Bekel Jungabang itu sangat terharu. Ia tak mampu menahan air matanya yang deras menetes. Dengan gemetar ia mengucapkan terima kasih berulang-ulang kepada setiap prajurit yang ia temui.
"Terima kasih tuan. Terima kasih. Semoga dewata yang membalas kebaikan tuan." Kata bekel itu meninggalkan rumah yang jadi barak pimpinan prajurit.
Setelah semua selesai makan pagi, barisan prajurit Bala Putra Raja bergerak lagi meneruskan perjalanan ke arah timur laut. Menuju bekas pesanggrahan tempat Pangeran Erlangga mengungsi karena perang.Â
Dari perbincangannya dengan beberapa prajurit, banyak hal yang diketahui Sembada. Salah satunya tentang pesanggrahan di Wawatan Mas. Keadaannya kini sudah jauh berbeda dengan dulu saat mereka datang kemari.
Semula tempat itu adalah tanah lapang yang sering disebut Ngoro-oro oleh penduduk, karena tak ada pohon di sana. Namun tempat itu dilingkari hutan yang cukup lebat. Daerah yang terletak di lereng gunung Penanggungan itu kini tengah di bangun sebuah istana. Istana Giri Wana, Wawatan Mas.
Giri artinya gunung, dan wana bermakna hutan. Istana Giriwana adalah istana yang dibangun di tengah hutan yang terletak di lereng gunung. Dari tempat itu  memang nampak jelas sekali puncak gunung Penanggungan. Sementara gunung ini dipercaya sebagai patahan puncak Semeru yang jatuh ke bumi saat gunung raksasa itu di pindah para dewa ke tanah Jawa.
Sebenarnya banyak prajurit yang kurang setuju jika Pangeran Erlangga membangun istana di situ. Mereka banyak mendengar dari warga desa sekitar, bahwa Ngoro-oro itu adalah tempat yang wingit. Angker. Jika pangeran membangun istana di sana mereka takut akan sering terjadi bencana.
Para pemburu atau pencari kayu dari desa sekitar sering menemukan kerangka manusia di tempat itu, Â di samping sebuah altar dari tumpukan batu dan bumbung-bumbung bambu bekas wadah minuman keras yang berserakan. Bahkan sering kali penduduk sekitar hutan mendengar suara-suara aneh di tengah malam buta, dan melihat asap api yang membubung ke langit dari sana.
"Huum, huuum, huuum..." demikianlah bunyi suara-suara aneh itu.
Ketika hal tersebut diutarakannya kepada Sekar Arum, saat mereka sejenak istirahat di suatu tempat yang agak jauh dari rombongan, gadis itu merenung sejenak. Ia ingat berbagai cerita yang sering dikisahkan ayahnya saat mereka sekeluarga tengah bercengkrama. Meski saat itu ia remaja kecil, namun ia masih sangat mengingatnya. Bahkan sekarang ia bisa mengupas dan mengurainya dengan pikiran.
"Tak ada yang aneh Kang. Apalagi berkaitan dengan dunia lain. Alam gandarwa. Penyebab suasana jadi wingit dan angker. Aku kira itu kebiasaan kelompok-kelompok penganut keyakinan tertentu yang sedang melakukan upacara." Kata Sekar Arum.Â