Mohon tunggu...
wahyu mada
wahyu mada Mohon Tunggu... Penulis - Pemuda dari Nganjuk yang ingin memandang dunia dari berbagai sudut pandang

Sejarah dadi piranti kanggo moco owah gingsire jaman (KRT Bambang Hadipuro)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dampak Reformasi: Demonstrasi Penurunan Perangkat Desa Kedondong, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk Tahun 1998

14 Februari 2022   18:21 Diperbarui: 14 Februari 2022   18:22 1590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ali Fauzan sebagai Wakil Ketua DPRD Nganjuk menilai aksi unjuk rasa yang melanda Nganjuk merupakan bentuk letupan warga yang selama 32 tahun terakhir hidup dalam tekanan. "Saluran politik, termasuk DPRD, tidak berfungsi secara maksimal," ujar Wakil Ketua DPRD Nganjuk tersebut (Laporan Abdul Manan, 18 Juli 1998). Biang kemacetan komunikasi politik itu, sambung Ketua DPC PPP Nganjuk tersebut, adalah peraturan tentang Sistem Pemerintahan Desa dalam UU No 5/ 1974 yang membunuh kemandirian DPRD. "DPRD dipandang sebagai bagian dari pemerintahan daerah," ujar Fauzan. Akibatnya, pihak eksekutif terkesan kurang menanggapi kritik dari masyarakat yang disalurkan lewat DPRD.

Tuntutan mundur yang diajukan kepada perangkat desa tidak hanya terjadi di Nganjuk saja, namun juga terjadi di beberapa kota Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali. Kades Musiar, Kediri telah mengakui perbuatannya menggunakan Rp 9,6 juta uang desa. Walaupun beliau berjanji akan mengembalikan uang tersebut dalam waktu dua bulan, namun warga tetap menuntutnya mundur dan merusak balai desa.  Selain itu Kades Wirogaten, Kebumen, Jawa Tengah yang diserahkan warganya ke polisi setelah diduga menilap wesel senilai ratusan ribu rupiah. Kades Panji, Kabupaten Buleleng, Bali juga demikian. Bahkan beliau ditentang masyarakatnya karena menyusul kenaikan tarif air minum yang lebih dari 100 persen dan dinilai sangat memberatkan. Persoalan air juga yang memicu kemarahan massa di Desa Ngablak dan Desa Kalipang di Kecamatan Grogol.

Para teoritikus sosial kontemporer modern yang membahas isu-isu konflik tidak satu pun melepaskan perhatian mereka dari fenomena persoalan ekonomi (Tuwu, 2018:63). Perbedaanya hanya terletak pada apakah faktor ekonomi menjadi penyebab utama (determinan utama) yang menyebabkanb konflik atau tidak. Setiap kali terjadi konflik, maka setiap perhatian akan tertuju kepada persoalan penguasaan sumber ekonomi, perebutan sumber ekonomi, atau distribusi ekonomi.

Studi Kasus Reformasi 1998 di Desa Kedondong, Kecamatan Bagor, Kabupaten Nganjuk

Pengenalan Desa Kedondong

Sebelum membahas reformasi di Desa Kedondong, lebih baik jika kita mengetahui profil Desa Kedondong terloebih dahulu. Desa Kedondong merupakan salah satu desa agraris yang terletak di Kecamatan Bagor. Desa Kedondong terletak di koordinat -7.5866360323, 111.883523093 (vymaps.com). Posisi desa ini masuk di bagian timur Kecamatan Bagor, sehingga berbatasan dengan Kecamatan Nganjuk (Nganjuk kota) di Cangkringan dan Ringinanom. Selain itu, Desa Kedondong juga berbatasan dengan Desa Kutorejo di utara dan Guyangan di wilayah barat yang semuanya masuk administratif Kecamatan Bagor. Desa Kedondong dibagi menjadi dua dukuhan atau lingkungan, yaitu Dusun Sanggrahan dan Lingkungan Kedondong itu sendiri. Dusun Sanggrahan terletak di timur, sedangkan Lingkungan Kedondong terletak di barat. Masyarakat Desa Kedondong sering menyebut asal dukuhan mereka sebagai identitas saat berkomunikasi antar warga desa, misalnya "kae lo cah Sanggrahan" (itu anak Sanggrahan) atau "kuwi cah Ndondong buk" (itu anak Ndondong (Kedondong) Bu).

