Mohon tunggu...
wahyu mada
wahyu mada Mohon Tunggu... Penulis - Pemuda dari Nganjuk yang ingin memandang dunia dari berbagai sudut pandang

Sejarah dadi piranti kanggo moco owah gingsire jaman (KRT Bambang Hadipuro)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dampak Reformasi: Demonstrasi Penurunan Perangkat Desa Kedondong, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk Tahun 1998

14 Februari 2022   18:21 Diperbarui: 14 Februari 2022   18:22 1590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Sumber gambar: (Kliping) Reformasi: "Musim Gugur" Kepala Desa Tiba. Juli 1998. Detektif dan Romantika hlm: 28 - 29. (warungarsip.co).

Reformasi merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pembangunan kembali suatu hal sesuai dengan hakiki dan porsinya, misalnya reformasi birokrasi yang berarti membangun kembali kondisi birokrasi ke arah perbaikan sesuai dengan hakiki dari birokrasi itu sendiri. Secara harfiah kata "reformasi" berasal dari kata "reform" atau "reformation" yang berarti membentuk kembali sesuai hakikinya. Secara fungsional pemahaman reformasi dapat dimaknai sebagai pembentukan kembali ke arah perbaikan, kemajuan, pembaharuan, dan penyempurnaan (Nurhadi, 2017: 138).

Di Indonesia sendiri terdapat gerakan reformasi dari berbagai kalangan di tahun 1998, mulai dari masyarakat biasa hingga mahasiswa. Reformasi yang terjadi di Indonesia merupakan salah satu aset berharga bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Di Indonesia sejumlah peristiwa penting seperti pendudukan Gedung DPR/MPR, insiden Trisakti, Semanggi, pengunduran diri Presiden Soeharto, aksi penjarahan, kerusuhan, pernyataan 14 menteri yang sudah tidak bersedia lagi duduk dalam Kabinet Reformasi, dan sebagainya, adalah realitas sejarah (Suparno, 2012: 1). Reformasi membuka peluang luas untuk mendiskusikan sekaligus melakukan beragam eksperimen untuk membangun sistem politik yang lebih demokratis di Indonesia (Budiardjo, 2007: xxiv).

Reformasi di Indonesia yang juga disebut sebagai masa berakhirnya masa Orde Baru banyak disebabkan oleh berbagai aspek. Aspek pertama disebabkan karena pada periode akhir Orde Baru kontrol pemerintah terhadap masyarakat menjadi agak longgar. Salah satunya adalah Soeharto tidak lagi bersandar pada dukungan penuh kalangan militer (Kasenda, 2018: 8). Pada tingkat yang lebih luas masyarakat Indonesia telah berubah menjadi masyarakat terdidik, sehat, dan mobilitas tinggi daripada keadaan akhir 1960-an.

Aspek lainnya dapat dilihat dari gerakan mahasiswa di tahun 1970-an. Pasca tindakan keras pemerintah terhadap para aktivis kampus di akhir tahun 1970-an, mahasiswa mulai mengorganisir diri dalam kelompok-kelompok kecil yang berbasis di luar kampus (Kasenda, 2018:10). Pada akhir tahun 1980-an, gerakan mahasiswa yang berpihak kepada petani yang nantinya juga berkonfrontasi dengan apparat keamanan. Kemampuan dan keberanian para aktivis ini nantinya akan membangkitkan kembali aksi massa tahun 1989 -- 1994 yang juga memperlemah kekuatan Presiden Soeharto tahun 1996 dan turunnya Orde Baru tahun 1998.

Aspek kedua yaitu karena krisis moneter yang merupakan awal keterpurukan perekonomian. Nilai tukar rupiah merosot dan menjadi perhatian Presiden Soeharto. Permulaan peristiwa yang mengguncang nilai tukar mata uang negara-negara di Asia, seperti: Malaysia, Filipina, dan juga Indonesia disebabkan oleh krisis moneter yang melanda Thailand pada awal Juli tahun 1997. Rupiah yang berada di posisi nilai tukar Rp2.500/US$ terus mengalami kemerosotan hingga 9 persen (Poesponegoro dan Notosusanto, 2011: 665). Presiden Soeharto mencoba memecahkan masalah ini dengan meminta bantuan sarana penyelamatan kepada International Monetary Fund (IMF) yang berjumlah US $43 miliar. Perjanjian dengan pihak IMF dilaksanakan pada bulan Oktober 1997 dan memaksa pemerintah kita untuk melakukan berbagai pembaharuan kebijakan.  Pemerintah menutup 16 bank swasta dan menghentikan subsidi, namun usaha ini belum membawa pemecahan masalah. Rupiah terus melemah hingga sekitar Rp17.000/US $ di Bulan Januari 1998 yang menyebabkan hancurnya bursa saham Jakarta, bangkrutnya perusahan-perusahaan modern di Indonesia, hingga menyebabkan PHK secara besar-besaran. Gangguan dalam kehidupan sosial masyarakat mulai muncul. Krisis ini menjalar menjadi gejolak-gejolak non-ekonomi lainnya yang membawa dampak bagi perubahan selanjutnya.

Aspek ketiga dapat dilihat dari krisis politik dan surutnya kredibilitas pemerintah. Pada tanggal 20 Januari 1998, Presiden Soeharto secara resmi menerima pencalonannya oleh Golkar untuk jabatan kepresidenan (Poesponegoro dan Notosusanto, 2011: 667). Masyarakat Indonesia semakin prihatin karena stagnasi perekonomian Indonesia, peningkatan PHK pekerja, serta menyempitnya kesempatan kerja bagi masyarakat memancing keprihatinan masyarakat. Beberapa minggu setelah terpilihnya Presiden Soeharto sebagai Presiden RI, kekuatan-kekuatan oposisi yang telah lama dibatasi mulai muncul ke permukaan. Kecaman terhadap presiden tumbuh subur yang ditandai dengan gerakan-gerakan mahasiswa sejak awal tahun 1998. Garis besar tema yang dibawa dalam tuntutan mahasiswa adalah soal penurunan harga sembako, penghapusan monopoli, kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN), serta suksesi untuk kepemimpinan nasional. KKN juga terjadi di Desa Kedondong pada masa Orde Baru. Aspek politik ini yang nantinya memiliki kaitan erat dengan politik yang terdapat di Desa Kedondong karena kebijakan Orde Baru. Hingga akhirnya nanti menyebabkan demonstrasi besar-besaran untuk ukuran skala desa. Pertanyaan untuk artikel ini adalah bagaimana kebijakan Orde Baru dapat memengaruhi demonstrasi penurunan Kepala Desa Kedondong pada 27 Juni 1998?

Garis Besar Reformasi Berbagai Desa di Nganjuk Tahun 1998

Reformasi tidak hanya dilakukan di wilayah kota-kota besar atau tempat-tempat komersial saja, namun juga dilakukan di unit terkecil pemerintahan, yaitu desa. Beberapa kepala desa merasa sesak dan was-was karena demonstrasi massa dalam skala besar untuk ukuran desa terus terjadi. Bayangkan saja, dari 277 desa atau kelurahan di Nganjuk, tak kurang dari 115 desa yang bergolak menyusul munculnya aksi protes warga setempat (Laporan Abdul Manan, 18 Juli 1998). Mereka bergerak dengan satu tuntutan, yaitu kades yang bersangkutan harus mundur dari jabatannya.

Tentunya aksi protes tersebut membuat kades terpukul secara psikologi. Bapak Gumawi seorang Kades Desa Campur, Kecamatan Gondang misalnya, mengaku hanya bisa pasrah ketika warga ramai-ramai mencopot papan nama kades kentungan di depan rumahnya. Rekan-rekannya juga mengalami peristiwa yang sama pahitnya. Kades Desa Gondanglegi, Bapak Supriyono malah harus dimasukkan ke dalam kamar balai desa. Demikian halnya dengan Bapak Ilhamsangi (Kades Desa Baleturi) yang harus merasakan pukulan dari masyarakat desanya sendiri (Laporan Abdul Manan, 18 Juli 1998). Di Desa Kedondong Kecamatan Bagor, masyarakat berkeliling desa sambil menyuarakan "Pak lurah turun, Pak carik turun" (Bapak Kabul, 1 Desember 2021). Selain itu masyarakat juga menghancurkan plang bertuliskan Kepala Desa Kedondong (Bapak Sukoco, 22 November 2021).

Kemarahan warga di Nganjuk itu dapat terjadi karena beberapa aspek yang melatarbelakanginya. Di Desa Baleturi, Gondanglegi, Kedungsuko, dan Kedondong bersumber dari dugaan penyalahgunaan uang desa dan jabatan oleh para kades. 

Ali Fauzan sebagai Wakil Ketua DPRD Nganjuk menilai aksi unjuk rasa yang melanda Nganjuk merupakan bentuk letupan warga yang selama 32 tahun terakhir hidup dalam tekanan. "Saluran politik, termasuk DPRD, tidak berfungsi secara maksimal," ujar Wakil Ketua DPRD Nganjuk tersebut (Laporan Abdul Manan, 18 Juli 1998). Biang kemacetan komunikasi politik itu, sambung Ketua DPC PPP Nganjuk tersebut, adalah peraturan tentang Sistem Pemerintahan Desa dalam UU No 5/ 1974 yang membunuh kemandirian DPRD. "DPRD dipandang sebagai bagian dari pemerintahan daerah," ujar Fauzan. Akibatnya, pihak eksekutif terkesan kurang menanggapi kritik dari masyarakat yang disalurkan lewat DPRD.

Tuntutan mundur yang diajukan kepada perangkat desa tidak hanya terjadi di Nganjuk saja, namun juga terjadi di beberapa kota Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali. Kades Musiar, Kediri telah mengakui perbuatannya menggunakan Rp 9,6 juta uang desa. Walaupun beliau berjanji akan mengembalikan uang tersebut dalam waktu dua bulan, namun warga tetap menuntutnya mundur dan merusak balai desa.  Selain itu Kades Wirogaten, Kebumen, Jawa Tengah yang diserahkan warganya ke polisi setelah diduga menilap wesel senilai ratusan ribu rupiah. Kades Panji, Kabupaten Buleleng, Bali juga demikian. Bahkan beliau ditentang masyarakatnya karena menyusul kenaikan tarif air minum yang lebih dari 100 persen dan dinilai sangat memberatkan. Persoalan air juga yang memicu kemarahan massa di Desa Ngablak dan Desa Kalipang di Kecamatan Grogol.

Para teoritikus sosial kontemporer modern yang membahas isu-isu konflik tidak satu pun melepaskan perhatian mereka dari fenomena persoalan ekonomi (Tuwu, 2018:63). Perbedaanya hanya terletak pada apakah faktor ekonomi menjadi penyebab utama (determinan utama) yang menyebabkanb konflik atau tidak. Setiap kali terjadi konflik, maka setiap perhatian akan tertuju kepada persoalan penguasaan sumber ekonomi, perebutan sumber ekonomi, atau distribusi ekonomi.

Studi Kasus Reformasi 1998 di Desa Kedondong, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk

Pengenalan Desa Kedondong

Sebelum membahas reformasi di Desa Kedondong, lebih baik jika kita mengetahui profil Desa Kedondong terloebih dahulu. Desa Kedondong merupakan salah satu desa agraris yang terletak di Kecamatan Bagor. Desa Kedondong terletak di koordinat -7.5866360323, 111.883523093 (vymaps.com). Posisi desa ini masuk di bagian timur Kecamatan Bagor, sehingga berbatasan dengan Kecamatan Nganjuk (Nganjuk kota) di Cangkringan dan Ringinanom. Selain itu, Desa Kedondong juga berbatasan dengan Desa Kutorejo di utara dan Guyangan di wilayah barat yang semuanya masuk administratif Kecamatan Bagor. Desa Kedondong dibagi menjadi dua dukuhan atau lingkungan, yaitu Dusun Sanggrahan dan Lingkungan Kedondong itu sendiri. Dusun Sanggrahan terletak di timur, sedangkan Lingkungan Kedondong terletak di barat. Masyarakat Desa Kedondong sering menyebut asal dukuhan mereka sebagai identitas saat berkomunikasi antar warga desa, misalnya "kae lo cah Sanggrahan" (itu anak Sanggrahan) atau "kuwi cah Ndondong buk" (itu anak Ndondong (Kedondong) Bu).

Selayaknya desa-desa lainnya, pemimpin tertinggi Desa Kedondong dijabat oleh kades (kepala desa). Perlu diketahui bahwa beberapa masyarakat Nganjuk sering menyebut kepala desa (kades) mereka sebagai lurah. Walaupun secara hukum mereka memang kades, tidak terkecuali Kades Kedondong. Rujukan tata kelola pemerintahan di Desa Kedondong bersumber dari Undang-undang yang dikeluarkan masa Orde Baru yang mengatur tentang administrasi desa yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang tersebut masih berlaku hingga topik peristiwa yang diangkat ini terjadi sebelum akhirnya digantikan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Desa. Memang beberapa tahun berselang paska reformasi, Desa Kedondong berubah statusnya dari desa menjadi kelurahan.

Kondisi Desa Kedondong Menjelang Reformasi

Sumber-sumber yang dapat dijadikan rujukan untuk memperoleh fakta kondisi Desa Kedondong pra-reformasi hingga refromasi adalah sumber primer, sekunder, dan lisan. Sumber primer didapatkan dari arsip sezaman, yaitu majalah Detektif dan Romantika, Juli 1998 yang berjudul "Musim Gugur Kepala Desa Tiba" dan juga didapatkan dari artikel sezaman yang ditulis dan dilaporkan oleh Abdul Manan dengan artkelnya ""Musim Gugur" Kepala Desa Tiba" (18 Juli 1998). Selain sumber tersebut, juga didapatkan sumber lain berupa surat pengunduran diri Bapak To (nama samaran) selaku Kepala Desa Kedondong dan surat pengunduran diri dari Bapak Di (selaku sekretaris desa atau carik di Desa Kedondong). Demi tujuan untuk melengkapi sumber-sumber yang sudah diperoleh dan untuk menggali informasi-informasi yang tidak tercatat pada dokumen arsip, maka dilakukan wawancara lisan kepada pelaku peristiwa dan saksi peristiwa sebagai informan. Informan yang diperoleh yaitu Bapak Sukoco (pelaku dan saksi) dan Bapak Kabul (saksi). Selain itu juga ditunjang oleh berbagai sumber sekunder yang berasal dari buku dan artikel jurnal untuk memperoleh teori, konsep, serta pendekatan yang sekiranya cocok untuk merekonstruksi peristiwa tahun 1998 di Desa Kedondong.

Desa Kedondong menjelang reformasi dan saat reformasi dipimpin oleh kades yang bernama Bapak To (nama samaran). Sebelumnya, Desa Kedondong dipimpin oleh Bapak Moeljono hingga pada tahun 1990. Bapak Moeljono merupakan salah satu kades yang paling terkenal se-Bumi Kedondong hingga sekarang. Pendirian tempat latihan silat Kelatnas Perisai Diri pertama di Nganjuk hingga toleransi beragama yang dibuktikan dengan dibangunnya Gereja Pantekosta Tabernakel Kristus Penolong di tengah-tengah lingkungan Muslim merupakan salah satu prestasi unik yang ditorehkan desa di masa kepemimpinan Bapak Moeljono. Sesudah Bapak Moeljono meninggal dunia di tahun 1990, maka kepemimpinan desa sementara diampu oleh PLT bernama Bapak Kasmari di sekitaran tahun 1990 -- 1992. Baru setelah tahun 1992 itu diadakan pemilu desa untuk memilih Kades Desa Kedondong yang akan menjabat. Salah satu calonnya, yaitu Bapak To memberikan janji-janji kepada masyarakat Desa Kedondong. Salah satu janji yang pada akhirnya nanti menimbulkan kemarahan masyarakat desa hingga terjadi demonstrasi penurunannya adalah tentang bantuan dan pembelian batu bata 1.000.

Hingga pada akhirnya Bapak To terpilih sebagai Kepala Desa Kedondong atau masyarakat Kedondong menyebutnya sebagai Pak Lurah Ndondong sing anyar.  Beliau memiliki alasan pembenaran akan kekuasaannya yang disebut legitimasi pragmatis. Legitimasi pragmatis menempatkan penguasa karena dianggap sanggup untuk mengelola masyarakat dan mereka berasal dari masyarakat yang biasa saja (bukan golongan elit atau teknokrat). Setelah beliau terpilih, banyak warga masyarakat Kedondong yang menantikan janji-janjinya dulu sebelum dipilih menjadi kades.

Desa Kedondong setelah dijabat oleh Bapak To banyak menorehkan prestasi untuk desa, utamanya pada bidang non-akademik seperti olahraga. Pada masa pemerintahan lurahnya Bapak To sebetulnya terdapat kemajuan di bidang olahraga dan pertanian, tetapi untuk membiayai kemajuan di bidang olahraga seperti perlombaan (sepakbola, volleyball, dan sebagainya) hingga menang ke tingkat kecamatan juga butuh yang namanya biaya (Bapak Kabul, 1 Desember 2021).

Bidang ekonomi dan sosial kemasyarakatan yang merupakan bidang paling krusial dalam pembangunan dan pengembangan desa ternyata banyak terjadi masalah internal di dalamnya. Hal itu juga yang nantinya menjadi salah satu faktor penyebab masyarakat desa berdemonstrasi menuntut Kades Desa Kedondong (Bapak To) untuk mundur atau turun dari jabatannya karena masyarakat sudah kehilangan kepercayaan akan dirinya. Kepala desa saat itu telah mengalami krisis legitimasi atau tidak adanya keyakinan anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok, atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati (Budiardjo, 2008: 64).

Didorong Permasalahan Ekonomi

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa di Desa Baleturi, Gondanglegi, Kedungsuko, dan Kedondong bersumber dari dugaan penyalahgunaan uang desa dan jabatan oleh para kades. Khusus kasus di Desa Kedondong penyalahgunaan dana desa memang terjadi. Masyarakat mencari kesalahan-kesalahan yang dijalankan oleh pemerintah desa, seperti: banyak korupsi, uang subsidi tidak sampai, sebagian kecil yang hanya digunakan untuk membangun, dan banyak penyelewengan-penyelewengan lainnya (Bapak Kabul, 1 Desember 2021). Sementara itu Bapak Sukoco yang sekarang menjabat sebagai Ketua RW III Kelurahan Kedondong menambahkan, bahwa pemicu konflik antar kelas, yaitu masyarakat Desa Kedondong dan Pemangku Jabatan Kedondong utamanya karena sang pemegang jabatan tidak sesuai dengan janji-janjinya disaat akan mencalonkan diri sebagai Kepala Desa Kedondong (22 November 2021). Dimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa janji yang paling krusial adalah bantuan batu bata 1.000 yang ddapatkan dari dana subsidi desa.

Uang subsidi desa merupakan sumber pendapatan desa yang asalnya dari pemberian pemerintah dan pemerintah daerah yang berupa bantuan dan sumbangan. Berdasarkan peraturan pusat yang berlaku dalam masalah ini telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Desa. Dimana disebutkan dalam Pasal 21 Ayat 1 bahwa pendapatan desa dibagi menjadi dua, yaitu: pendapatan asli desa sendiri dan pendapatan yang berasal dari pemberian pemerintah dan pemerintah daerah. Dalam kasus ini permasalahan ekonomi yang menjadi akar konflik yaitu dana bantuan pemerintah atau yang saat itu umum disebut sebagai uang subsidi. Pendapatan desa yang berasal dari bantuan pemerintah seharusnya digunakan sebagai sarana keperluan masyarakat desa, seperti: meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mempercepat pembangunan fisik atau non fisik, meringankan beban keuangan desa, dan untuk menunjang kehidupan operasional desa.

Bantuan batu bata 1.000 yang dijanjikan Bapak To sebelumnya tidak kunjung datang. Bantuan ini menggunakan dana subsidi desa (Bapak Sukoco, 22 November 2021). Bantuan yang dijanjikan tersebut ditunggu sangat lama oleh masyarakat yang pada akhirnya tidak kunjung datang. Salah satu aspek penyebab konflik terletak di permasalahan dana yang akan direalisasikan menjadi batu bata 1.000.

Selain itu terdapat faktor-faktor pendukung kejengkelan masyarakat desa, yaitu faktor politik. Partai politik yang eksis dan berkuasa di era Orde Baru yaitu Golongan Karya atau yang akrab disebut Golkar. Partai ini pada masa Orde Baru sering disebut sebagai kendaraan bagi penguasa. Kendaraan tersebut adalah golongan karya, yang dijadikan "partai" pendukung penguasa dengan tujuan memperoleh dukungan massa dalam pemilu (Rrepository Universitas Riau (Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum: 48). Golkar juga menjadi sarana untuk memastikan suara pemilu mayoritas selalu mendukung pemerintahan Orde Baru.  Tak hanya itu, para PNS, pegawai BUMN, aparatur desa, hingga anggota maupun purnawirawan ABRI wajib untuk bergabung dalam Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) dan mendukung Golkar (Intan Nadhira Safitri, Mata Indonesia News 20 Oktober 2021). Aparatur Desa Kedondong yang dimana jabatan tertinggi dijabat oleh lurah (panggilan akrab Kades Kedondong) juga melakukan hal yang sama. Partai Golongan Karya saat itu pemerintahan pun dilibatkan untuk memenangkan suatu golongan, kalau tidak menang akan dimarahi oleh atasan, jadi mau tidak mau menggunakan uang subsidi desa untuk kampanye dan juga uang-uang khas (Bapak Kabul, 1 Desember 2021). Bapak Kabul sebagai informan juga menambahkan bahwa bentuk penyelewengan aparatur desa mengenai dana desa terletak disitu. Selain itu juga pada masa kepemimpinan Bapak To yang terkenal maju dalam bidang olahraga hingga sampai tingkat kecamatan, tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk ukuran desa. Biaya itu salah satunya juga diambil dari uang subsidi desa tanpa musyawarah terlebih dahulu.

Apabila berbicara mengenai konflik, maka jangan lupakan teori konflik milik Karl Marx yang biasanya setiap konflik pasti ada sebab di bidang ekonomi. Begitulah kira-kira yang dikatakan Prof. Dr. Yety Rochwulaningsih, M.Si sebagai dosen pengampu mata kuliah Pengantar Sosiologi Prodi S1 Sejarah Undip saat mengajar materi tentang teori konflik. Struktur ekonomi adalah penggerak sistem sosial yang menyebabkan perubahan sosial, lingkungan ekonomi menjadi dasar dari segala perilaku manusia (Mas'udi, 2015: 186). Sebab-sebab terjadinya konflik ada beberapa hal. Sebab-sebab konflik tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Misalnya persoalan ekonomi dapat menimbulkan konflik politik, agama dapat menimbulkan konflik sosial, persoalan budaya dalam beberapa kasus menimbulkan konflik politik dan sebaliknya (Kasim dan Nurdin, 2015: 19). Khusus kasus di Desa Kedondong lebih disebabkan oleh persoalan ekonomi yang menyebabkan konflik politik, dimana pemimpin sudah kehilangan kepercayaan dari masyarakat, serta telah kehilangan legitimasinya di mata masyarakat. Fakta dari kalimat tersebut adalah subsidi atau dana desa yang digunakan secara sewenang-wenang oleh pejabat desa dan lebih-lebih untuk kepentingan partai yang saat itu menyokong Orde Baru. Pendekatan normatif dalam studi politik dapat memandang peristiwa ini sebagai perubahan masyarakat yang berkonsekuensi dari konflik nilai-nilai dan ide-ide yang bertentangan. Selain itu pendekatan struktural digunakan untuk menganalisis struktur-struktur dalam bentuk kelompok-kelompok dan kelas-kelas, yang dalam analisis kaum neo-Marxis adalah kepentingan ekonomi.

Dalam masalah konflik Desa Kedondong, hal ini berkaitan dengan kepentingan ekonomi, yaitu anggaran desa yang berupa uang subsidi. Teori elit politik dapat mengatakan bahwa seluruh sistem politik dibagi menjadi dua strata, yaitu mereka yang dipimpin dan memimpin. Teori ini juga memandang pada perilaku sebagian kecil pembuat kebijakan politik. Kasus studi Desa Kedondong dapat dikaji dengan sistem masyarakat desa yang menjadi dua strata, yaitu perangkat desa yang memiliki hak memimpin dan masyarakat Kedondong yang dipimpin. Kemudian juga perangkat desa dapat membuat berbagai kebijakan, mungkin sekali kebijakan mereka itu dilanggar sendiri, yaitu dengan menggunakan anggaran desa yang seharusnya untuk menyejahterakan masyarakat Desa Kedondong.

Rapat Kaum Reformis Desa Hingga Penurunan Perangkat Desa

Terdapat beberapa kelompok perangkat desa yang tidak menyukai kades dan jajarannya yang dianggap meyelewengkan dana. Beberapa dari mereka membocorkan informasi-informasi tentang penyelewengan dana kepada masyarakat. Selain itu dugaan penyelwengan dana yang dilakukan oleh kades terkait sangat mencolok di mata masyarakat yang masih berpikiran sehat. Dimana janji-janji sebelumnya tidak dituntaskan dan malah anggaran desa dipakai untuk kepentingan lain yang sifatnya belum terlalu penting dan mendesak

Pada lingkup spasial besar atau nasional bahwa tahun 1997 terjadi krisis ekonomi. Awal Oktober 1997, pemerintah belum punya jawaban terhadap krisis ketika meminta bantuan IMF (Kasenda, 2018: 14). Di dua kampus besar Indonesia (UI dan UGM), para mahasiswa mengorganisir demonstrasi besar akhir tahun di akhir November 1997. Periode Januari -- Mei 1998 kejatuhan Soeharto, tercatat 850 aksi protes sekitar delapan kali lebih besar dari yang terjadi selama 10 tahun dalam satu dekade terdahulu (Kasenda, 2018: 14). Tanggal 20 Mei 1998, demonstrasi-demonstrasi besar dengan tuntutan yang sama menjalar di kota-kota besar Indonesia. Di Yogyakarta misalnya, 1 juta masyarakat berkumpul di Alun-alun Utara Karaton Kasultanan Yogyakarta yang didampingi oleh Sri Sultan Hamengkubuwana X pada 20 Mei 1998. Tanggal 21 Mei 1998, Soeharto akhirnya mengundurkan diri sebagai presiden dan Wakil Presiden BJ Habibie disumpah sebagai presiden (Max Lane, 2007: 184 -- 193).

Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 yang menadakan pula akhir kekuasaan Orde Baru. Pada saat yang berdekatan di lingkup Desa Kedondong, kaum-kaum reformis mulai berani menunjukkan gigi dan aksinya pada Juni 1998 atau 1 bulan paska Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Peristiwa itu diakhiri dengan mundurnya Bapak To selaku Kades Kedondong dan Bapak Di selaku Carik Desa Kedondong yang tepat pada tanggal 27 Juni 1998 pukul 10:00 WIB.

Sebelum Juni 1998 itu, sebenarnya kelompok masyarakat yang kurang suka dengan kepemipinan Bapak To sudah merencanakan penurunan lurah dan perangkat-perangkatnya yang terlibat. Mungkin saja hal itu terjadi karena pengaruh demo-demo yang banyak dilancarkan oleh mahasiwa atau warga masyarakat secara luas di kota-kota besar Indonesia. Tercatat kelompok masyarakat Kedondong yang kontra dengan kades mengadakan rapat selama 2 bulan, yaitu April -- Mei. Rapat itu dilaksanakan di kediaman Bapak Sukoco. Beliau juga merupakan salah satu tokoh dalam peristiwa tersebut. Itu sudah 4 kali pertemuan, tetapi tentang tanggal dan catatannya kami tidak mencatat tetapi kami sangat-sangat ingat bahwa pelaku-pelakunya pendemo kepala desa itu juga termasuk saya sendiri, saya juga masih ingat tapi pelaku-pelaku yang lain juga masih tapi juga ada yang sudah meninggal (Wawancara Bapak Sukoco, 22 November 1998).

Setelah tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengudurkan diri, maka berita-berita atau surat kabar yang mengabarkan itu sudah sangat banyak. Pada akhirnya berita itu sampai juga di telinga masyarakat Desa Kedondong. Satu bulan berselang, yaitu di Bulan Juni merupakan bulan-bulan yang panas bagi segenap Perangkat Desa Kedondong. Terlebih lagi pada tanggal 27 Juni 1998. Zaman reformasi merupakan zaman yang mengerikan bagi perangkat desa atau lurah (Bapak Sukoco, 22 November 2021). Para kades yang sudah kehilangan legitimasi dari masyarakatya dapat langsung diturunkan.

Massa berkumpul dan kemudian bergerak meneriakkan rasa ketidaksukaannya kepada lurah dan carik di pagi hari pukul 09:00 WIB. Massa yang turun langsung untuk demo oleh masyarakat Desa Kedondong disebut sebagai kaum reformis. Kaum reformis ini yang paling berperan penting di dalam demo hingga nanti diskusi dengan lurah, carik, dan camat. Para reformis yang berdemo ini berasal dari dua lingkungan di Desa Kedondong, yaitu: Dusun Sanggrahan dan Lingkungan Kedondong. Para aktivis dari Dusun Sanggrahan yang paling mendominasi (Bapak Kabul, 1 Desember 2021). Massa berkeliling Desa Kedondong sepanjang jalanan. Demo tersebut berlangsung damai dan tidak ricuh,  hal ini terbukti tidak adanya catatan pengerusakan fasilitas desa oleh massa. Massa hanya berjalan berkeliling desa sambil meneriakkan aspirasi dan tuntutanya hingga akhirnya berkumpul di Balai Desa Kedondong.

"Berjalan anu, alhamdulillah berjalan tertib, tapi ya agak aaa yo ricuho yo ora ricuh, nyatane tidak ada kerusuhan ngeantemi opo-opo tidak ada, pokoknya teriak-teriak "Pak lurah turun!!!, Pak carik turun!!!, pokok,e turun!!!" (Bapak Kabul, 1 Desember 2021).

Pengunduran Diri Kades dan Carik (Sekretaris) Desa Kedondong

Massa berkeliling desa sepanjang jalan desa bagian dalam. Hingga pada akhirnya mereka semua berkumpul di Balai Desa Kedondong pada pukul 10:00 WIB kurang. Massa berkumpul memadati jalan yang terletak disekitar balai desa. Memang lokasi balai desa ini strategis, karena terletak di pojokan perempatan yang dilalui oleh empat penjuru jalan utama desa.

"Iya di jalan-jalan, tapi di jalan depannya bukan sampai melebar ke arah barat, ke arah timur, selatan itu bukan, sekitarnya kantor menggerombol karo bengak-bengok, yowes koyok demo ngono kae " (Bapak Kabul, 1 Desember 1998).

Beberapa tokoh masyarakat Desa Kedondong yang tergabung dalam kelompok reformis kemudian mengundang lurah, carik, LMD Desa Kedondong, LKMD Desa Kedondong, dan juga Pak Camat Kecamatan Bagor untuk hadir di Balai Desa Kedondong. Carik saat itu dijabat oleh Bapak Di (nama samaran) yang diduga kuat oleh masyarakat terlibat dalam penyelewengan dana desa. LMD (Lembaga Musyawarah Desa) Desa Kedondong adalah suatu lembaga desa yang berjalan dalam bidang legislatif. Walaupun terlihat sangat menarik yang menyatakan LMD legislatif sebagai penyeimbang kekuasaan eksekutif nyatanya seringkali tidak berjalan mulus di dalam politik desa. Keberadaan LMD sangat ekslusif karena diisi oleh kepala dusun dan diketuai oleh kepala desa sehingga nyaris tidak berfungsi sama sekali karena jeruk minum jeruk kepala desa sekaligus ketua LMD yang notabene sebagai lembaga Legislatif (Saleh, 2021: 77). Namun, hal yang sedemikian rupa tidak terjadi di Desa Kedondong, karena Kepala LMD Kedondong tidak diisi oleh kades secara langsung. Lembaga-lembaga lokal dibentuk hanya sebatas kosmetik politik orde baru artinya bahwa lembaga-lembaga yang ada sekedar memberi kesan atau citra bahwa seolah-olah politik desa telah berjalan demokratis (Dwipayana et al, 2003).

Demikian juga dengan LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) diundang oleh kaum reformis ke Balai Desa Kedondong karena merupakan wadah dari bentuk partisipasi masyarakat dalam bentuk apapun, termasuk partisipasi dalam menyerap atau memberi tanggapan terhadap informasi yang bernetuk menerima, menerima dengan syarat, atau menolaknya.

Demikian juga Pak Camat Kecamatan Bagor diundang oleh kaum reformis ke Balai Desa Kedondong, karena secara administratif Desa Kedondong masuk dalam Kecamatan Bagor. Oleh sebab itu sudah menjadi tanggung jawab pihak kecamatan (camat) untuk membantunya. Hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa dalam Pasal 1, Pasal 10, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 27, dan Pasal 35. Salah satunya seperti dijelaskan dalam Pasal 1 (A) bahwa desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979).

Bapak To (kades), Bapak Di (carik), Bapak Pudjianto (Camat Bagor), Bapak Moekino (anggota LMD), Bapak Sartono (Sekretaris LKMD), dan perwakilan tokoh reformis berkumpul di dalam Balai Desa Kedondong untuk membahas tuntutan-tuntutan massa yang diajukan kepada kades dan carik (Surat Pengunduran Diri Bapak Di, 27 Juni 1998). Tokoh-tokoh reformis mengajukan beberapa pertanyaan yang harapannya dijawab oleh kades secara jujur.

"Ditanyai masalah keuangan, ya masalah pekerjaan, jadi seolah-olah dipojokkan pokoke (pokoknya) , sebagian ya betul, sebagian yang dituduhkan ya salah, bukan betul semuanya ndak" (Bapak Kabul, 1 Desember 2021).

Bapak Kabul juga menambahkan hal krusial yang akhirnya menyebabkan konflik sosial di Kedondong, yaitu tentang penyelewengan memang benar-benar terjadi. Akhirnya setelah didesak oleh berbagai pertanyaan yang diajukan oleh perwakilan tokoh-tokoh aktivis, Kades dan Carik Kedondong bersedia untuk mundur dari jabatannya. Hal itu dibuktikan dengan ditandatanganinya Surat Pernyataan Pengunduran Diri Kepala Desa Kedondong dan Surat Pernyataan Pengunduran Diri Sekretaris Desa Kedondong yang tepat pada pukul 10:00 WIB tanggal 27 Juni 2021. Surat itu masing-masing ada dua, satu dari kades dan satunya lagi dari carik. Surat  itu masing-masing ditandatangani oleh camat, perwakilan LKMD, dan perwakilan LMD sebagai saksi. Bapak kades dan camat yang diturunkan tidak melawan, bahkan dengan rendah hati menerima keputusan yang diajukan oleh masyarakat tersebut.

"Tidak ada pak lurah sembunyi pak carik sembunyi tidak ada, jadi dengan atas kehendak masyarakat, dulunya dipilih oleh masyarakat, terus diturunkan oleh masyarakat sudah dia legawa, jadi legawa saya itu lo sudah tidak dikehendaki masyarakat" (Bapak Sukoco, 22 November 2021).

Selain itu, kades terkait menerima keputusannya sendiri untuk mundur dari jabatanya karena beliau tidak lama lagi sudah dijadwalkan untuk pensiun. Jagatirta Desa Kedondong saat itu, yaitu Alm. Pak Laji juga menyarankan Pak To untuk mundur saja dari jabatannya dengan mempertimbangkan krisis legitimasi dari masyarakat untuk Pak To dan Pak Di.

Kondisi Desa Kedondong paska peristiwa yang terjadi pada 27 Juni 1998 cukup dibilang stabil untuk ukuran desa. Walaupun tetap terdapat beberapa kelompok masyarakat pro kades yang marah dan tidak setuju dengan keputusan itu. Kelompok itu menyembunyikan rasa ketidaksukaan mereka mengenai keputusan itu atau dapat dikatakan memendam rasa itu sendiri.

