"Siap Maha Dewi...." hampir berbareng semua menjawab.
"Baiklah selamat jalan. Aku akan menyusul tiga hari sebelum pembalasan dendam itu dimulai." Kata wanita itu lagi.
Selang sebentar terdengar trompet kerang berbunyi ditiup salah seorang pengawal wanita itu. Setelah menyembah ratusan lelaki itu bergegas berlari kerakitnya masing-masing. Menarik rakit itu ke sungai dan menghelanya dengan satang mengikuti arus sungai brantas.
Maha Dewi Panida bersama rombongan berkudanya berbalik arah setelah rakit terakhir telah terbawa arus kali brantas. Ia sentuh perut kuda dengan tumitnya, hewan itu segera melangkahkan kakinya meninggalkan ladang terbuka di pinggir sungai itu. Mereka pulang ke istana Lhodoyong.
Hampir semalam suntuk ratusan rakit terombang-ambing oleh arus sungai Brantas. Diterangi oleh cahaya bulan yang tinggal separo. Menjelang pagi mereka telah sampai di tempat tujuan. Para tukang satang sibuk menggerakkan galahnya untuk meminggirkan rakitnya.
Penumpangnya segera melompat kedaratan dan bergotong royong menarik rakit mereka dari permukaan air. Rakit-rakit itu mereka tumpuk jadi beberapa tumpukan yang menggunung, setelah kotak-kotak kayu mereka pindahkan. Kemudian mereka tinggalkan untuk beristirahat di bawah pohon-pohon rindang di tepian brastas sambil menanti ransum makan pagi.
"Kita bersandar di desa mana ini ?" Tanya seseorang berkepala botak.
"Kita berada di desa Tembelang. Dari sini kita akan berjalan kaki ke timur menuju Jungabang. Barulah barisan di bagi tiga."
"Kenapa harus dibagi ?"
"Entahlah. Kita akan membuka hutan dan membuat permukinan di tiga tempat, mengitari wilayah Giriwana ?"
"Apakah Maha Dewi Panida berniat menggempur Giriwana ?"