Reformasi merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pembangunan kembali suatu hal sesuai dengan hakiki dan porsinya, misalnya reformasi birokrasi yang berarti membangun kembali kondisi birokrasi ke arah perbaikan sesuai dengan hakiki dari birokrasi itu sendiri. Secara harfiah kata "reformasi" berasal dari kata "reform" atau "reformation" yang berarti membentuk kembali sesuai hakikinya. Secara fungsional pemahaman reformasi dapat dimaknai sebagai pembentukan kembali ke arah perbaikan, kemajuan, pembaharuan, dan penyempurnaan (Nurhadi, 2017: 138).
Di Indonesia sendiri terdapat gerakan reformasi dari berbagai kalangan di tahun 1998, mulai dari masyarakat biasa hingga mahasiswa. Reformasi yang terjadi di Indonesia merupakan salah satu aset berharga bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Di Indonesia sejumlah peristiwa penting seperti pendudukan Gedung DPR/MPR, insiden Trisakti, Semanggi, pengunduran diri Presiden Soeharto, aksi penjarahan, kerusuhan, pernyataan 14 menteri yang sudah tidak bersedia lagi duduk dalam Kabinet Reformasi, dan sebagainya, adalah realitas sejarah (Suparno, 2012: 1). Reformasi membuka peluang luas untuk mendiskusikan sekaligus melakukan beragam eksperimen untuk membangun sistem politik yang lebih demokratis di Indonesia (Budiardjo, 2007: xxiv).
Reformasi di Indonesia yang juga disebut sebagai masa berakhirnya masa Orde Baru banyak disebabkan oleh berbagai aspek. Aspek pertama disebabkan karena pada periode akhir Orde Baru kontrol pemerintah terhadap masyarakat menjadi agak longgar. Salah satunya adalah Soeharto tidak lagi bersandar pada dukungan penuh kalangan militer (Kasenda, 2018: 8). Pada tingkat yang lebih luas masyarakat Indonesia telah berubah menjadi masyarakat terdidik, sehat, dan mobilitas tinggi daripada keadaan akhir 1960-an.
Aspek lainnya dapat dilihat dari gerakan mahasiswa di tahun 1970-an. Pasca tindakan keras pemerintah terhadap para aktivis kampus di akhir tahun 1970-an, mahasiswa mulai mengorganisir diri dalam kelompok-kelompok kecil yang berbasis di luar kampus (Kasenda, 2018:10). Pada akhir tahun 1980-an, gerakan mahasiswa yang berpihak kepada petani yang nantinya juga berkonfrontasi dengan apparat keamanan. Kemampuan dan keberanian para aktivis ini nantinya akan membangkitkan kembali aksi massa tahun 1989 -- 1994 yang juga memperlemah kekuatan Presiden Soeharto tahun 1996 dan turunnya Orde Baru tahun 1998.
Aspek kedua yaitu karena krisis moneter yang merupakan awal keterpurukan perekonomian. Nilai tukar rupiah merosot dan menjadi perhatian Presiden Soeharto. Permulaan peristiwa yang mengguncang nilai tukar mata uang negara-negara di Asia, seperti: Malaysia, Filipina, dan juga Indonesia disebabkan oleh krisis moneter yang melanda Thailand pada awal Juli tahun 1997. Rupiah yang berada di posisi nilai tukar Rp2.500/US$ terus mengalami kemerosotan hingga 9 persen (Poesponegoro dan Notosusanto, 2011: 665). Presiden Soeharto mencoba memecahkan masalah ini dengan meminta bantuan sarana penyelamatan kepada International Monetary Fund (IMF) yang berjumlah US $43 miliar. Perjanjian dengan pihak IMF dilaksanakan pada bulan Oktober 1997 dan memaksa pemerintah kita untuk melakukan berbagai pembaharuan kebijakan.  Pemerintah menutup 16 bank swasta dan menghentikan subsidi, namun usaha ini belum membawa pemecahan masalah. Rupiah terus melemah hingga sekitar Rp17.000/US $ di Bulan Januari 1998 yang menyebabkan hancurnya bursa saham Jakarta, bangkrutnya perusahan-perusahaan modern di Indonesia, hingga menyebabkan PHK secara besar-besaran. Gangguan dalam kehidupan sosial masyarakat mulai muncul. Krisis ini menjalar menjadi gejolak-gejolak non-ekonomi lainnya yang membawa dampak bagi perubahan selanjutnya.
Aspek ketiga dapat dilihat dari krisis politik dan surutnya kredibilitas pemerintah. Pada tanggal 20 Januari 1998, Presiden Soeharto secara resmi menerima pencalonannya oleh Golkar untuk jabatan kepresidenan (Poesponegoro dan Notosusanto, 2011: 667). Masyarakat Indonesia semakin prihatin karena stagnasi perekonomian Indonesia, peningkatan PHK pekerja, serta menyempitnya kesempatan kerja bagi masyarakat memancing keprihatinan masyarakat. Beberapa minggu setelah terpilihnya Presiden Soeharto sebagai Presiden RI, kekuatan-kekuatan oposisi yang telah lama dibatasi mulai muncul ke permukaan. Kecaman terhadap presiden tumbuh subur yang ditandai dengan gerakan-gerakan mahasiswa sejak awal tahun 1998. Garis besar tema yang dibawa dalam tuntutan mahasiswa adalah soal penurunan harga sembako, penghapusan monopoli, kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN), serta suksesi untuk kepemimpinan nasional. KKN juga terjadi di Desa Kedondong pada masa Orde Baru. Aspek politik ini yang nantinya memiliki kaitan erat dengan politik yang terdapat di Desa Kedondong karena kebijakan Orde Baru. Hingga akhirnya nanti menyebabkan demonstrasi besar-besaran untuk ukuran skala desa. Pertanyaan untuk artikel ini adalah bagaimana kebijakan Orde Baru dapat memengaruhi demonstrasi penurunan Kepala Desa Kedondong pada 27 Juni 1998?
Garis Besar Reformasi Berbagai Desa di Nganjuk Tahun 1998
Reformasi tidak hanya dilakukan di wilayah kota-kota besar atau tempat-tempat komersial saja, namun juga dilakukan di unit terkecil pemerintahan, yaitu desa. Beberapa kepala desa merasa sesak dan was-was karena demonstrasi massa dalam skala besar untuk ukuran desa terus terjadi. Bayangkan saja, dari 277 desa atau kelurahan di Nganjuk, tak kurang dari 115 desa yang bergolak menyusul munculnya aksi protes warga setempat (Laporan Abdul Manan, 18 Juli 1998). Mereka bergerak dengan satu tuntutan, yaitu kades yang bersangkutan harus mundur dari jabatannya.
Tentunya aksi protes tersebut membuat kades terpukul secara psikologi. Bapak Gumawi seorang Kades Desa Campur, Kecamatan Gondang misalnya, mengaku hanya bisa pasrah ketika warga ramai-ramai mencopot papan nama kades kentungan di depan rumahnya. Rekan-rekannya juga mengalami peristiwa yang sama pahitnya. Kades Desa Gondanglegi, Bapak Supriyono malah harus dimasukkan ke dalam kamar balai desa. Demikian halnya dengan Bapak Ilhamsangi (Kades Desa Baleturi) yang harus merasakan pukulan dari masyarakat desanya sendiri (Laporan Abdul Manan, 18 Juli 1998). Di Desa Kedondong Kecamatan Bagor, masyarakat berkeliling desa sambil menyuarakan "Pak lurah turun, Pak carik turun" (Bapak Kabul, 1 Desember 2021). Selain itu masyarakat juga menghancurkan plang bertuliskan Kepala Desa Kedondong (Bapak Sukoco, 22 November 2021).
Kemarahan warga di Nganjuk itu dapat terjadi karena beberapa aspek yang melatarbelakanginya. Di Desa Baleturi, Gondanglegi, Kedungsuko, dan Kedondong bersumber dari dugaan penyalahgunaan uang desa dan jabatan oleh para kades.Â