Mohon tunggu...
wahyu mada
wahyu mada Mohon Tunggu... Penulis - Pemuda dari Nganjuk yang ingin memandang dunia dari berbagai sudut pandang

Sejarah dadi piranti kanggo moco owah gingsire jaman (KRT Bambang Hadipuro)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dampak Reformasi: Demonstrasi Penurunan Perangkat Desa Kedondong, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk Tahun 1998

14 Februari 2022   18:21 Diperbarui: 14 Februari 2022   18:22 1590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Desa Kedondong setelah dijabat oleh Bapak To banyak menorehkan prestasi untuk desa, utamanya pada bidang non-akademik seperti olahraga. Pada masa pemerintahan lurahnya Bapak To sebetulnya terdapat kemajuan di bidang olahraga dan pertanian, tetapi untuk membiayai kemajuan di bidang olahraga seperti perlombaan (sepakbola, volleyball, dan sebagainya) hingga menang ke tingkat kecamatan juga butuh yang namanya biaya (Bapak Kabul, 1 Desember 2021).

Bidang ekonomi dan sosial kemasyarakatan yang merupakan bidang paling krusial dalam pembangunan dan pengembangan desa ternyata banyak terjadi masalah internal di dalamnya. Hal itu juga yang nantinya menjadi salah satu faktor penyebab masyarakat desa berdemonstrasi menuntut Kades Desa Kedondong (Bapak To) untuk mundur atau turun dari jabatannya karena masyarakat sudah kehilangan kepercayaan akan dirinya. Kepala desa saat itu telah mengalami krisis legitimasi atau tidak adanya keyakinan anggota masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok, atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati (Budiardjo, 2008: 64).

Didorong Permasalahan Ekonomi

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa di Desa Baleturi, Gondanglegi, Kedungsuko, dan Kedondong bersumber dari dugaan penyalahgunaan uang desa dan jabatan oleh para kades. Khusus kasus di Desa Kedondong penyalahgunaan dana desa memang terjadi. Masyarakat mencari kesalahan-kesalahan yang dijalankan oleh pemerintah desa, seperti: banyak korupsi, uang subsidi tidak sampai, sebagian kecil yang hanya digunakan untuk membangun, dan banyak penyelewengan-penyelewengan lainnya (Bapak Kabul, 1 Desember 2021). Sementara itu Bapak Sukoco yang sekarang menjabat sebagai Ketua RW III Kelurahan Kedondong menambahkan, bahwa pemicu konflik antar kelas, yaitu masyarakat Desa Kedondong dan Pemangku Jabatan Kedondong utamanya karena sang pemegang jabatan tidak sesuai dengan janji-janjinya disaat akan mencalonkan diri sebagai Kepala Desa Kedondong (22 November 2021). Dimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa janji yang paling krusial adalah bantuan batu bata 1.000 yang ddapatkan dari dana subsidi desa.

Uang subsidi desa merupakan sumber pendapatan desa yang asalnya dari pemberian pemerintah dan pemerintah daerah yang berupa bantuan dan sumbangan. Berdasarkan peraturan pusat yang berlaku dalam masalah ini telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Desa. Dimana disebutkan dalam Pasal 21 Ayat 1 bahwa pendapatan desa dibagi menjadi dua, yaitu: pendapatan asli desa sendiri dan pendapatan yang berasal dari pemberian pemerintah dan pemerintah daerah. Dalam kasus ini permasalahan ekonomi yang menjadi akar konflik yaitu dana bantuan pemerintah atau yang saat itu umum disebut sebagai uang subsidi. Pendapatan desa yang berasal dari bantuan pemerintah seharusnya digunakan sebagai sarana keperluan masyarakat desa, seperti: meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mempercepat pembangunan fisik atau non fisik, meringankan beban keuangan desa, dan untuk menunjang kehidupan operasional desa.

Bantuan batu bata 1.000 yang dijanjikan Bapak To sebelumnya tidak kunjung datang. Bantuan ini menggunakan dana subsidi desa (Bapak Sukoco, 22 November 2021). Bantuan yang dijanjikan tersebut ditunggu sangat lama oleh masyarakat yang pada akhirnya tidak kunjung datang. Salah satu aspek penyebab konflik terletak di permasalahan dana yang akan direalisasikan menjadi batu bata 1.000.

Selain itu terdapat faktor-faktor pendukung kejengkelan masyarakat desa, yaitu faktor politik. Partai politik yang eksis dan berkuasa di era Orde Baru yaitu Golongan Karya atau yang akrab disebut Golkar. Partai ini pada masa Orde Baru sering disebut sebagai kendaraan bagi penguasa. Kendaraan tersebut adalah golongan karya, yang dijadikan "partai" pendukung penguasa dengan tujuan memperoleh dukungan massa dalam pemilu (Rrepository Universitas Riau (Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum: 48). Golkar juga menjadi sarana untuk memastikan suara pemilu mayoritas selalu mendukung pemerintahan Orde Baru.  Tak hanya itu, para PNS, pegawai BUMN, aparatur desa, hingga anggota maupun purnawirawan ABRI wajib untuk bergabung dalam Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) dan mendukung Golkar (Intan Nadhira Safitri, Mata Indonesia News 20 Oktober 2021). Aparatur Desa Kedondong yang dimana jabatan tertinggi dijabat oleh lurah (panggilan akrab Kades Kedondong) juga melakukan hal yang sama. Partai Golongan Karya saat itu pemerintahan pun dilibatkan untuk memenangkan suatu golongan, kalau tidak menang akan dimarahi oleh atasan, jadi mau tidak mau menggunakan uang subsidi desa untuk kampanye dan juga uang-uang khas (Bapak Kabul, 1 Desember 2021). Bapak Kabul sebagai informan juga menambahkan bahwa bentuk penyelewengan aparatur desa mengenai dana desa terletak disitu. Selain itu juga pada masa kepemimpinan Bapak To yang terkenal maju dalam bidang olahraga hingga sampai tingkat kecamatan, tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk ukuran desa. Biaya itu salah satunya juga diambil dari uang subsidi desa tanpa musyawarah terlebih dahulu.

Apabila berbicara mengenai konflik, maka jangan lupakan teori konflik milik Karl Marx yang biasanya setiap konflik pasti ada sebab di bidang ekonomi. Begitulah kira-kira yang dikatakan Prof. Dr. Yety Rochwulaningsih, M.Si sebagai dosen pengampu mata kuliah Pengantar Sosiologi Prodi S1 Sejarah Undip saat mengajar materi tentang teori konflik. Struktur ekonomi adalah penggerak sistem sosial yang menyebabkan perubahan sosial, lingkungan ekonomi menjadi dasar dari segala perilaku manusia (Mas'udi, 2015: 186). Sebab-sebab terjadinya konflik ada beberapa hal. Sebab-sebab konflik tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Misalnya persoalan ekonomi dapat menimbulkan konflik politik, agama dapat menimbulkan konflik sosial, persoalan budaya dalam beberapa kasus menimbulkan konflik politik dan sebaliknya (Kasim dan Nurdin, 2015: 19). Khusus kasus di Desa Kedondong lebih disebabkan oleh persoalan ekonomi yang menyebabkan konflik politik, dimana pemimpin sudah kehilangan kepercayaan dari masyarakat, serta telah kehilangan legitimasinya di mata masyarakat. Fakta dari kalimat tersebut adalah subsidi atau dana desa yang digunakan secara sewenang-wenang oleh pejabat desa dan lebih-lebih untuk kepentingan partai yang saat itu menyokong Orde Baru. Pendekatan normatif dalam studi politik dapat memandang peristiwa ini sebagai perubahan masyarakat yang berkonsekuensi dari konflik nilai-nilai dan ide-ide yang bertentangan. Selain itu pendekatan struktural digunakan untuk menganalisis struktur-struktur dalam bentuk kelompok-kelompok dan kelas-kelas, yang dalam analisis kaum neo-Marxis adalah kepentingan ekonomi.

Dalam masalah konflik Desa Kedondong, hal ini berkaitan dengan kepentingan ekonomi, yaitu anggaran desa yang berupa uang subsidi. Teori elit politik dapat mengatakan bahwa seluruh sistem politik dibagi menjadi dua strata, yaitu mereka yang dipimpin dan memimpin. Teori ini juga memandang pada perilaku sebagian kecil pembuat kebijakan politik. Kasus studi Desa Kedondong dapat dikaji dengan sistem masyarakat desa yang menjadi dua strata, yaitu perangkat desa yang memiliki hak memimpin dan masyarakat Kedondong yang dipimpin. Kemudian juga perangkat desa dapat membuat berbagai kebijakan, mungkin sekali kebijakan mereka itu dilanggar sendiri, yaitu dengan menggunakan anggaran desa yang seharusnya untuk menyejahterakan masyarakat Desa Kedondong.

Rapat Kaum Reformis Desa Hingga Penurunan Perangkat Desa

Terdapat beberapa kelompok perangkat desa yang tidak menyukai kades dan jajarannya yang dianggap meyelewengkan dana. Beberapa dari mereka membocorkan informasi-informasi tentang penyelewengan dana kepada masyarakat. Selain itu dugaan penyelwengan dana yang dilakukan oleh kades terkait sangat mencolok di mata masyarakat yang masih berpikiran sehat. Dimana janji-janji sebelumnya tidak dituntaskan dan malah anggaran desa dipakai untuk kepentingan lain yang sifatnya belum terlalu penting dan mendesak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun