Menjelang tidur, Banyu harus melakukan beberapa kegiatan dengan ibunya. Puncaknya adalah ketika sudah berada di tempat tidur. Selama seminggu ini, dia minta ibunya membacakan cerita untuknya. Cukup satu buku cerita anak yang halamannya sekitar 24 lembar.
Minggu sebelumnya, ia meminta bapaknya bermain sulap-sulapan. Si bapak bergaya seperti tukang sulap dengan topi dan sarung yang dikalungkan di leher lalu menyembunyikan mainan di belakang punggung. Benda dijatuhkan dan kedua tangan kosong ditunjukkan ke Banyu. Itulah sulapan seperti yang dipikirkan bocah berusia 5 tahun itu.
Ada siklus yang harus diikuti bapaknya atau ibunya. Selama kurang lebih 2 minggu, kegiatan itu menjadi ritualnya sebelum tidur. Banyu akan meminta hal lain kalau ada hal baru menarik terjadi. Itu akan menggantikan ritualnya seminggi hingga 2 minggu berikutnya. Ritual kali ini dipicu dari kesukaannya dengan dinosaurus. Buku yang baru dibelikan olehnya tentang binatang purba itu akan menjadi teman ritualnya hari-hari ini.
Malam itu, saat beberapa halaman dibacakan ibunya, sebuah suara dari langit terdengar. Mulanya pelan, sehingga Banyu tidak terdistraksi. Suara-suara berikutnya semakin kuat dan dekat. Banyu mengalihkan perhatiannya dari halaman buku yang sedang dibacakan.
Wajahnya sangat ingin tahu. Sepertinya, ia ingin mengajak keluar untuk mencari tahu suara itu. Namun, sedikit rasa takutnya menghalangi niat itu. Banyu semakin memdekatkan diri kepada ibunya.
"Itu suara apa, Ibu?" tanya Banyu dengan dipenuhi rasa ingin tahu sekaligus cemas karena suara itu begitu ribut. Suara itu todak jauh dari rumahnya. Mungkin di atap rumah tetangga.
"Itu burung gagak," jawab ibunya.
Jawaban ibunya ragu-ragu. Ibunya bergulat dengan benar tidaknya jawaban itu. Yang segera dia ingat adalah bahwa gagak bukan burung malam. Di malam seperti itu, tak mungkin gagak beterbangan di sekitar rumahnya. Ibunya terusik lagi dengan suara itu, sementara Banyu nampak tegang mendengarnya.
"Ibu, itu suara apa?" tanya Banyu kedua kalinya.
"Ah, ibu tidak tahu pasti. Menurutmu?"
"Kelelawar!"
Ibu dan bocah itu terlibat diskusi kecil. Si anak memberi penjelasan atas jawabannya berdasar pengetahuannya tentang binatang yang pernah dia dengar dari bapaknya. Kelelawar adalah binatang nokturnal. Banyu cukup paham dengan istilah itu karena ibunya terbiasa mengajaknya berbicara menggunakan bahasa Inggris.
"Oh, benarkah itu kelelawar?"
"Iya, ibu. Dia habis ambil buah-buahan di pohon mangga di sana."
Banyu menunjuk sebuah tempat di ujung pertigaan jalan yang ditumbuhi 2 pohon mangga besar yang sedang berbuah. Si ibu yang baik akan mendengar setiap jawaban anaknya. Bahkan, untuk mengalihkan rasa cemas Banyu, ibunya terus menyelidik dengan beberapa pertanyaan lagi.
Suara itu tidak terdengar lagi. Dalam otak Banyu, teruslah bergejolak untuk mau tahu suara apa sebenarnya. Ia tahu, ibunya belum memberi jawaban yang meyakinkan. Halaman terakhir telah tuntas diselesaikan. Banyu menguap kuat. Tak lama lagi ia segera tertidur.
***
Selama beberapa malam, suara itu selalu datang pada waktu yamg kurang lebih sama. Hal itu mengganggu pikiran Banyu. Ia ingin sekali mengetahuinya. Kini, dia sudah tidak cemas lagi mendengar suara itu.
Saat sudah di tempat tidur, ia melompat berlari mencari bapaknya. Ibunya tak kuasa menahannya.
"Bapak, itu suara apa?" tanya Banyu.
"Bapak tidak tahu," jawabnya.
Sebenarnya, bapak dan ibu Banyu telah mencari tahu suara itu. Mereka belum yakin benar suara binatang apa. Kesimpulan mereka: suara burung elang. Mungkin ada jenis elang yang suka terbang malam. Tapi, suata binatang yang selalu bertengger di rumah loteng sebelah tempat tinggal mereka tetap menjadi teka-teki. Bapak dan ibu Banyu bersepakat untuk memecahkan bersama-sama, bahkan melibatkan Banyu.
"Bapak, ayo kita cari tahu suara itu!" pinta Banyu.
Bapak Banyu sangat senang mendengar permintaan anaknya. Mereka berdua keluar rumah. Banyu memegang tangan kiri bapaknya. Perasaan dag dig dug terasa sedang menyelimuti si kecil.
"Suaranya dari sana, Bapak!" seru Banyu.
"Tapi, saya tidak bisa melihatnya," jawab Bapak Banyu.
Diambillah hp dan dibukanya senter dari hape itu. Cahayanya tidak begitu kuat menjangkau benda di kegelapan di bagian paling atas loteng itu. Banyu nampak tidak puas. Namun, tak ada lagi cara lain untuk menyimpan penasarannya. Senter yang dia punya sudah rusak ketika Banyu menjatuhkannya beberapa bulan lalu.
Malam itu, Banyu tidur membawa sebuah keingintahuan yang belum tuntas. Tapi, dia cukup yakin bahwa itu suara binatang pemakan buah, kelelawar.
***
Hari berikutnya, Banyu akan sibuk dengan dunianya. Dia akan tenggelam demgan mainan-mainannya: dinosaurus-dinosaurusnya, mobil-mibilannya, dan kertas-kertas gambarnya.
Setelah bosan dengan satu mainannya, ia memainkan lagi mainan lainnya. Ibunya akan menemaninya bermain sepanjang hari di sela-sela menerjemahkan jurnal dan mengurusi tetek bengek pekerjaan rumah tangga.
Karena hari itu weekend, tugas menemani bermain diambil alih bapaknya biar ibunya fokus menyelesaikan terjemahan.
Tiba-tiba Banyu bereksplorasi di belakang rumah. Ia membawa sekop kecil dan sikar gigi bekas. Ia bercerita kepada bapaknya kalau dia mau menjadi paleontologist. Ia menggali tanah di belakang rumah. Di sana ia biasa mengubur mainan dinosaurusnya dan berpikir setelah beberapa hari akan menjadi fosil.
Tak lama kemudian, ia datang membawa tulang-tulang kecil dari belakang rumah. Ia menyodorkan kepada bapaknya.
"Bapak, saya menemukan fosil," lapor Banyu dengan sumringah.
Bapak Banyu terperanjat. Yang disodorkan benar-benar tulang. Banyu menjelaskan proses penemuan itu. Sepasang tengkorak dan tulang rahang binatang kecil dimain-mainkan. Tulang itu tak lain tulang tikus. Bapak Banyu merasa jijik. Di bagian tengkorak yang retak itu terlihat kulit dengan bulu-buku tipis yang masih tertempel. Tikus itu rupanya belum lama mati. Sedikit bau menyeruak di hidung.
"Ini fosil pterodaktil!" kata Banyu lantang.
"Bagaimana kamu tahu?" tanya Bapaknya.
Pertanyaan ini akan membuka misteri yang Banyu ingin tahu. Bapaknya terus meminta Banyu menjelaskan. Ia mulai berteori bahwa pterodaktil, dinosaurus kesukaannya itu, terkubur abu volkano ribuan tahun lalu di belakang rumah.
"Apakah bentuk paruh pterodaktil seperti ini?" pancing bapaknya.
Banyu tetep kekeuh dengan temuannya. Cara yang tepatberargumen dengan anaknya adalah dengan memastikan lewat buku tentang fauna yang ia miliki. Banyu bisa yakin bahwa tulang itu bukan tulang pterodaktil setelah membandingkan bentuk paruh pterodaktil dengan tulang yang ia temukan.
Bapaknya mengajak Banyu menemukan tulang binatang itu melalui buku-buku lain. Sambil terus mengajukan pertanyaan, Banyu akhirnya bisa menemukan gambar tikus dan kerangkanya. Kali ini Banyu menyerah.
"Binatang apa yang suka makan tikus?" tanya bapaknya.
"Ular, kucing, dan burung hantu," jawabnya lancar.
Mereka bereksplorasi lagi melihat binatang-binatang itu. Banyu tertarik dengan burung hantu setelah tahu binatang itu juga binatang malam. Wajahnya begitu serius ketika di dalam buku itu diceritakan tentang makanan kesukaan burung hantu. Ia menyimpan pertanyaan yang tak bisa disembunyikan lagi.
"Suara burung hantu seperti apa?" tanyanya tergesa-gesa.
"Aokk... Aok...." jawab bapaknya.
"Kok tidak twit twoo... twit twoo... ?" protes Banyu.
"Ada juga yang bunyinya begitu!" jawab bapaknya.
Dia masih penasaran dengan suara binatang malam yang selama ini mengganggu pikirannya. Ibunya segera menyela dan menjelaskan suara burung hantu yang ia pernah ajarkan dalam bahasa Inggris dan dalam bahasa Indonesia menjadi berbeda.
Seandainya suara yang ia dengar "twit twoo... twit twoo...", dia bisa segera mengenali suara itu. Saat malam menjelang tidur, Banyu tidak mengajak membaca buku lagi. Ritual berganti dengan menunggu kedatangan burung hantu. Ia berpesan untuk dibelikan senter baru untuk melihat burung itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H