Kami berlari menuju api, berusaha memadamkannya dengan segala cara yang kami miliki. Aku bisa merasakan panas yang menyengat, tapi aku mendorong rasa takutku ke samping.
Kami bekerja berjam-jam, tetapi api terus berkobar, seolah-olah diberi makan oleh gelombang panas itu sendiri.
Tiba-tiba, angin berubah arah, dan api yang tadinya terkendali menjadi liar. Aku mendengar teriakan, "Mundur! Mundur!"
Aku melihat sekeliling, mencari jalan keluar, tetapi api telah menutup semua jalur yang mungkin.
Dalam kekacauan itu, aku melihat seorang anak kecil yang terjebak di bawah pohon yang tumbang. Tanpa berpikir, aku berlari ke arahnya.
Aku berhasil mengangkat pohon itu cukup tinggi sehingga anak itu bisa merangkak keluar. "Lari!" teriakku padanya. "Lari secepat yang kamu bisa!"
Anak itu berlari, dan aku merasa lega, tetapi saat aku berbalik, aku menyadari bahwa aku telah membuat kesalahan fatal.
Api telah mengepungku, dan asap membuatku sulit bernapas. Aku mencoba mencari jalan keluar, tetapi setiap arah tampak sama.
Aku jatuh ke tanah, batuk-batuk, sambil mencoba memanggil bantuan, tetapi suaraku tenggelam oleh deru api.
Aku berpikir tentang keluargaku, tentang teman-temanku, tentang semua hal yang belum sempat kukatakan.
Aku berpikir tentang Pak Harun, yang selalu mengatakan bahwa kita harus menjadi pahlawan dalam cerita kita sendiri.