Mohon tunggu...
Wahyu Fajar Lestari
Wahyu Fajar Lestari Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer - Mahasiswa

Menyukai pendidikan, menulis, dan membaca.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Pesan Sepasang Mata Pada Insan dalam Penjara

21 Juni 2024   11:08 Diperbarui: 21 Juni 2024   11:11 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: CNN Indonesia 

Bergelimpang hampir sekarat daya, kelihatannya

Napasnya sesak di hulu, tersengal-sengal

Raut cilut, kecut durja

Gemetar jiwa diambang kematian meratapi peruntungan kotor

Nalarnya bersengkarut penuh kedok dilambai pahit nikmat benda itu

Tunggakan bergelontoran, saing handai tak tahu dimana

Hasrat dihajar remuk egoisme emas tempawan

Tulisan nasib mapan bak tak pernah kebagian, sarwa ugal-ugalan di muka

Berteman detak jantung yang bergetar hebat hendak keluar dari peraduan

Ah tumbuh segan, mati pun enggan menyusuri duluan

Tersiksa sebelum nyawa melayang jadi satu-satunya tombol pilihan

Gelap gulita menyingkap bayang wujudnya yang ancur berantakan

Sayu bola mata memancarkan keputusasaan

Hingga jarum tipis mengintimidasi nadi, merasuk bersama darah suci

Benda haram terperangkap dalam kerontangnya rangka, terhisap melenyapkan

Menyisakan tinggi rekaan tanpa terpenggal istilah "sadar"

Tawanya berubah renyah, matanya nanar berbinar

Terbayang ilusi kebahagiaan yang bergelimang tapi itu sekedar "hanya"

Terekam dalam otak kotor hingga membekukan saraf-saraf 

"Aku kembali hidup"

Gumam pemuda itu

Sayangnya tak lain sebatas bayang-bayang

Lontang lantung hidupnya terperangkap dalam penjara insan

Tulang belulang ditusuk dingin yang hanya dibungkus pipihnya reja orange

Kerangkengan dalam sunyi yang dicekam oleh naluri sendiri

Namun tiada guna meratapi bertubi-tubi sesal

Tempat menyeret terpaksa berada dibalik kelamnya besi jeruji

Hingga sepasang mata bersemuka

Menatapnya pilu sembilu

Sungguh jiwa jejaka itu telah dirusak nafsu iblis

Sadar ulahnya  terbenci, masih rela melalap asumsi memaksa diri

Bahkan semesta murka berpenghuni sosoknya

Kesal menatap tanah bernyawa mengotori janabijana

Ia yang sempurna akal budi dibanding buaya

Mabuk kepayang kenikmatan sesaat yang sarat lembah dosa

Pun jika tengah dihantam kejamnya semesta

Ia sesat memintal jangkah, menantang maut

Karena Tuhan tak pernah menuang sejuta tegur dari batas yang sepersekian

Seruntuh rantahnya suratan takdir

Tidak akan teredam jika memegang sebongkah iman

Tak usah rengkuh barang terlarang itu, tolong!

Jika tak mau dunia akhirat sekarat tanpa tobat!

Kau berhak tumbuh menapaki ritme kehidupan tanpa benda terlarang itu, sobat!

                                   

Pacitan, 21 Juli 2024 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun