RAHASIA RATUSAN RAKIT
Oleh Wahyudi Nugroho
Lima bulan telah berlalu terhitung sejak pertempuran di hutan Jungabang. Senopati Nagawulung  dan Sekar Arum telah berhasil mendirikan dua buah barak, untuk menampung pemuda-pemudi yang berminat untuk bergabung menjadi calon anggota pasukan khusus  kerajaan Giriwana yang akan di dirikan Pangeran Erlangga di Wawatan Emas.
Dua buah barak itu berdiri agak berjauhan, tersekat oleh sebuah sungai yang cukup dalam. Terletak di timur dusun Sumber Petung. Barak untuk calon prajurit laki-laki jauh lebih besar, dibanding barak untuk calon prajurit wanita.Â
Dari hasil perbincangan dengan gadis-gadis di kademangan Majadhuwur, mereka berminat untuk menjadi prajurit, tetapi sulit berpisah dengan keluarga mereka. Akhirnya mereka memilih tetap berlatih dengan Sekar Sari, untuk memperkuat pasukan pengawal kademangan saja.
Hampir separo pasukan pengawal kademangan Maja Dhuwur bergabung. Mereka datang pertama kali di barak itu. Menempati bilik-bilik yang telah disediakan. Di susul kedatangan beberapa puluh pemuda dari desa Sumber Rame dan Candi Sari.
Dua desa yang telah ditinggalkan oleh Gagak Ijo dan anak buahnya tersebut kini dikepalai oleh Sambaya dan Kartika. Dua desa itu dimasukkan menjadi wilayah kademangan Maja Dhuwur yang diperluas.
Dengan berkuda Senopati Naga Wulung dan Sekar Arum selalu berangkat bersama ke barak tersebut. Mereka berpisah di depan Barak pasukan khusus wanita. Senopati Naga Wulung melanjutkan perjalanan melewati jembatan bambu yang baru dibuat.
Selanjutnya keduanya sibuk dengan latihan-latihan keprajuritan bersama beberapa instruktur yang didatangkan dari Giriwana, untuk melatih para calon prajurit itu. Demikianlah hari-hari yang dilalui oleh Senopati Naga Wulung dan Sekar Arum di kademangan Maja Dhuwur.
******
Nan jauh di daerah selatan, di wilayah kerajaan Lhodoyong yang diperintah seorang ratu bernama Maha Dewi Panida, terdapat kesibukan yang sangat menarik perhatian. Di dusun Kaliwungu, banyak orang berdatangan berpakaian ala petani biasa menebangi pohon bambu banyak sekali. Ada ratusan batang bambu petung yang ditebang, diletakkan di padang terbuka di pinggir sungai Brantas.
Selang beberapa hari bambu-bambu petung itu dipotong-potong dan dirakit menjadi gethek. Banyak sekali orang yang mengerjakan pekerjaan itu. Bahkan mereka bermalam di pinggir sungai Brantas dengan mendirikan gubug-gubug.
Tak ada warga dusun Kaliwungu yang tahu maksud pembuatan gethek yang banyak sekali itu. Ketika bekel dusun kaliwungu dan beberapa pengawalnya hadir di sana, ia langsung disambut ramah, dan diajak masuk ke dalam sebuah gubug tanpa seorangpun boleh ikut.
Tak ada yang tahu apa yang mereka perbincangkan di dalam. Bekel itu keluar dari gubug dengan kepala menunduk, seolah ia menyimpan rahasia yang tak boleh  dibocorkan kepada siapapun.
Setengah bulan berlalu, jumlah rakit atau gethek telah mencapai ratusan. Setiap rakit bisa mengangkut dua puluh hingga tiga puluh orang. Berita tentang kegiatan itu seolah tertutup rapat, warga dusun yang dekat dengan Kaliwungupun tak tahu. Sebuah pekerjaan rahasia yang cukup rapat tersembunyikan.
Memasuki hari kedua puluh, saat malam gelap gulita tak tersinari cahaya bulan, puluhan pedati berdatangan ke tempat pembuatan rakit itu. Setiap pedati menurunkan lima kotak kayu berukuran besar yang tertutup rapat. Kotak-kotak itu lantas dipikul oleh empat orang untuk dinaikkan ke atas rakit yang sudah diletakkan di pinggir sungai Brantas. Â Tak ada yang mengetahui isi kotak-kotak kayu itu.
Lima hari berikutnya dusun Kaliwungu kedatangan ratusan orang berpakaian petani. Mereka berbaris masuk dusun itu tepat tengah malam. Â Sebagaimana petani pada umumnya semua berbaju dan bercelana ala petani, bercaping bambu dan membawa sebatang golok yang bergantung di pinggang kirinya.
Para pendatang itu lelaki semua. Berperawakan tegap dan kekar, seolah semuanya adalah orang-orang yang sudah terlatih ilmu kanuragan. Mereka tidur di tempat terbuka di pinggir Sungai Brantas.
Semula warga dusun Kaliwungu takut dengan kedatangan orang-orang berpakaian petani itu. Namun bekel dusun Kaliwungu berhasil menenangkan kembali warga. Ia bisa meyakinkan warganya bahwa kedatangan orang-orang itu tidak akan membahayakan jiwa mereka. Meski rumpun bambu yang mereka pelihara di hutan dekat dusun mereka habis ditebangi oleh para pendatang itu.
Sehari berikutnya datanglah lima orang mengendarai kuda. Seorang wanita cantik dikawal empat lelaki kekar dengan kulit tubuh penuh tatto bergambar hewan-hewan sangar. Semua lelaki di tanah lapang duduk bersimpuh di hadapan wanita berkuda itu. Di punggung wanita itu tersampir kapak bertangkai panjang yang diikat kulit kayu yang telah dipilin halus.
"Hari ini kita berangkat. Segera turunkan rakit-rakit ke sungai. Tetap diam dalam perjalanan, jangan berteriak-teriak untuk menarik perhatian orang. Tepikan rakit di tempat tujuan yang telah ditentukan. Di tempat itu ada pemandu yang akan mengantarkan kalian untuk tinggal sementara waktu di hutan. Bekal pangan cukup untuk dua bulan, sambil menunggu rencana yang telah kita sepakati dijalankan." Kata wanita cantik itu.
"Siap Maha Dewi...." hampir berbareng semua menjawab.
"Baiklah selamat jalan. Aku akan menyusul tiga hari sebelum pembalasan dendam itu dimulai." Kata wanita itu lagi.
Selang sebentar terdengar trompet kerang berbunyi ditiup salah seorang pengawal wanita itu. Setelah menyembah ratusan lelaki itu bergegas berlari kerakitnya masing-masing. Menarik rakit itu ke sungai dan menghelanya dengan satang mengikuti arus sungai brantas.
Maha Dewi Panida bersama rombongan berkudanya berbalik arah setelah rakit terakhir telah terbawa arus kali brantas. Ia sentuh perut kuda dengan tumitnya, hewan itu segera melangkahkan kakinya meninggalkan ladang terbuka di pinggir sungai itu. Mereka pulang ke istana Lhodoyong.
Hampir semalam suntuk ratusan rakit terombang-ambing oleh arus sungai Brantas. Diterangi oleh cahaya bulan yang tinggal separo. Menjelang pagi mereka telah sampai di tempat tujuan. Para tukang satang sibuk menggerakkan galahnya untuk meminggirkan rakitnya.
Penumpangnya segera melompat kedaratan dan bergotong royong menarik rakit mereka dari permukaan air. Rakit-rakit itu mereka tumpuk jadi beberapa tumpukan yang menggunung, setelah kotak-kotak kayu mereka pindahkan. Kemudian mereka tinggalkan untuk beristirahat di bawah pohon-pohon rindang di tepian brastas sambil menanti ransum makan pagi.
"Kita bersandar di desa mana ini ?" Tanya seseorang berkepala botak.
"Kita berada di desa Tembelang. Dari sini kita akan berjalan kaki ke timur menuju Jungabang. Barulah barisan di bagi tiga."
"Kenapa harus dibagi ?"
"Entahlah. Kita akan membuka hutan dan membuat permukinan di tiga tempat, mengitari wilayah Giriwana ?"
"Apakah Maha Dewi Panida berniat menggempur Giriwana ?"
" Benar. Tapi tidak dalam waktu dekat. Kita menunggu isyarat orang-orang kita yang telah menyusup ke istana itu."
Sibotak mengangguk-anggukan kepala. Barulah ia tahu rahasia dibalik pembuatan ratusan rakit yang diperintahkan oleh Jaran Lebong kepercayaan sang maha dewi.
Menjelang siang beberapa pedati yang disewa para petani itu berdatangan, namun jumlahnya hanya belasan. Terpaksa pembagian kelompok dilakukan saat itu. Kelompok pertama berangkat dari Tembelang ke timur, menuju hutan di sebelah selatan istana Giriwana.
Sementara esok harinya kelompok kedua berangkat menuju hutan di dekat Juangbang. Â Namun lain lagi dengan kelompok ketiga, ada perubahan rencana untuk melanjutkan perjalanan lewat sungai Brantas, dan merapatkan rakit-rakit mereka di dekat hutan sebelah utara istana Giriwana.
Demikianlah para pendatang dari selatan itu telah sampai tujuan sementara mereka. Mereka segera membuka hutan di tempatnya yang baru. Membuat barak-barak untuk tempat tinggal mereka, sambil menunggu datangnya perintah berikutnya.
******
Sementara itu di barak pasukan khusus yang di pimpin oleh senopati Naga Wulung terus dengan giatnya melakukan latihan-latihan yang berat. Saban pagi ketika matahari belum terbit calon-calon prajurit itu dibawa keluar barak untuk berlari-lari. Semula melewati jalan-jalan pedesaan di wilayah kademangan Maja Dhuwur, namun lain hari dibawa ke sungai untuk melakukan hal serupa namun sambil meloncat-loncat di atas batu.
Calon prajurit yang dilatih oleh Sekar Arum demikian pula, melakukan kegiatan yang sama. Gadis itu juga membawa gadis-gadis dibawah bimbingannya melakukan lari pagi menjelang matahari terbit. Namun rute jalan yang dilaluinya berbeda. Hal ini terlebih dahulu dirundingkan oleh senopati Naga Wulung dan Sekar Arum saat mereka di rumah Mbok Darmi.
Kini Sekar Arum tidak lagi sendirian melatih gadis-gadis itu, gurunya ikut membantu bersama mentrik-mentrik kepercayaan Nyai Rukmini. Hal ini dilakukan karena belum ada instruktur prajurit wanita yang bisa di datangkan dari Istana Giriwana untuk ikut melatih calon-calon prajurit yang dipercayakan padanya.
Berbeda dengan senopati Naga Wulung, istana Giriwana telah mengirim dua puluh prajurit untuk membantunya. Masing-masing prajurit itu mendapatkan tugas yang berbeda-beda. Ada yang bertugas untuk memimpin calon-calon prajurit itu saat melakukan pemanasan di pagi hari. Ada pula yang bertugas untuk memimpin latihan bersama di lapangan terbuka yang diikuti semua calon prajurit.
Setelah istirahat siang calon-calon prajurit  itu dibagi-bagi ke dalam kelompok kecil, masing-masing bagian diperintah untuk memasuki sanggar-sanggar yang telah dipersiapkan. Kelompok-kelompok kecil itu dipimpin oleh instruktur-instruktur yang mengajarkan keahlian-keahlian mereka masing-masing. Serta melakukan latihan dengan peralatan khusus yang tersedia di masing-masing sanggar.
Demikianlah hari demi hari tak terlepas dengan kegiatan pembajaan diri bagi calon-calon prajurit khusus di barak-barak yang terletak di dusun Sumber Petung itu. Senopati Naga Wulung juga ikut turun tangan melatih para calon prajurit , semua jurus kanuragan yang dimilikinya sedikit demi sedikit diajarkan pada masing-masing kelompok calon prajurit yang menjadi tanggung jawabnya di barak Petung Amba, wilayah kademangan yang sangat subur itu, Maja Dhuwur.
*****
Sementara itu, di suatu sore hari, abdi dalem Pataya yang bertugas melatih tari di istana Giriwana, tengah duduk bersimpuh di dekat Kanjeng Gusti Ayu Galuh Sekar, bersama abdi dalem lainnya. Mereka menanti Gusti Ayu Kilisuci berdandan. Hari ini putri Erlangga itu ingin memamerkan keluwesannya berjoget. Dia akan menarikan Tari Bondan.
Tari Jawa yang menggambarkan kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya yang masih bayi, terhitung cukup sulit dilakukan oleh anak seusia Kilisuci. Namun berdasarkan penuturan abdi dalem pataya, sang putri mampu menarikannya dengan baik. Hari ini ia akan memamerkan keprigelannya menari di depan ayahandanya.
Dalam tari ini Dewi Kilisuci akan menggendong boneka dan membawa sebuah payung. Pada bagian akhir tari ia akan naik di atas kendi, melenggak- lenggokkan tubuh dan menggerak-gerakkan payungnya, sambil memutar-mutar kendi di bawah kedua kakinya. Ia harus mampu menjaga keseimbangan tubuhnya agar tidak jatuh, apalagi sampai memecahkan kendi yang diinjaknya dengan kedua kaki.
Suara gamelan telah mengalun mengiringi beberapa gending, sambil menanti acara pokok 'tingalan dalem' pangeran Erlangga atas putrinya yang telah menyelesaikan belajarnya untuk menguasai sebuah tari. Tari ini diperbolehkan untuk dipelajari oleh Kilisuci agar dia tak lagi menanyakan kapan ia bisa bertemu kembali dengan Sekar Arum, untuk melanjutkan pelajarannya berlatih olah kanuragan.
Saatnyapun tiba, ketika abdi dalem pengasuh Dewi Kilisuci keluar dari panti busana tempat dewi Kilisuci berdandan. Wanita itu menganggukkan badannya kepada Gusti Putri Galuh Sekar. Gusti putri segera memerintahkan abdi dalem pataya untuk memohon Gusti Pangeran Erlangga berkenan segera hadir untuk menyaksikan pagelaran tari putrinya.
Abdi dalem pataya bergegas bangkit, dengan membungkuk-bungkukkan badan ia berjalan memasuki istana dalam. Sebelum ia duduk dan menyembah Pangeran Erlangga, sang pangeran telah bertanya padanya.
"Apakah acaranya sudah siap emban ?" Tanyanya.
"Kasinggihan Gusti. (Iya Gusti). Paduka dimohon hadir menyaksikan pagelaran Gusti Ayu Kilisuci."
"Iya. Pergilah dulu. Sebentar lagi aku akan datang."Â
Emban abdi dalem pataya segera undur diri. Ia segera keluar dari istana dalam menuju tempatnya semula, duduk di antara para emban keputrian istana Giriwana.
Sebentar kemudian pangeran Erlangga nampak berjalan menuju kursi yang telah disediakan untuk beliau. Ia menoleh dan menatap kedua isterinya sebentar, nampak Galuh Sekar menganggukkan kepala. Barulah Pangeran Erlangga menatap putrinya yang telah siap melaksanakan ujian akhir latihannya dengan menari di depan ayahandanya.
Dewi Kilisuci menganggukkan kepala, saat kedua matanya bertemu pandang dengan tatapan mata ayahandanya. Pangeran Erlangga tersenyum dan menganggukkan kepala, kemudian beliau bertepuk tangan sebagai pertanda para niyaga segera mengganti irama gamelan sesuai gending pengiring tari bondan.
Gending pengiring segera mengalun dengan merdunya. Dengan luwes dan gemulai Dewi Kilisuci memasuki arena pagelaran. Tangan kanannya menenteng kendi, tangan kiri membawa payung yang telah terbuka di atas pundaknya. Ia menggendong sebuah boneka kayu dengan selendang sutra yang tersulam gambar-gambar bunga yang indah.
Semua yang menonton keluwesannya menari tersenyum, mata berbinar memancarkan rasa kagum, betapa dewi Kilisuci sangat gemulai menari. Tak ubahnya seorang ibu yang penuh kasih sayang terhadap bayinya, memperlakukan sang anak dengan lemah lembut penuh cinta. Gusti Putri Galuh Sekar meneteskan air mata, ia sangat terharu dengan keprigelan putrinya. Pangeran Erlangga juga terpesona dengan kemampuan anak sulungnya yang secara total menjiwai setiap gerak tarinya.
Ketika Dewi Kilisuci harus menaikkan kedua kakinya dipundak kendi, semua penonton ikut menahan nafas. Adegan itu tak mudah dilakukan jika tidak mampu mengendalikan keseimbangan tubuhnya. Namun ternyata gadis kecil itu ternyata mampu, iapun kemudian melenggak-lenggokkan tubuhnya dan menggerakkan tangan mengikuti irama gamelan.
Penontonpun bersorak ramai sekali. Pangeran Erlangga dan Gusti Putri Galuh Sekar ikut bertepuk tangan memberikan semangat kepada putri mereka.
Pagelaran tari Bondan itu berakhir menjelang matahari tenggelam diufuk barat. Gadis itu turun dari kendi dan membawa benda itu kembali dengan langkah yang gemulai. Teriring sorak gembira seluruh keluarga istana bersama para abdi dan emban-embannya.
Selang sebentar kemudian para jajar istana Giriwana mulai sibuk menyalakan obor penerang. Malampun turun perlahan, cahaya mentari tergantikan sinar obor yang bergerak-gerak tertiup semilirnya angin kemarau yang sejuk.
****
Setelah menerima laporan para telik sandi, Senopati Manggala bergegas menuju wisma yang ditinggali Senopati Narotama. Lelaki tangan kanan pangeran Erlangga yang masih membujang itu tengah duduk di balai tamu. Beberapa abdinya yang mengerubunginya tengah mengalunkan tembang.
Ketika beliau melihat Senopati Manggalaa kelihatan tergopoh-gopoh mendatanginya, Senopati  Narotama memerintahkan para abdinya untuk meninggalkan tempat itu. Beliau lantas memandang senopati Manggala untuk segera melapor.
"Apakah ada berita penting paman Manggala ?"
"Benar tuan. Telik sandi melihat ada pembukaan hutan di wilayah selatan dan barat. Konon mereka para pendatang dari jauh lewat sungai  Brantas. Mereka mengendarai ratusan rakit dan bersandar  di dusun Tembelang.."
"Apakah mereka membawa perlengkapan prajurit ?"
"Tidak tuan. Mereka mengenakan pakaian ala petani biasa.  Namun yang mencurigakan  fisik  mereka memiliki postur yang hampir seragam, seolah mereka  sama-sama pernah mengikuti latihan kanuragan yang  disiplin."
"Sejak kapan  mereka membuka hutan ?"
"Hampir setengah bulan yang lalu tuan. Apakah yang harus kami kerjakan tuan ?"
"Amati saja dulu gerak-gerik mereka. Jika ada tanda-tanda yang mencurigzkan laporkan kepada saya."
"Sendika tuan."
Â
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H