Wanita itu sudah uzur. Â Jalannya sudah nggak tegak lagi. Namun semangat kerjanya tetap membara. Â Ia tak ingin bergantung kepada siapapun. Â Jika mungkin semua kebutuhannya ia cukupi sendiri.
Mbok Mirah namanya. Â Tinggal di kampung Dalem. Â Menempati sebidang tanah sempit milik juragan Karya. Â Cukup untuk membangun sebuah rumah kecil, tempat ia berteduh.
Seperti Mbok Mirah, rumah itupun sudah tak tegak lagi. Â Agak miring ke kiri. Â Salah satu tiangnya di makan rayap. Â Agar tetap berdiri, dan dapat ditinggali, terpaksa harus di tahan dengan beberapa batang bambu. Â Rumah itu sampai kini masih bertahan, tidak roboh. Persis seperti Mbok Mirah yang masih bertahan dalam kesendiriannya.
Suaminya telah lama pergi. Â Meninggalkan dirinya dengan seorang bayi yang masih merah. Ia rawat peninggalan berharga suaminya itu sampai lulus SMK. Â Ia berharap kepadanyalah nanti ia menggantungkan hidupnya di hari tua. Â Tapi harapan itu kian hari kian memudar. Namun semangatnya untuk hidup mandiri kian menyala.
Masih terbayang dalam ingatan, ketika Badrun anak semata wayangnya pamit hendak merantau ke Jakarta. Â Setelah selesai kursus di Balai Latihan Kerja di kotanya, ia dipanggil sebuah bengkel yang membutuhkan tenaganya. Â Meski berat ditinggal pergi anaknya, Mbok Mirah merestui. Â Sebelum berangkat Badrun diminta tidur telentang di lantai. Â Mbok Mirah melangkahi tubuhnya tiga kali. Â Hatinya memohon Sang Pencipta agar selalu melindungi keselamatan anaknya.
Sampai kini sudah lima belas tahun Badrun tidak ada kabar beritanya. Â Sejuta pertanyaan menggelisahkan hati Mbok Mirah. Bagaimana nasib anaknya hidup di kota. Kenapa ia tidak pernah pulang ke rumah, menjenguk simboknya, meski sehari ? Â Sudah berhasilkah hidupnya di sana ? Â atau jangan-jangan iapun sudah mati ? Â Semakin Mbok Mirah memikirkan anak semata wayangnya, semakin gelisah hatinya. Â
"Sudahlah Mbok, jangan lagi di pikirkan.  Ibarat sebuah pohon yang telah jatuh buahnya, dan buah itu hanyut terbawa air entah kemana, si pohon tetap tegar dengan hidupnya.  Daunnya tetap melambai  oleh belaian angin semilir.  Iapun tetap tersenyum disapa sinar mentari pagi."  Kata tetangganya yang sering menemani kesendirian Mbok Mirah.
"Mana bisa to Sri ? Â Masa orang disamakan dengan pohon ? Â " Jawabnya.
"Ya memang tidak sama. Â Hanya ibarat saja." Â Kata Sriatun.
"Tapi ya sudahlah. Â Aku memang harus belajar ikhlas. Â Sudah kodrat orang tua, suatu saat akan ditinggal anaknya pergi. Â Apakah karena kerja, atau sudah berkeluarga sendiri."
"Lhaa itu sudah tahu, Mbok. Â Makanya sekarang happy saja."
"Apa itu happy ? " Â Tanya Mbok Mirah sambil mengkerutkan dahinya.
"Kata anakku. bahagia. Yah bahagia saja mbok. Â Entah bagaimana caranya. Â Pokoknya bahagia."
Sejak saat itu Mbok Mirah tidak lagi banyak mengingat anaknya. Hari-harinya ia isi dengan kerja, kerja, kerja. Â Entah apa saja yang dikerjakan. Â Pokoknya kerja, untuk mengalihkan pikiran dan perasaan tentang nasib anaknya.
Selesai sholat subuh di Mushola Kyai Kasmarli, ia bergegas pulang. Â Seperti biasa ia bersihkan halaman dengan sapu tua yang lidi-lidinya sudah memendek. Â Beberapa batang rumput ia cabut. Â Ia sorong dengan sapu itu masuk lubang sampah.
Dua ekor burung Prenjak menyanyi riang di dahan pohon kersen di pojok halaman. Â Mbok Mirah tersenyum mendengarnya. Â Selang sesaat dua ekor lagi datang. Â Maka ramailah halaman rumah Mbok Mirah yang sempit itu dengan ocehan mereka.
"Kata orang, jika si prenjak datang, pertanda bakal ada tamu. Â Siapa juga yang akan bertamu ke rumahku ?" ujarnya dalam hati.
Ketika matahari telah naik di punggung bukit Mbok Mirah telah berjalan menyelusuri tanggul sawah. Â Pagi itu juragan Karya panen cabe. Â Ia harus ikut membantu kerja. Â Sama sekali tak berharap bakal dapat upah. Â Karena selama ini ia telah tinggal menempati pekarangannya.
Namun juragan Karya orang baik. Â Meski hasil kerjanya sedikit, selalu ia mendapatkan upah. Â Bahkan kadang disamakan dengan mereka yang masih muda-muda. Â
Menjelang dzuhur petik cabe usai. Â Meski haus Mbok Mirah tetap bertahan. Â Sayang ia dengan puasanya. Â Kalau bisa ia lakukan kewajiban satu ini tuntas sebulan. Â Agar tak ada setitik rasa kurang hinggap di hatinya saat lebaran datang.
Ketika ia selesai wudhu hendak jalankan sholat dzuhur, terdengar suara mobil masuk halamannya. Â Seorang wanita menggendong anak dengan selendang turun lewat pintu depan mobil. Â Bayi dalam gendongannya nampak tidur pulas. Â Seorang anak laki-laki usia tujuh tahunan keluar dari pintu belakang.
Lelaki pendek gemuk turun dari pintu stang. Â Ia menarik nafas dalam. Â Ia pandangi rumah di depannya dengan mata mengeriyip. Rumah yang ditinggalkannya lima belas tahun lalu kini miring. Â Disongkok empat batang bambu agar tidak roboh.
"Sadli !!! Inilah rumah nenek." Katanya memberi tahu kepada anak laki-lakinya."
Anak itu berdiri diam di depan rumah kecil dari bambu itu. Â Dengan sedekapkan tangan ia amati rumah neneknya. Iapun mengeriyipkan dahinya.
"Rumah nenek jelek sekali ayah. Â Mau roboh lagi." Ujarnya.
Ayahnya diam. Â Ada segores rasa bersalah dalam hatinya. Â Lama sekali ia tidak menjenguk emaknya.
Mbok Mirah keluar kamar. Â Urung menjalankan sholat dzuhur. Â Ia lepas mukenanya. Â Kemudian berjalan bertatih tatih menuju pintu depan. Â Ia mengangakan mulutnya saat melihat tamu di depan rumahnya.
Badrun segera lari dan jongkok di depan emaknya. Â Ia rangkul kedua kaki emaknya. Ia sembunyikan wajahnya di lutut emaknya. Ia menangis. Â Di antara sedu sedannya ia memohon maaf kepada emaknya yang telah kelihatan sangat tua itu. Â
Kedua mata Mbok Mirahpun basah. Â Beberepa tetes air mata jatuh menetes di rambut Badrun. Â Mulutnya bungkam, menahan isak tangisnya yang menekan.
Sadli dan ibunya melihat pemandangan itu dengan terpana. Keduanya terharu melihat anak dan emak itu bertemu. Merekapun menangis. Â Mbok Mirah mengusap-usap kepala Badrun. Â Diangkatnya tubuh gemuk itu agar berdiri. Â Kini Mbok Mirah yang melongo. Â Anaknya yang dulu kurus saat pamit pergi merantau. Â Kini jadi gemuk dan gagah.
"Mbok.  Ini menantumu. Namanya Surti.  Gadis dari Banten. Tapi sekarang ikut aku di Jakarta.  Dan ini oleh-oleh buat simbok.  Dua cucu yang ganteng dan cantik."
Mbok Mirah menatap wajah menantunya. Â Wanita cantik itu mengangguk hormat. Â Dengan membungkuk ia menyambut uluran tangan Mbok Mirah dengan kedua tangannya. Â Jemari wanita tua itu diciumnya. Â
Sadli mengikuti ibunya. Â Dengan dua tangan pula menerima salam dari neneknya. Â Tangan keriput itu juga diciumnya. Â Ia diam saja ketika wanita tua itu merangkulnya dan mengucurkan air mata.
"Alhamdulillah, alhamdulillah. Aku sudah punya cucu." Ia belai kepala dan pipi anak lelaki itu.
"Namanya Sadli Nek. Dan adiknya Sari. Ia masih pulas tidurnya." Ujar Badrun.
Mbok Mirah melihat Sari. Ia belai rambut dan pipinya juga. Kemudian ia mengawasi anaknya.
 "Ternyata kau sehat-sehat saja. " Kata Mbok Mirah.
"Maafkan aku Mbok. Â Aku lalai memperhatikan simbok. Â Sampai rumah akan ambruk seperti ini. Â Selalu aku tunda-tunda keinginan pulang. Menikahpun tanpa sepengatuhan simbok." Kata Badrun sambil menunduk. Tatapan mata emaknya menghujam hatinya.
Mbok Mirah menarik nafas dalam. Tak habis-habisnya bibir tua itu mengucap syukur.
"Nggak apa-apa.  Semua sudah berlalu.  Sekarang semua doaku telah dijawab Tuhan.  Ramadan ini aku dikucuri berkah.  Bisa ketemu kau, menantuku yang cantik dan cucu-cucuku tampan dan canti juga."Â
Badrun merangkul emaknya. Â (Wahyudi Nugroho)
Pare, 25 Maret 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H