Meski ketiganya sudah gontai jalannya, sepecak demi sepecak mereka melangkah. Ki Singa Maruta mengajak temannya ke sebuah bangunan khusus di belakang balai utama padepokan.Â
Ki Singa menarik tali yang mengelawer di depan pintu bangunan itu. Terdengar genta logam berbunyi. Sebentar kemudian nampak seorang wanita membuka pintu, dan mempersilahkan para tamunya masuk.
Tiga lelaki yang telah berusia setengah abad lebih itu menerobos pintu. Â Beberapa wanita cantik segera menyambut dan mengerubuti mereka, dan menuntun masing masing lelaki itu memasuki kamar. Wanita wanita genit itu riuh cekikikan membuka pakaian lelaki-lelaki tua setengah mabuk itu.
Dan entah apa yang terjadi selanjutnya.
Saat itu Sembada dan Sekar Arum telah berhasil menerobos hutan Lodhaya. Mereka mendekati tempat di mana padepokan lodhaya berada. Sembada tercengang menyaksikan betapa padepokan itu besar sekali.
Sebuah bangunan besar berada di tengah bangunan-bangunan kecil yang berderet-deret melingkarinya. Halaman yang sangat luas berada di antara bangunan besar dan deretan bangunan-bangunan itu. Bangunan besar itu tentu balai utama, tempat tinggal ki Singa Maruta. Sedang deretan bangunan kecil-kecil yang jumlahnya puluhan itu tempat para cantrik.
Terdapat beberapa gardu penjagaan yang ditunggu beberapa cantrik di beberapa tempat. Terutama di setiap lorong jalan masuk padepokan itu. Kecil kemungkinan orang asing masuk tanpa di ketahui. Karena akan cepat dikenali sebab pakaian mereka tentu berbeda. Semua cantrik hanya memakai cawat putih, dan bersenjata pedang.
Di belakang bangunan itu terhampar sawah dengan tanaman padi. Padepokan itu ternyata mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Terbukti tanaman padi tumbuh subur di sawahnya.
Semua bisa disaksikan Sembada dari atas sebuah pohon. Gelapnya malam di padepokan itu dihalau banyaknya obor yang menyala di sana.
Setelah selintas mengamati padepokan lodhaya dari sisi barat, Sembada dan Sekar Arum bergeser ke arah selatan. Mereka segera bersembunyi di balik pohon, ketika terdengar suara kerumunan orang berteriak-teriak marah. Pelan-pelan mereka mendekat, sambil tetap berusaha berlindung di balik pepohonan.
Nampak gerombolan orang itu menggiring seorang lelaki asing menuju gardu perondan. Sembada segera mengenali lelaki pesakitan itu adalah prajurit telik sandi. Kelihatan dari ciri warangka keris gayaman yang ia pakai, serta letak memakainya. Lelaki itu tak lagi mampu melawan karena kedua tangannya terikat.