"Sadli !!! Inilah rumah nenek." Katanya memberi tahu kepada anak laki-lakinya."
Anak itu berdiri diam di depan rumah kecil dari bambu itu. Â Dengan sedekapkan tangan ia amati rumah neneknya. Iapun mengeriyipkan dahinya.
"Rumah nenek jelek sekali ayah. Â Mau roboh lagi." Ujarnya.
Ayahnya diam. Â Ada segores rasa bersalah dalam hatinya. Â Lama sekali ia tidak menjenguk emaknya.
Mbok Mirah keluar kamar. Â Urung menjalankan sholat dzuhur. Â Ia lepas mukenanya. Â Kemudian berjalan bertatih tatih menuju pintu depan. Â Ia mengangakan mulutnya saat melihat tamu di depan rumahnya.
Badrun segera lari dan jongkok di depan emaknya. Â Ia rangkul kedua kaki emaknya. Ia sembunyikan wajahnya di lutut emaknya. Ia menangis. Â Di antara sedu sedannya ia memohon maaf kepada emaknya yang telah kelihatan sangat tua itu. Â
Kedua mata Mbok Mirahpun basah. Â Beberepa tetes air mata jatuh menetes di rambut Badrun. Â Mulutnya bungkam, menahan isak tangisnya yang menekan.
Sadli dan ibunya melihat pemandangan itu dengan terpana. Keduanya terharu melihat anak dan emak itu bertemu. Merekapun menangis. Â Mbok Mirah mengusap-usap kepala Badrun. Â Diangkatnya tubuh gemuk itu agar berdiri. Â Kini Mbok Mirah yang melongo. Â Anaknya yang dulu kurus saat pamit pergi merantau. Â Kini jadi gemuk dan gagah.
"Mbok.  Ini menantumu. Namanya Surti.  Gadis dari Banten. Tapi sekarang ikut aku di Jakarta.  Dan ini oleh-oleh buat simbok.  Dua cucu yang ganteng dan cantik."
Mbok Mirah menatap wajah menantunya. Â Wanita cantik itu mengangguk hormat. Â Dengan membungkuk ia menyambut uluran tangan Mbok Mirah dengan kedua tangannya. Â Jemari wanita tua itu diciumnya. Â
Sadli mengikuti ibunya. Â Dengan dua tangan pula menerima salam dari neneknya. Â Tangan keriput itu juga diciumnya. Â Ia diam saja ketika wanita tua itu merangkulnya dan mengucurkan air mata.