Mohon tunggu...
Wahyu Kuncoro
Wahyu Kuncoro Mohon Tunggu... Penulis - Pembaca di saat ada waktu, penulis di saat punya waktu.

Seorang suami dan ayah 1 anak, tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Learning Loss dan Minat Baca

7 Januari 2021   18:56 Diperbarui: 7 Januari 2021   19:07 956
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tidak sulit bagi pemerintah mencari partner yang bisa memfasilitasi buku-buku virtual jika perpustakasn sekolah belum siap. Pada kenyataannya, perpustakaan sekolah memang masih didominasi buku-buku teks pelajaran. Sejauh saya ketahui, ada beberapa plafform yang menyediakan buku-buku bacaan gratis bagi anak-anak sekolah dasar. Mestinya, ini bisa menjadi rujukan untuk dimanfaatkan oleh anak-anak. Ini belum terjadi.

Dengan demikian, kita belum melakukan apa-apa untuk merespon rendahnya literasi kita. Berdasarkan laporan PISA yang dirilis pada bulan Desember 2019, skor membaca Indonesia ada di peringkat 72 dari 77 negara. Kita mungkin akan terus bertahan di peringkat bawah karena geliat membaca kita tidak berubah. Tapi, bukan itu permasalahannya.

Dalam beberapa kesempatan yang saya jumpai dengan para pendidik, anggapan terhadap rendahnya literasi terjadi karena anak sendiri. Tak jarang saya mendengar dari kalangan pendidik yang turut menyalahkan anak. Mereka mengatakan bahwa anak-anak memang tidak suka membaca, lebih senang bermain gadget, atau lebih tertarik untuk bermain game.

Tak sedikit pun dari pendidik yang legawa bahwa mereka andil dalam rendahnya literasi anak. Sekolah belum menjadi ekosistem yang gemar membaca. Guru-guru baru membaca di WA, Instagram, atau Facebook. Kebijakan-kebijakan untuk menumbuhkan minat baca belum meyakinkan. Jika ada, sifatnya bersifat selebrasi saja misalnya dengan mengadakan lomba-lomba (mendongeng, storytelling, meringkas cerita).

Di sekolah, tidak ada figur yang memberi contoh sebagai pembaca buku atau menaruh perhatian pada pengelolaan perpustakaan sekolah. Bahkan, aturan pembelian buku fiksi dari dana BOS tidak menjadi perhatian sekolah. Buku-buku yang dibeli hanya buku teks pelajaran dan buku-buku pengayaan pelajaran.

Sekolah juga lebih risau jika sekolahnya tidak punya AC daripada tidak miliki buku-buku cerita anak yang berkualitas. Sekolah risih tidak ada tukang kebersihan daripada tidak ada petugas perpustakaan. Sekolah berambisi menang lomba perpustakaan yang penilaiannya administratif daripada memenangkan hati anak-anak untuk bisa menikmati dan meminjam buku carita dari perpustakaan sekolah.

***

Di saat pandemi ini, ajakan membaca tak pernah terdengar. Pemerintah begitu cemas jika terjadi loss learning. Dan, itu juga kiranya, bahwa wacana membuka sekolah begitu kuat.

Namun, kegelisahan pada tingkat literasi yang rendah tak muncul. Anak-anak perlu belajar untuk memastikan mereka berpengetahuan mumpuni. Jangan lupa bahwa anak-anak butuh kesenangan dan memiliki quality time yang bisa diisi dengan membaca buku-buku fiksi. Tanpa adanya minat membaca yang baik, pengetahuan tidak mungkin dikuasai dengan baik. Minat membaca bisa diawali dengan membaca untuk kesenangan (reading for enjoyment).

Maka, jangan salahkan anak karena tidak membaca. Mereka sebenarnya suka membaca. Masalahnya, kita yang tergila-gila pada persekolahan masih merasa bahwa belajar itu mengoleksi pengetahuan dan pengetahuan tidak diperoleh di buku cerita. Kebijakan yang ada adalah kebijakan belajar dari buku yang berorientasi pada kurikulum. Sebenarnya, di situ pula learning loss terjadi, saat minat membaca anak kurang mendapat tempat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun