Bergelimpang hampir sekarat daya, kelihatannya
Napasnya sesak di hulu, tersengal-sengal
Raut cilut, kecut durja
Gemetar jiwa diambang kematian meratapi peruntungan kotor
Nalarnya bersengkarut penuh kedok dilambai pahit nikmat benda itu
Tunggakan bergelontoran, saing handai tak tahu dimana
Hasrat dihajar remuk egoisme emas tempawan
Tulisan nasib mapan bak tak pernah kebagian, sarwa ugal-ugalan di muka
Berteman detak jantung yang bergetar hebat hendak keluar dari peraduan
Ah tumbuh segan, mati pun enggan menyusuri duluan
Tersiksa sebelum nyawa melayang jadi satu-satunya tombol pilihan
Gelap gulita menyingkap bayang wujudnya yang ancur berantakan
Sayu bola mata memancarkan keputusasaan
Hingga jarum tipis mengintimidasi nadi, merasuk bersama darah suci
Benda haram terperangkap dalam kerontangnya rangka, terhisap melenyapkan
Menyisakan tinggi rekaan tanpa terpenggal istilah "sadar"
Tawanya berubah renyah, matanya nanar berbinar
Terbayang ilusi kebahagiaan yang bergelimang tapi itu sekedar "hanya"
Terekam dalam otak kotor hingga membekukan saraf-sarafÂ
"Aku kembali hidup"
Gumam pemuda itu
Sayangnya tak lain sebatas bayang-bayang
Lontang lantung hidupnya terperangkap dalam penjara insan
Tulang belulang ditusuk dingin yang hanya dibungkus pipihnya reja orange
Kerangkengan dalam sunyi yang dicekam oleh naluri sendiri
Namun tiada guna meratapi bertubi-tubi sesal
Tempat menyeret terpaksa berada dibalik kelamnya besi jeruji
Hingga sepasang mata bersemuka
Menatapnya pilu sembilu
Sungguh jiwa jejaka itu telah dirusak nafsu iblis
Sadar ulahnya  terbenci, masih rela melalap asumsi memaksa diri
Bahkan semesta murka berpenghuni sosoknya
Kesal menatap tanah bernyawa mengotori janabijana
Ia yang sempurna akal budi dibanding buaya
Mabuk kepayang kenikmatan sesaat yang sarat lembah dosa
Pun jika tengah dihantam kejamnya semesta
Ia sesat memintal jangkah, menantang maut
Karena Tuhan tak pernah menuang sejuta tegur dari batas yang sepersekian
Seruntuh rantahnya suratan takdir
Tidak akan teredam jika memegang sebongkah iman
Tak usah rengkuh barang terlarang itu, tolong!
Jika tak mau dunia akhirat sekarat tanpa tobat!
Kau berhak tumbuh menapaki ritme kehidupan tanpa benda terlarang itu, sobat!
                 Â
Pacitan, 21 Juli 2024Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H