yang di tangani di RSUP Persahabatan (100 m dari rumah kontrakan) keselamatan dan kesehatan anak kami yang masih 1 tahun menjadi motivasi untuk mencari rumah sendiri di kawasan pinggiran jabodetabek dengan lingkungan bebas banjir dan sehat. 

1 tahun mencari dan memilih rumah, akhirnya didapatlah rumah di daerah Bojong Gede, Kabupaten Bogor. Keberadaan KRL adalah dorongan utama, lingkungan sehat dan bersih, akses kendaraan cukup besar, dan bangunan konstruksi yang baik membuat saya dan istri membulatkan tekad memilih rumah yang sampai detik ini kami tinggali.

Mungkin saja ini bukan akhir perjalanan Housing Stories saya, masih ada rencana-rencana setelah ini, akan saya ceritakan di masa mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun