"Aku ikut kakang Sembada. Aku bisa jadi petunjuk jalan. Karena aku telah dua kali mengelilinginya." Kata Sekar Arum.
"Ahhh, niatmu bukan jadi petunjuk jalan, Sekar. Tapi hanya ingin selalu dekat dengan Sembada." Nyai Rukmini meledeknya.
"Ahh guru. Jangan membuatku malu."kata Sekar Arum merah mukanya. Sembada tersenyum melihatnya.
"Baiklah Arum. Daripada aku mencari-cari jalan sendiri, lebih baik ada petunjuk jalan. Kita bisa saling tukar pendapat untuk membuat perencanaan nanti." Kata Sembada.
Sekar tersenyum lega. Keinginannya selalu dekat dengan Sembada, sebagaimana telah ditebak isi hatinya oleh Nyai Rukmini, mendapat respon pemuda itu.
Akhirnya mereka membuat kesepakatan apa saja yang akan mereka lakukan malam itu.
Sementara itu di balai utama padepokan Lodhaya, ki Singa Maruta yang lebih tersohor dengan julukan Singa Lodhaya, tengah menemui tamunya.  Mereka adalah Cucak Arga guru Gagak Ijo dan Klabang Gede guru Klabang Ireng. Ketiganya sedang menunggu kedatangan teman mereka pendekar pincang dari lereng Semeru  Bonge Kalungkung.
Seorang wanita yang juga berpakaian pendekar tengah memimpin beberapa cantrik untuk menghidangkan suguhan bagi para tamunya. Ia adalah Macan Belang betina anak tunggal ki Singa Maruta, yang pernah terluka dadanya oleh pedang Sekarsari dalam pertempuran di padang ilalang kademangan Majaduwur.
Rupanya luka di dada yang cukup dalam itu kini sudah sembuh. Terbukti ia sudah mampu bergerak bebas dan memimpin para cantrik.
"Tuaknya mana, Genduk ?" Singa Maruta bertanya pada anaknya.
"Sebentar ayah. Cantrik-cantrik kerjanya lamban sekali ini."jawab Macan Betina yang sehari-hari dipanggil Genduk oleh ayahnya.