Ada cerita lucu, saat beliau tinggal di desa ini. Suatu saat Mbah Warsa menyelenggarakan selamatan. Diundanglah warga penduduk untuk hadir. Termasuk kyai yang ada di desa ini.
Saat makan daging yang disuguhkan ukurannya besar-besar. Habis makan sang Kyai bertanya, daging hewan apa yang dijadikan dendeng. Bapakku spontan menjawabnya.
"Kijang. Daging kijang. Enakkan kyai ?" Tanyanya balik.
"Enak sekali. Empuk." Jawab sang kyai.
Selesai kendurian, saat tamu sudah pulang, barulah ayah tertawa. Pertama kali dalam hidup ia terpaksa berbohong. Karena daging yang didendeng Mbah Pantes untuk suguhan kenduri sebenarnya bukan daging kijang, tapi daging babi hutan. Celeng atau bagong.
*****
Ada lagi cerita lucu saat ayah tugas di lereng kelud ini. Cerita yang menurut kakakku pertama lain ibu itu, tak layak untuk dibuka. Karena dianggapnya sebagai aib keluarga.
Namun bagiku, baik dan buruk kisah hidup itu tergantung dari mana memandangnya. Seburuk apapun kisah seseorang pasti ada hikmah yang bisa dipetik, tinggal orang lain yang memutuskan untuk memilih.
Daerah di lereng gunung kelud itu adalah wilayah perkebunan kopi. Dulu milik pengusaha partikelir belanda. Bisa jadi ayahku ditugaskan disini dibagian logistik terkait dengan keberadaan perkebunan ini.
Tapi personil yang ditugaskan sangat terbatas, dan tinggal terpencar berbaur dengan penduduk. Persenjataan yang dimilikipun juga terbatas, negara belum mampu memberi belanja untuk pengadaan senjata yang modern. Hanya memamfaatkan senjata hasil rampasan terhadap tentara Jepang.
Daerah ini sering menjadi daerah inspeksi tentara Belanda. Mereka datang dengan truk penuh tentara belanda bersenjata lengkap. Didahului oleh sebuah jip yang ditumpangi komandan dan sopirnya.