Selayaknya desa-desa lainnya, pemimpin tertinggi Desa Kedondong dijabat oleh kades (kepala desa). Perlu diketahui bahwa beberapa masyarakat Nganjuk sering menyebut kepala desa (kades) mereka sebagai lurah. Walaupun secara hukum mereka memang kades, tidak terkecuali Kades Kedondong. Rujukan tata kelola pemerintahan di Desa Kedondong bersumber dari Undang-undang yang dikeluarkan masa Orde Baru yang mengatur tentang administrasi desa yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang tersebut masih berlaku hingga topik peristiwa yang diangkat ini terjadi sebelum akhirnya digantikan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Desa. Memang beberapa tahun berselang paska reformasi, Desa Kedondong berubah statusnya dari desa menjadi kelurahan.

Kondisi Desa Kedondong Menjelang Reformasi

Sumber-sumber yang dapat dijadikan rujukan untuk memperoleh fakta kondisi Desa Kedondong pra-reformasi hingga refromasi adalah sumber primer, sekunder, dan lisan. Sumber primer didapatkan dari arsip sezaman, yaitu majalah Detektif dan Romantika, Juli 1998 yang berjudul "Musim Gugur Kepala Desa Tiba" dan juga didapatkan dari artikel sezaman yang ditulis dan dilaporkan oleh Abdul Manan dengan artkelnya ""Musim Gugur" Kepala Desa Tiba" (18 Juli 1998). Selain sumber tersebut, juga didapatkan sumber lain berupa surat pengunduran diri Bapak To (nama samaran) selaku Kepala Desa Kedondong dan surat pengunduran diri dari Bapak Di (selaku sekretaris desa atau carik di Desa Kedondong). Demi tujuan untuk melengkapi sumber-sumber yang sudah diperoleh dan untuk menggali informasi-informasi yang tidak tercatat pada dokumen arsip, maka dilakukan wawancara lisan kepada pelaku peristiwa dan saksi peristiwa sebagai informan. Informan yang diperoleh yaitu Bapak Sukoco (pelaku dan saksi) dan Bapak Kabul (saksi). Selain itu juga ditunjang oleh berbagai sumber sekunder yang berasal dari buku dan artikel jurnal untuk memperoleh teori, konsep, serta pendekatan yang sekiranya cocok untuk merekonstruksi peristiwa tahun 1998 di Desa Kedondong.

Desa Kedondong menjelang reformasi dan saat reformasi dipimpin oleh kades yang bernama Bapak To (nama samaran). Sebelumnya, Desa Kedondong dipimpin oleh Bapak Moeljono hingga pada tahun 1990. Bapak Moeljono merupakan salah satu kades yang paling terkenal se-Bumi Kedondong hingga sekarang. Pendirian tempat latihan silat Kelatnas Perisai Diri pertama di Nganjuk hingga toleransi beragama yang dibuktikan dengan dibangunnya Gereja Pantekosta Tabernakel Kristus Penolong di tengah-tengah lingkungan Muslim merupakan salah satu prestasi unik yang ditorehkan desa di masa kepemimpinan Bapak Moeljono. Sesudah Bapak Moeljono meninggal dunia di tahun 1990, maka kepemimpinan desa sementara diampu oleh PLT bernama Bapak Kasmari di sekitaran tahun 1990 -- 1992. Baru setelah tahun 1992 itu diadakan pemilu desa untuk memilih Kades Desa Kedondong yang akan menjabat. Salah satu calonnya, yaitu Bapak To memberikan janji-janji kepada masyarakat Desa Kedondong. Salah satu janji yang pada akhirnya nanti menimbulkan kemarahan masyarakat desa hingga terjadi demonstrasi penurunannya adalah tentang bantuan dan pembelian batu bata 1.000.

Hingga pada akhirnya Bapak To terpilih sebagai Kepala Desa Kedondong atau masyarakat Kedondong menyebutnya sebagai Pak Lurah Ndondong sing anyar.  Beliau memiliki alasan pembenaran akan kekuasaannya yang disebut legitimasi pragmatis. Legitimasi pragmatis menempatkan penguasa karena dianggap sanggup untuk mengelola masyarakat dan mereka berasal dari masyarakat yang biasa saja (bukan golongan elit atau teknokrat). Setelah beliau terpilih, banyak warga masyarakat Kedondong yang menantikan janji-janjinya dulu sebelum dipilih menjadi kades.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun