"Dengan cara itu akan lebih sederhana, tidak merepotkan dan makan biaya banyak. " kata Mpu Barada.
Upacara ngulapin juga dipimpin oleh maharesi Mpu Barada. Permohonan izin kepada Mahadewi Durga tersebut diselenggarakan di Pura Dalem kademangan Maja Dhuwur. Doa dan mantra dilantunkan diselingi bunyi giring-giring yang gemerincing saat tongkat di tangan kanan sang resi digedigkan. Asap dupa dan wangi bunga yang disebarkan di pura itu menambah sakral suasana upacara.
Tahap mesiram atau mabersih dilewati, semua yang meninggal adalah korban perang. Darah yang mengucur dari tubuh mereka diyakini telah menyucikan semuanya. Baik dosa-dosa besar dan kecil di masa lampaupun hilang. Namun rumah duka dan halaman nya tetap harus dibersihkan.
Upacara penyucian jiwa atau ngaskara berjalan dengan lancar, tak ada rintangan apapun. Demikian juga persembahan sesaji atau nirpana, semua ubarampe yang dibutuhkan dipenuhi dengan sempurna. Tiada satupun ubarampe sesaji yang ditinggalkan.
Esok harinya diselenggarakan upacara ngeseng sewa, pembakaran mayat. Dengan api Dewa Brahma jiwa dan raga korban akan dihantarkan untuk kembali abadi. Atma akan kembali kepada Mahaatma, raga teruai lagi ke dalam unsur panca maha bhuta.
Upacara pembakaran mayat ini diselenggarakan di tanah lapang yang terletak di selatan rawa pandan. Dihadiri seluruh warga kademangan Maja Dhuwur, tua-muda, laki-perempuan, dengan mengenakan pakaian adat mereka. Dipimpin langsung maharesi Mpu Barada, guru suci yang sangat mereka hormati.
Sejak keluar pintu balai kademangan dan berjalan menuju tanah lapang di selatan rawa pandan, guru suci itu telah diikuti iringan barisan yang sangat panjang. Para pengawal dan prajurit mengamankan jalan yang akan dilewati sang maharsi. Dengan sikap sempurna mereka berdiri di pinggir jalan, menjadi pagar betis yang rapat yang melindungi keselamatan Mpu Barada.
Setelah sampai di tempat, upacara ngaben atau palebon segera dimulai. Sang maharsi naik panggung kecil yang telah dipersiapkan. Doa dan mantra segera dilantunkan dalam bahasa Sansekerta, diselingi suara gedigan ujung tongkat di tangan kanan maharsi ke lantai panggung, disusul bunyi gemerincing puluhan giring-giring kecil diujung atas tongkat itu saat digetarkan.
Kecuali sang maharsi yang berdiri di tanah lapang itu, semua yang hadir duduk bersimpuh dengan kedua lutut mereka di tanah. Saat sang maharsi melantunkan doa dan mantra, semua yang hadir menguncupkan kedua telapak tangan di atas kepala. Mereka melakukan Sembah Mustaka, sebagai wujud bakti mereka kepada Hyang Widhi.Â
Kawula Maja Dhuwur semua sudah mengenal dan meyakini kebenaran ajaran Tri Sembah Asta itu. Sejak kecil telah diajarkan turun temurun oleh orang tua mereka. Dan dipraktekkan setiap saat dalam kehidupan.
Sembah pertama untuk Hyang Widi pencipta alam semesta. Pelaksanaannya seperti yang mereka lakukan kini, menguncupkan kedua telapak tangan di atas mustaka atau kepala. Sembah itu wujud bakti mereka kepada Sang Mahaatma. Sembah ini sering dilakukan saat melakukan puja di pura dalam kebaktian rutin. Juga saat melakukan puja sukur bersama di acara metri desa.