Kita menjadi akrab dengan situasi yang tidak biasa, termasuk pembelajaran jarak jauh. Guru-guru harus mengendalikan pembelajaran dari rumah atau sekolah menggunakan perangkat teknologi dan internet. Rupanya, banyak guru yang mudah beradaptasi dengan aktifitas ini. Sebagian lagi, sebut saja guru-guru senior, harus ada ekstra-adaptasi.
Nampaknya, semua berjalan normal. Pandemi mengajak pelaku pendidikan berubah haluan untuk tetap memastikan pembelajaran tidak terputus. Selama pembelajaran jarak jauh, banyak platform pembelajaran daring digunakan, bahkan direkomendasikan oleh pemerintah sebagai platform rujukan. Diantaranya ada Google Classroom, Ruangguru, Rumah Belajar, dan platform lain.
Terlepas bahwa pembelajaran jarak jauh mengalami kendala, seperti tidak semua anak mempunyai gawai dan disparitas jangkauan internet, pembelajaran jarak jauh tak bisa dihindari. Sekolah-sekolah tertentu yang berada di zona hijau atau kuning bisa saja menyuruh anak-anak datang tiap minggu untuk mengumpulkan tugas dan bertemu guru untuk mendapatkan proyek kegiatan selama seminggu ke depan.
Kebijakan di atas bisa dilakukan untuk sekolah yang tidak memungkinkan melakukan pembelajaran daring. Â Keadaan tertentu yang mana anak-anak tidak mendapatkan dukungan instrumen memadai (gawai dan jaringan internet) menggugah sekolah melakukan cara tersebut. Semua dilakukan agar tidak ada loss learning.
***
Dari semua upaya untuk memastikan keberlangsungan pembelajaran, sepertinya masih ada yang terlewatkan. Kegiatan membaca bagi anak-anak di rumah masih terabaikan. Platform-platform yang muncul masih menunjukkan dominasi terhadap aktivitas belajar-mengajar formal. Membaca, khususnya membaca buku-buku fiksi, belum menjadi agenda kegiatan anak, terlebih saat kita tanpa henti berbicara tentang literasi.
Padahal, di sela-sela aktivitas lain yang berhubungan dengan pembelajaran, anak-anak memiliki waktu yang sangat longgar untuk membaca. Sisa waktu bermain yang terlalu banyak menjadi penting diisi dengan aktivitas membaca. Waktu anak membaca menjadi lebih fleksibel dan banyak karena jam pembelajaran jarak jauh tidak terjadi seperti pembelajaran normal.
Lagi pula, orang tua yang peduli tidak akan membiarkan anak-anak mereka berinteraksi dengan anak-anak lain untuk mematuhi physical distancing. Seharusnya, anak bisa dikenalkan dengan quality time melalui kegiatan membaca. Tidak mungkin sebagian besar waktu anak untuk belajar saja agar anak terhindar dari tekanan psikis. Juga tidak baik banyak waktu terbuang untuk bermain atau nonton.
Jika kegiatan membaca tidak mengemuka selama pandemi, ini membuktikan bahwa kepedulian terhadap membaca memang tidak dimiliki siapapun di negeri ini. Membaca dianggap kurang bermanfaat. Budaya membaca dianggap budaya elitis padahal ini seharusnya menjadi milik siapapun. Isu literasi rendah berhenti di pidato-pidato dan obrolan-obrolan kantoran.
Pandangan umum yang muncul di dunia pendidikan adalah membaca berkorelasi dengan meningkatkan pengetahuan dan memperluas ilmu. Maka, membaca dipahami sebagai aktivitas bermanfaat jika anak-anak membaca buku pelajaran. Buku pelajaran berisi pengetahuan bagi anak-anak. Membaca buku-buku cerita (fiksi) hanyalah memberi kesenangan dan tidak menambah ilmu pengetahuan. Karena itu, belajar terjadi ketika anak membaca buku pelajaran, Â bukan buku cerita.