"Makanya untuk kedepannya saya mohon jika jadi tokoh-tokoh masyarakat, jadi perangkat, maupun jadi istilahnya disini lurah atau siapa saja, pimpinan yang ada di Desa Kedondong harusnya mengacu pada sejarah tahun-tahun yang lalu, karena apa? masyarakat sekarang sudah kritis, kalau lurah atau pimpinan sekarang tidak memenuhi  janji atau tidak sesuai dengan alur jalannya masyarakat, jangan harap mau jadi pemimpin di Desa Kedondong" (Bapak Sukoco, 22 November 2021)

Kesimpulan

Partai politik yang eksis dan berkuasa di era Orde Baru yaitu Golongan Karya atau yang akrab disebut Golkar. Partai ini pada masa Orde Baru sering disebut sebagai kendaraan bagi penguasa. Golkar juga menjadi sarana untuk memastikan suara pemilu mayoritas selalu mendukung pemerintahan Orde Baru. Tidak hanya itu, para PNS, pegawai BUMN, aparatur desa, hingga anggota maupun purnawirawan ABRI wajib untuk bergabung dalam Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) dan mendukung Golkar (Intan Nadhira Safitri, Mata Indonesia News 20 Oktober 2021). Aparatur Desa Kedondong yang dimana jabatan tertinggi dijabat oleh lurah (panggilan akrab Kades Kedondong) juga melakukan hal yang sama. Partai Golongan Karya saat itu Pemerintahan Desa Kedondong  dilibatkan untuk memenangkan suatu golongan, karena jika tidak menang dapat amarah dari atasannya. Jadi mau tidak mau menggunakan uang subsidi desa dan uang khas untuk kampanye. Selain itu juga pada masa kepemimpinan Bapak To yang terkenal maju dalam bidang olahraga hingga sampai tingkat kecamatan tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk ukuran desa. Biaya itu salah satunya juga diambil dari uang subsidi desa tanpa musyawarah terlebih dahulu.  Selain itu Kades Kedondong terkait saat menjalankan amanah tidak sesuai dengan janji-janjinya dahulu, salah satunya adalah permasalahan anggaran yang akan direalisasikan menjadi bantuan batu bata 1.000. Oleh karena itu, adanya permasalahan-permaslahan tersebut yang menyebabkan ketidakpuasan dan kemarahan masyarakat Kedondong atas kepeimpinan Bapak To sebagai kades. Hingga akhirnya masyarakat mulai berani berunjuk rasa dan menurunkan Kepala Desa Kedondong pada 27 Juni 1998 atau satu bulan setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.

Referensi

Sumber Primer

Arsip:

Surat Pengunduran Diri Kepala Desa Kedondong. 27 Juni 1998. Salinan.

Surat Pengunduran Diri Sekretaris Desa Kedondong. 27 Juni 1998. Salinan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Desa

Reformasi: "Musim Gugur" Kepala Desa Tiba. Juli 1998. Detektif dan Romantika, hlm: 28 -- 29. (warungarsip.co).

Sumber Lisan:

Bapak Sukoco. Ketua RW III Kelurahan Kedondong. 22 November 2021.

Bapak Kabul. Mantan Jagabaya Desa -- Kelurahan Kedondong. 1 Desewmber 2021.

Sumber Sekunder

Buku:

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kasenda, Peter. 2018. Peristiwa 27 Juli 1996: Titik Balik Perlawanan Rakyat.Yogyakarta: Media Pressindo.

Kasim, Fajri M. dan Abidin Nurdin. 2015. Sosiologi Konflik dan Rekonsiliasi: Sosiologi Masyarakat Aceh. Lhokseumawe: Unimal Press.

Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2011. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik. Jakarta: Balai Pustaka.

Suparno, Basuki Agus. 2012. Reformasi dan Jatuhnya Soeharto. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Tuwu, Darmin. 2018. Konflik, Kekerasan, dan Perdamaian. Kendari: Literacy Institute.

-. 2017. Buku Pintar Dana Desa. Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Disertasi:

Tandjung, Akbar. 2007. "Partai Golkar Dalam Pergolakan Politik Era Reformasi: Tantangan dan Respons." Disertasi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Artikel Terbitan Jurnal:

Poerwati, Titik dan Annisaa Hamidah Imaddudina. (2019). "Keberhasilan Pembangunan Desa Ditinjau dari Bentuk Partisipasi Masyarakat Melalui Lembaga Ketahanan Masyarakat desa". Jurnal Pawon Vol. 3 No.2, hlm: 103 -- 114.

Salamah, Ainun Yulis dan Harmanto. (2019). "Peran Tokoh Masyarakat Dalam Mengungkap Kasus Korupsi Studi Kasus Desa Ploso Kecamatan Krembung Kabupaten Sidoarjo". Jurnal Kajian Moral dan Kewarganegaraan Vol.7 No.2, hlm: 723 -- 737.

Saleh, Muhammad. (2021). "Dinamika Lembaga Demokrasi Desa di Indonesia". Jurnal Ilmiah Rinjani Vol.9 No.2, hlm: 71 -- 82.

Syamsi, Syahrul. (2014). "Partisipasi Masyarakat Dalam Mengontrol Penggunaan Dana Desa". Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol.3 No.1, hlm: 21 -- 28.

Artikel Sezaman:

Manan, Abdul. 1998. ""Musim Gugur" Kepala Desa Tiba". (jurnalis.wordpress.co). Diakses pada 10 Februari 2022.

Artikel Internet:

Safitri, Intan Nadhira. 2021. "Golkar, Kendaraan Politik Soeharto di Masa Orde Baru". (minews.id). Diakses pada 14 Februari 2022.

vymaps. "Kelurahan Kedondong Nganjuk". Diakses pada 14 Februari 2022.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun