Banyu tetep kekeuh dengan temuannya. Cara yang tepatberargumen dengan anaknya adalah dengan memastikan lewat buku tentang fauna yang ia miliki. Banyu bisa yakin bahwa tulang itu bukan tulang pterodaktil setelah membandingkan bentuk paruh pterodaktil dengan tulang yang ia temukan.
Bapaknya mengajak Banyu menemukan tulang binatang itu melalui buku-buku lain. Sambil terus mengajukan pertanyaan, Banyu akhirnya bisa menemukan gambar tikus dan kerangkanya. Kali ini Banyu menyerah.
"Binatang apa yang suka makan tikus?" tanya bapaknya.
"Ular, kucing, dan burung hantu," jawabnya lancar.
Mereka bereksplorasi lagi melihat binatang-binatang itu. Banyu tertarik dengan burung hantu setelah tahu binatang itu juga binatang malam. Wajahnya begitu serius ketika di dalam buku itu diceritakan tentang makanan kesukaan burung hantu. Ia menyimpan pertanyaan yang tak bisa disembunyikan lagi.
"Suara burung hantu seperti apa?" tanyanya tergesa-gesa.
"Aokk... Aok...." jawab bapaknya.
"Kok tidak twit twoo... twit twoo... ?" protes Banyu.
"Ada juga yang bunyinya begitu!" jawab bapaknya.
Dia masih penasaran dengan suara binatang malam yang selama ini mengganggu pikirannya. Ibunya segera menyela dan menjelaskan suara burung hantu yang ia pernah ajarkan dalam bahasa Inggris dan dalam bahasa Indonesia menjadi berbeda.
Seandainya suara yang ia dengar "twit twoo... twit twoo...", dia bisa segera mengenali suara itu. Saat malam menjelang tidur, Banyu tidak mengajak membaca buku lagi. Ritual berganti dengan menunggu kedatangan burung hantu. Ia berpesan untuk dibelikan senter baru untuk melihat burung itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H