Tak heran, jika keleluasaan waktu anak selama pandemi tidak menggerakkan kita untuk mengambil momentum ini untuk menumbuhkan minat baca anak. Sudah kita ketahui bahwa cara kerja di sekolah sangat hirarkis dengan mengikuti instruksi dari pemerintah. Jika selama pandemi sekolah diharapkan menjalankan kegiatan belajar jarak jauh, tak sulit bagi sekolah mengiyakan instruksi tersebut. Jika terselip ajakan membaca, barangkali sekolah akan melakukan.
Tidak sulit bagi pemerintah mencari partner yang bisa memfasilitasi buku-buku virtual jika perpustakasn sekolah belum siap. Pada kenyataannya, perpustakaan sekolah memang masih didominasi buku-buku teks pelajaran. Sejauh saya ketahui, ada beberapa plafform yang menyediakan buku-buku bacaan gratis bagi anak-anak sekolah dasar. Mestinya, ini bisa menjadi rujukan untuk dimanfaatkan oleh anak-anak. Ini belum terjadi.
Dengan demikian, kita belum melakukan apa-apa untuk merespon rendahnya literasi kita. Berdasarkan laporan PISA yang dirilis pada bulan Desember 2019, skor membaca Indonesia ada di peringkat 72 dari 77 negara. Kita mungkin akan terus bertahan di peringkat bawah karena geliat membaca kita tidak berubah. Tapi, bukan itu permasalahannya.
Dalam beberapa kesempatan yang saya jumpai dengan para pendidik, anggapan terhadap rendahnya literasi terjadi karena anak sendiri. Tak jarang saya mendengar dari kalangan pendidik yang turut menyalahkan anak. Mereka mengatakan bahwa anak-anak memang tidak suka membaca, lebih senang bermain gadget, atau lebih tertarik untuk bermain game.
Tak sedikit pun dari pendidik yang legawa bahwa mereka andil dalam rendahnya literasi anak. Sekolah belum menjadi ekosistem yang gemar membaca. Guru-guru baru membaca di WA, Instagram, atau Facebook. Kebijakan-kebijakan untuk menumbuhkan minat baca belum meyakinkan. Jika ada, sifatnya bersifat selebrasi saja misalnya dengan mengadakan lomba-lomba (mendongeng, storytelling, meringkas cerita).
Di sekolah, tidak ada figur yang memberi contoh sebagai pembaca buku atau menaruh perhatian pada pengelolaan perpustakaan sekolah. Bahkan, aturan pembelian buku fiksi dari dana BOS tidak menjadi perhatian sekolah. Buku-buku yang dibeli hanya buku teks pelajaran dan buku-buku pengayaan pelajaran.
Sekolah juga lebih risau jika sekolahnya tidak punya AC daripada tidak miliki buku-buku cerita anak yang berkualitas. Sekolah risih tidak ada tukang kebersihan daripada tidak ada petugas perpustakaan. Sekolah berambisi menang lomba perpustakaan yang penilaiannya administratif daripada memenangkan hati anak-anak untuk bisa menikmati dan meminjam buku carita dari perpustakaan sekolah.
***
Di saat pandemi ini, ajakan membaca tak pernah terdengar. Pemerintah begitu cemas jika terjadi loss learning. Dan, itu juga kiranya, bahwa wacana membuka sekolah begitu kuat.
Namun, kegelisahan pada tingkat literasi yang rendah tak muncul. Anak-anak perlu belajar untuk memastikan mereka berpengetahuan mumpuni. Jangan lupa bahwa anak-anak butuh kesenangan dan memiliki quality time yang bisa diisi dengan membaca buku-buku fiksi. Tanpa adanya minat membaca yang baik, pengetahuan tidak mungkin dikuasai dengan baik. Minat membaca bisa diawali dengan membaca untuk kesenangan (reading for enjoyment).
Maka, jangan salahkan anak karena tidak membaca. Mereka sebenarnya suka membaca. Masalahnya, kita yang tergila-gila pada persekolahan masih merasa bahwa belajar itu mengoleksi pengetahuan dan pengetahuan tidak diperoleh di buku cerita. Kebijakan yang ada adalah kebijakan belajar dari buku yang berorientasi pada kurikulum. Sebenarnya, di situ pula learning loss terjadi, saat minat membaca anak kurang mendapat tempat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI