Di selatan masjid terpampang sepanduk berjajar- jajar. Bergambar anak- anak membaca, di antara deretan tulisan puluhan paragraf, mengelilingi bangunan kecil bertembok batu.  Inilah  perpustakaan itu. Sangat sederhana.
Tempatnya sangat tersembunyi, di bawah rumpun bambu yang lebat. Pohon-pohon besar mengelilinginya. Di depan bangunan rumah dua atap terdapat tempat untuk gelaran acara seni, dengan latar sepanduk yang sangat lebar.
Namun sayang, perpustakaan itu tutup. Â Demikian juga rumah hunian yang gandeng dengannya.
Balik jalan apa lanjut ? Â Perang batin gemuruh di dada. Balik jalan sayang. Mau lanjut pasti akan ganggu orang. Saat puasa, jam segini enak-enaknya orang tidur.
Akhirnya kupilih lanjut saja.
Kuketok pintu rumah hunian. Namun terdengar pintu perpustakaan yang dibuka. Muncul lelaki muda kuning gemuk memperlihatkan senyumnya. Aku uluk salam.
Usai jabat tangan aku dipersilakan masuk. Mataku disambut deretan buku di rak kayu yang rapi tertata. Mungkin jumlahnya ribuan. Â Sungguh aku tercengang.
Namanya Ahmad Ikhwan Susilo.  Dari namanya mudah ditebak, ia lahir di keluarga Jawa pemeluk Islam. Masyarakat Jambu sendiri sebenarnya bukan masyarakat Islam yang taat. Tradisi pondok pesantren melekat kuat hanya pada kelompok  kecil saja, minoritas.
Banyak remaja Jambu yang masuk kelompok rentan. Mereka telah terpapar budaya miras, balap liar bahkan narkoba. Pernah kejadian di desa ini 3 remaja mati karena miras.
Terkait budaya baca kelompok minoritas ini diperoleh dari sekolah sekolah berbasis agama. Pondok pesantren, madrasah diniyah, atau sekolah sekolah keagamaan yang lain. Mereka punya bekal kebiasaan tadarus Alqur'an, sema'an, diba'an, barjanzi, dan mbalah. Tradisi ini terwariskan dari generasi-ke generasi.