Mohon tunggu...
Wahyu Erwanto
Wahyu Erwanto Mohon Tunggu... Supir - Karyawan swasta

Hobi membaca novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Apakah Kita Semua Bisa Menjadi Pahlawan?

5 Mei 2024   07:55 Diperbarui: 5 Mei 2024   07:56 8685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi By Dall*e

Matahari terbit dengan semburat merah yang tidak biasa, menandakan awal dari hari yang akan penuh dengan ujian. Namaku Rama, dan aku bangun dengan perasaan gelisah yang tak bisa kujelaskan.

Aku melangkah keluar rumah, merasakan hawa panas yang sudah menunggu untuk menyambutku. Kota kecil kami di Indonesia biasanya tenang, tetapi hari ini, ada sesuatu yang berbeda.

Di sekolah, suasana lebih menegangkan dari biasanya. Kepala sekolah, Pak Harun, tampak cemas sambil memegang pengeras suara, siap untuk mengumumkan sesuatu yang penting.

"Sekolah akan ditutup sementara," katanya dengan suara yang berat. "Gelombang panas ini terlalu berbahaya untuk diabaikan." Aku melihat ke sekeliling, menyaksikan wajah-wajah kecewa teman-temanku.

Kami semua tahu bahwa penutupan sekolah bukan hanya tentang kehilangan waktu belajar; itu tentang kehilangan rutinitas, kehilangan normalitas.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan lambat. Aku menghabiskan waktu di rumah, mencoba belajar sendiri, tetapi sulit untuk berkonsentrasi dengan suhu yang terus meningkat.

Lalu, kabar buruk datang. Kebakaran hutan telah pecah di pinggiran kota, dan angin kencang membawa api semakin dekat ke tempat kami.

Aku melihat asap hitam yang tebal di kejauhan, dan hatiku berdebar. Ini bukan hanya tentang panas lagi; ini tentang bertahan hidup.

Kepala sekolah mengirim pesan darurat, meminta bantuan. "Kami membutuhkan semua tangan yang bisa membantu," katanya. "Ini saatnya kita bersatu."

Tanpa berpikir dua kali, aku bergabung dengan barisan relawan. Kami diberi masker, sarung tangan, dan ember penuh air.

Kami berlari menuju api, berusaha memadamkannya dengan segala cara yang kami miliki. Aku bisa merasakan panas yang menyengat, tapi aku mendorong rasa takutku ke samping.

Kami bekerja berjam-jam, tetapi api terus berkobar, seolah-olah diberi makan oleh gelombang panas itu sendiri.

Tiba-tiba, angin berubah arah, dan api yang tadinya terkendali menjadi liar. Aku mendengar teriakan, "Mundur! Mundur!"

Aku melihat sekeliling, mencari jalan keluar, tetapi api telah menutup semua jalur yang mungkin.

Dalam kekacauan itu, aku melihat seorang anak kecil yang terjebak di bawah pohon yang tumbang. Tanpa berpikir, aku berlari ke arahnya.

Aku berhasil mengangkat pohon itu cukup tinggi sehingga anak itu bisa merangkak keluar. "Lari!" teriakku padanya. "Lari secepat yang kamu bisa!"

Anak itu berlari, dan aku merasa lega, tetapi saat aku berbalik, aku menyadari bahwa aku telah membuat kesalahan fatal.

Api telah mengepungku, dan asap membuatku sulit bernapas. Aku mencoba mencari jalan keluar, tetapi setiap arah tampak sama.

Aku jatuh ke tanah, batuk-batuk, sambil mencoba memanggil bantuan, tetapi suaraku tenggelam oleh deru api.

Aku berpikir tentang keluargaku, tentang teman-temanku, tentang semua hal yang belum sempat kukatakan.

Aku berpikir tentang Pak Harun, yang selalu mengatakan bahwa kita harus menjadi pahlawan dalam cerita kita sendiri.

Aku berpikir tentang anak kecil itu, yang sekarang aman karena aku. Mungkin, pikirku, mungkin itu sudah cukup.

Aku merasakan panas yang luar biasa, dan segalanya mulai berputar. Aku tahu bahwa aku tidak akan keluar dari sini.

Dalam detik-detik terakhirku, aku berharap bahwa ceritaku akan diingat, bukan sebagai tragedi, tetapi sebagai kisah keberanian.

Aku ingin orang-orang tahu bahwa meskipun aku takut, aku tidak menyerah. Aku berjuang sampai akhir.

Aku ingin mereka ingat bahwa dalam menghadapi bencana, kita bisa menjadi lebih dari sekadar korban; kita bisa menjadi penyelamat.

Aku ingin mereka ingat bahwa kadang-kadang, pahlawan tidak memakai jubah atau memiliki kekuatan super; mereka hanya memiliki hati yang berani.

Aku ingin mereka ingat bahwa kehidupan adalah tentang momen-momen yang kita pilih untuk berdiri, bahkan ketika segalanya tampak mustahil.

Aku ingin mereka ingat Rama, bukan sebagai siswa yang hilang dalam kebakaran, tetapi sebagai seseorang yang memberikan segalanya untuk orang lain.

Dan dengan itu, aku menutup mataku, menyerahkan diri kepada api, dan berharap bahwa ceritaku akan menginspirasi orang lain untuk bertindak dengan keberanian, bahkan di saat-saat yang paling gelap.

Semoga cerita ini menyentuh hati dan mengingatkan kita semua tentang keberanian dan pengorbanan yang terkadang diperlukan dalam menghadapi bencana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun