Sembada melangkahkan kakinya dalam tatapan mata beberapa orang di depan pintu dapur  rumah ki demang.
Sejak saat itu Sembada sering datang ke rumah ki Demang Majaduwur. Â Kadang ia membawa sepikul kayu bakar, kadang menawarkan rumput untuk makan kuda. Â Dari sana Sembada memperoleh penghasilan untuk kesejahteraan hidup keluarganya.
Ki Demang Sentika diam-diam mengawasi gerak-gerik pemuda itu. Â Ia semakin penasaran untuk mengetahui jatidirinya. Â Jika ia tidak waspada, dan kecurigaan Handaka benar, sangat berbahaya bagi keselamatan warganya.
Suatu hari ia menyuruh salah seorang pengawalnya untuk memanggil pemimpin pemuda dari Majalegi dan bekel dusun itu untuk menghadap dirinya. Â Ketika kedua orang itu hadir menemuinya segera ia melayangkan berbagai pertanyaan menyelidik.
"Ki Bekel dan kau Sambaya, apakah kalian kenal warga barumu bernama Sembada ?"
Keduanya mengangguk bersamaan.
"Iya Ki Demang kami mengenalnya. Â Aku sendiri telah datang menemuinya bersama Kartika. Â Kami berdua penasaran kedatangan seorang pemuda yang ciri-cirinya sama dengan pemuda yang pernah menolong kami di hutan Waringin Soban."
"Handaka juga pernah bercerita kepadaku, ia ikut bertempur dengan anak buah Gagakijo yang mencegat kalian di hutan Waringin Soban. Â Tetapi anehnya sikap Handaka justru curiga terhadap niat pemuda itu datang ke Majaduwur sini"
"Apa alasan Handaka Ki Demang ?"
"Pemuda itu hanya berpura-pura ikut pertempuran membantu kalian. Â Agar kalian menganggapnya sebagai pahlawan yang telah menyelamatkan kalian. Â Tapi sebenarnya ia telah sepakat dengan Gagakijo dan anak buahnya, agar mereka kabur dari arena pertempuran. Â Selanjutnya pemuda itu akan leluasa di sini mencari keterangan berbagai kelemahan di Kademangan Majaduwur."
"Tapi dalam pertempuran itu, menurut tanggapanku iapun sungguh-sungguh. Â Memang ia bergerak seperti orang yang tak paham ilmu kanuragan, tongkatnya dipeganginya dengan kedua tangan dan digerakkan secara sembarangan menyerang lawan=lawannya. Â Banyak anak buah Gagakijo yang meloncat mundur setelah tergebuk tongkatnya. Â Ada yang punggungnya kena pukulan, dada dan perut kena sabetan, dan seorang kakinya pincang terserampang tongkat bambu itu. Â Beberapa pedang lepas dari tangan anak buah Gagakijo setelah berbenturan dengan tongkatnya."
Ki Demang manggut-manggut mendengarkan cerita tambahan dari Sembaya. Â Ia tidak mendengar cerita semacam itu dari mulut Handaka anaknya.
"Bagaimana gerak-gerik anak itu di dusun Majalegi ? Â Apakah ada yang mencurigakan ?"
"Tidak Ki Demang. Â Pemuda itu amatlah rajin dan perilakunya sangat sopan. Â Sejak ia hidup bersama janda miskin bernama Mbok Darmi itu, kehidupan wanita itu segera berubah. Â Halaman rumahnya nampak bersih terawat. Â Tidak lagi ditumbuhi tanaman-tanaman liar tak berguna. Â Namun telah berganti dengan sayur mayur dan ketela yang bisa diambil mamfaatnya. " Â Jawab Ki Bekel.
"Banyak emak-emak yang bertandang ke rumah Mbok Darmi.  Mereka memuji pemuda yang tampan itu, kecuali  sopan dan rajin.  Bahkan ada yang bilang jika punya anak perempuan ingin sekali mengambil sebagai menantunya."  Lanjut Ki Bekel Majalegi.
Ki Demang Sentika mendengarnya dengan penuh perhatian.
"Pekerjaannya kalau pagi mencari kayu untuk persediaan kayu bakar di rumah. Â Konon juga dijual ke tetangga-tetangganya. Kalau siang mencari ikan dengan jala di sungai. Â Hasilnya jadi barang dagangan simboknya di pasar." Â Imbuh Sambaya.
Ki Demang semakin tertarik dengan pemuda itu.
"Jadi kesimpulan kalian pemuda itu tidak berbahaya bagi keselamatan kademangan kita ?"
Kedua orang tamunya bersamaan menganggukkan kepalanya.
"Belum kami temukan tanda-tanda yang mencemaskan Ki Demang." Â Jawab Ki Bekel.
"Tapi anehnya dia tidak mau aku tawari menjadi anggota pasukan pengawal. Â Ia memilih ingin menjadi anggota barisan pagar dusun saja."
Ki Demang mengangguk-angguk.
"Jika tidak mau tidak apa-apa. Â Jadi anggota barisan pagar dusun sama saja. Â Dia bisa menambah kekuatan yang dapat menjaga keselamatan desa kita."
Setelah mendengar keterangan Ki Bekel Majalegi dan pemimpin pemuda dusun itu, Ki Demang semakin tertarik untuk menguak jatidiri sebenarnya dari pemuda itu. Â Ketika ia melihat anak muda bernama Sembada itu bertarung dengan anaknya, ada ciri-ciri gerak jurus sebuah perguruan terkenal yang dilihatnya. Â Pemuda itu jelas tidak bertempur sepenuh hati, ia hanya menangkis, menolak dan menghindar dari setiap serangan yang dilancarkan anaknya dengan sungguh-sungguh.
"Air tenang memang bisa menghanyutkan. Â Aku semakin tertarik untuk menjajagi kemampuannya" Â Bisik hati ki Demang Sentika pemimpin kademangan yang subur di wilayah timur negeri Medang yang telah runtuh itu.
Dari Sekarsari keponakan yang akan ia jodohkan dengan Handaka anaknya, Ki Demang juga memperoleh keterangan. Bahwa nama Sembada dikenal Sekarsari sebagai teman bermainnya saat ia masih kecil. Â Ia anak dari emban pamomongnya bernama Mbok Kenanga, istri dari seorang pemimpin pengawal katumenggungan bernama Wirapati.
"Jadi apakah ia tengah mencari anak majikan bapak ibunya yang hilang ? Datang ke kademangan ini dengan menyamar sebagai anak Mbok Darmi, janda miskin dusun Majalegi ? Â " Â Berbagai pertanyaan berputar di kepala Ki Demang Majaduwur tentang pemuda itu.
Iapun telah mendapat keterangan dari petugas khusus yang diperitahnya untuk mengamati kebiasaan pemuda itu di malam hari.  Dalam seminggu ia dua kali berada di gardu perondan, bergaul dengan anak-anak muda Majalegi.  Dalam saat tertentu ia nampak keluar rumah, dari suatu jarak  petugas membututinya , namun ketika ia berkedip dalam sekejab, ia telah hilang tak tahu pergi kemana.
"Nampaknya ia memang pemuda yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi Ki Demang.  Pernah suatu saat aku mengetahuiinya keluar rumah, namun ketika aku mencoba mengikutinya dari jarak tertentu, ia tiba-tiba menghilang.  Aku cari-cari di sekitar tempat itu sudah tak ada.  Baru pagi harinya aku melihat  dia sudah membersihkan halaman rumah."  Kata petugas utusan Ki Demang.
"Baiklah, sementara tugasmu sudah selesai. Â Jangan kau sebarkan apa yang kau ketahui kepada siapapun."
"Baik Ki Demang."
Berbekal keterangan-keterangan itulah pada suatu malam yang gelap, Ki Demang keluar dari rumahnya untuk mencari Sembada. Â Ia memakai pakaian serba hitam, dengan tutup wajah kain hitam pula mengamati rumah Mbok Darmi dari kejauhan.
Ketika ia melihat Sembada keluar dari halaman rumah dan berjalan di malam sepi itu, ia mengikutinya dari belakang. Ketika pemuda itu tiba-tiba menoleh, Ki Demang melempar sebuah pisau dengan cepatnya.
Sembada yang waspada dibuntuti seseorang dan mendengar sebuah benda meluncur ke arah dirinya segera meloncat kesamping dan bergulingan di tanah. Â Sejenak ia melenting berdiri, di tangannya telah tergenggam sebuah batu sebesar kepalan tangan. Â Iapun membalas lemparan pisau pembuntutnya dengan batu.
Demikian cepatnya batu itu melayang. Â Namun ternyata pembuntutnya juga orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Bayangan serba hitam itu melenting tinggi ke atas, menghindari sambaran batu Sembada. Â Bayangan itu berbalik dan melarikan diri setelah meninggalkan pesan dengan suara yang menggetarkan dada.
"Aku tunggu kau di tanah lapang dekat  rawa pandan."
Sembada tertegun sejenak. Â Malam ini ia ingin ikut ronda bersama teman-temannya. Â Sama sekali ia tidak membawa senjata apapun. Â Tongkat dan cambuknya ia tinggalkan di rumah. Â Sembada berpikir sejenak, apakah ia harus mengambil salah satu senjata itu ? Â Akhirnya ia pulang mengambil cambuknya.
Sembada kemudian berjalan kearah rawa pandan yang ada di dusun Majalegi. Â Di dekat rawa itu memang ada tanah lapang yang dapat dipakai untuk bertempur. Â Lelaki yang membuntutinya telah menantangnya untuk bertempur di sana.
Dengan ilmu peringan tubuhnya yang matang sebentar saja ia telah sampai di tanah itu. Â Di sana telah berdiri dengan gagahnya calon lawannya, yang membokong dirinya dengan lemparan pisau. Â Ia sangat marah dengan pembokong semacam itu. Â Perilakunya pertanda bahwa orang itu tidak menghargai sifat ksatria.
Dua bayangan hitam dalam gelap malam sudah berhadapan. Mereka saling pandang untuk menilai lawan satu sama lain.
"Bersiaplah sebentar lagi kau tinggal nama yang dikenal di dusun ini."
"Aku tidak mempunyai persoalan apapun denganmu, kenapa kau berani bersikap tidak kesatria membokongku dengan lemparan pisau."
"Persetan. Â Apa peduliku dengan sikap yang cengeng itu. "
Lelaki berbaju serba hitam dan bertutup wajah segera menyerang Sembada. Â Gerakannya cepat keras dan mantap. Sambaran tangannya diikuti suara angin yang menderu. Sembada segera membangkitkan tenaga dalamnya untuk melindungi tubuhnya dari setiap sambaran tangan lawannya.
Sembada masih mencoba berhati-hati  untuk melakukan perlawanan sepenuhnya.  Namun lawannya seolah sudah tidak mengekang dirinya lagi.  Ia hujani Sembada dengan serangan-serrangan dahsyat yang mematikan.
Namun beberapa lama mereka bertempur belum satupun yang berhasil mengenai lawannya. Â Sambaran tangan dan tendangan senantiasa bisa dihindari dengan baik oleh lawannya. Â Hingga keduanyapun meningkatkan tenaga cadangan mereka masing-masing.
Pertempuran kian bertambah seru. Â Keduanya bergerak seperti bayangan burung sikatan yang saling menyambar. Â Tanah di bawah mereka seperti teraduk oleh angin lesus yang mengamuk. Â Bebatuan terlontar dari tempatnya.
Hingga akhirnya bayangan serba hitam itu melontar mundur, ketika ia berdiri dengan kokohnya di atas tanah, ditangannya telah tergenggam sebilah keris yang menyala. Â Sembada termangu-mangu melihat pemandangan itu. Â Akankah ia harus mengeluarkan cambuknya ?
"Ambil senjatamu jika kau membawanya."
"Kita tidak punya persoalan apapun, kenapa kita bertempur mempertaruhkan nyawa "
"Tidak ada persoalan menurutmu. Â Menurutku ada segunung persoalan di antara kita."
Sembada mengeluarkan cambuk dari balik bajunya. Â Melihat benda itu nampak bayangan hitam itu terkejut. Â Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Â Ia akan melakukan serangan habis-habisan, untuk mengetahui seberapa tinggi ilmu pemuda itu.
Sejenak kemudian kembali terjadi pertempuran yang seru. Bahkan lebih dahsyat dari sebelumnya. Â Kini sebuah keris yang menyala-nyala bergerak-gerak dengan cepatnya di antara putaran dan ledakan cambuk yang keras seperti petir. Keduanya berganti-ganti desak mendesak.
Sembada meningkatkan perlawanannya. Â Ia bangkitkan ilmu peringan tubuhnya untuk segera dapat menguasai lawannya. Agar dia segera tahu siapa jatidiri lawannya itu. Â Namun beberapa saat ia menggunakan ilmu peringan tubuh itu, dan sedikit demi sedikit dapat mendesak bayangan hitam itu, tiba-tiba terdengar suara tertawa yang menggetarkan isi dada mereka.
"Sembada dan Sentika hentikan pertempuran kalian. Â Tidak ada gunanya kalian berkelahi."
Sembada dan bayangan hitam yang disebut namanya Sentika itu segera melontar mundur saling berjauhan. Â Sembada berdebar-debar. Â Ternyata yang menyatroninya adalah Demang Majaduwur, Sentika.
"Jika dilanjutkan pertempuran ini justru kaulah Sentika yang akan meregang nyawa."
Kata pendatang baru yang berpakaian serba putih dan bersorban itu. Â Pandangan dua orang yang baru berlawanan itu sangat tajamnya, sehingga tahu bahwa pendatang itu adalah kakek-kakek yang sudah tua.
"Kenapa kau mencampuri urusanku kakek tua  ?"
"Tindakanmu yang gegabah, hendak memangkas tunas muda yang baru tumbuh, harus aku hentikan. Â Meski aku yakin kau tidak akan menang melawannya."
"Belum terbukti aku kalah. Â Tapi aku mengakui kehebatannya."
"Sudahkah kau mengenali keseluruhan ilmunya. ?"
"Sudah, aku yakin ia anak murid Kakang Menjangan Gumringsing.  Tapi aneh, ilmunya jauh lebih tinggi dibanding ilmu  kakang senapati dari kulon itu."
"Hahaha.  Ternyata matamu tidak rabun.  Memang ilmunya jauh lebih tinggi dari gurunya.  Karena Ia telah mewarisi semua ilmu dari perguruan Naga Geni.  Cambukkupun telah aku wariskan kepadanya, sebagai pertanda pemegang tongkat  generasi penerus ilmu cambuk Naga Geni."
"Jika cambuk itu telah kau wariskan kepadanya, berarti dia telah mampu melakukan syarat-syaratnya. ?"
"Ya, Sentika.  Ia telah mampu meraga sukma.  Dan telah mendapat petunjuk dari guru sejatinya untuk melontarkan tenaga sakti  Tapak Naga Angkasa.  Dari tangannya atau ujung cambuk dapat terlontar cahaya putih kebiruan laksana kilat petir.  Apapun yang dikenainya pasti hancur.  Apalagi tubuhmu atau tubuh Handaka anakmu yang rada songong itu"
"Hebat.  Aku memang penasaran terhadapnya. Kakang Kidang Gumelar  Semakin aku tingkatkan ilmuku melawan dirinya, rasa-rasanya aku memang tidak mampu menggapainya."
"Ketahuilah Sentika. Â Anak inilah yang aku gadang-gadang menjadi senapati legendaris di negeri ini kelak. Janganlah kau mengganggunya. Â Ia hadir di sini hanya diperintah gurunya untuk meyakinkan keberadaan gadis putri majikan bapak ibunya."
"Jadi benar ia anak emban pamomong Sekarsari dan Sekararum, putra Wirapati pemimpin pasukan pengawal katumenggungan Gajah Alit ?."
"Ya, benar. Â Tapi jangan buka rahasia itu kepada siapapun. Sebelum tugas yang diembannya tuntas. Â Iapun mendapat perintah melacak keberadaan Songsong Tunggul Naga yang hilang itu."
Mendengarkan perbincangan kedua orang itu yang menyangkut dirinya Sembada diam saja. Â Sepatahpun ia tidak menanggapinya. Â Namun ia heran Demang Sentika ternyata sudah mengenal Ki Ardi, kakek tua yang telah mewariskan cambuk sakti yang diberi julukan Cambuk Nagageni.
"Nah Sentika, sampai di sini saja pertemuan kita. Â Sekali lagi jangan kau lanjutkan usahamu menjajagi ilmu Sembada. Â Kau akan tenggelam sendiri menyaksikan kedalamannya. Â Sembada dialah Sentika, paman gurumu. Â Ia adik seperguruan Menjangan Gumringsing yang telah banyak mencampur adukkan ilmunya dengan ilmu lain, hingga tidak karuan wujudnya."
Sembada membungkukkan badannya memberi hormat kepada Ki Ardi dan Ki Sentika. Â Kakek tua itu kemudian tiba-tiba lenyap entah kemana ia melayangkan tubuhnya. Â Ki Sentika terlihat geleng-geleng kepala.
"Sembada sampai di sini usahaku mengenalmu. Â Baik-baiklah kau tinggal bersama simbok angkatmu. Â Aku tidak akan lagi mengganggumu."
Ki Demang Majaduwur itupun meloncat dan pergi meninggalkan tanah lapang dekat rawa-rawa pandan di dusun Majalegi itu.
Sembada ditinggal sendirian di malam gelap. Â Segera ia lingkarkan cambuk sakti warisan kakek tua Ki Ardi, alias Senapati Kidang Gumelar, pendekar legendaris jaman Prabu Darmawangsa berkuasa itu.
Angin malam membelainya dengan hawa dingin menggigit tulang. Â Suara anjing hutan terdengar bersaut-sautan jauh di selatan sana. Â Nampaknya mereka telah menemukan mangsa untuk dijadikan makanan bersama kawan-kawannya di malam itu.
Di timur semburat warna emas menghiasi cakrawala.  Hari sebentar lagi berganti, untuk menjadi saksi  berbagai tingkah laku manusia penghuni  mayapada ini.
Sembada melangkahkan kakinya pulang ke rumah simbok angkatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H