"Ini pusaka yang akan aku berikan kepadamu. Â Dengan senjata lentur ini kau jauh lebih tidak berbahaya bagi lawan-lawanmu daripada kau tidak bersenjata. Â Kedua tanganmu lebih mematikan daripada cambuk ini." Terang kakek.
Kakek itu menyerahkan cambuk itu kepada si pemuda. Â Lelaki muda itu menerimanya dengan senang hati. Â Ia sudah tahu keberadaan pusaka itu. Â Tapi ia tidak mau mengambilnya tanpa ada persetujuan yang punya.
"Sedikit cerita tentang riwayat cambuk Naga Geni ini, agar kau mengetahui dari pewarisnya sendiri. Tidak mendengar kata orang yang menyebar di luar sana. Guruku, Ki Supala, mewarisi cambuk serta ilmunya dari seorang senopati zaman Mpu Sendok. Senopati itu bergelar Naga Wulung, yang mendapat ilmu silat dari seorang tawanan Kerajaan Mataram Hindu Kuno di Jawa Tengah.Â
Tawanan itu tidak mau menyebut namanya, takut kalau pendekar-pendekar di negerinya mendengar, dan mencarinya untuk membalas dendam. Tapi ia pernah menyebut gurunya sebagai pendekar bercambuk ekor ikan pari, bernama Liu Kong Pian."
Sembada mengangguk-anggukkan kepala. Ternyata jurus-jurus ilmu perguruannya berasal dari negeri asing.
"Tidak semua jurus-jurus ilmu cambuk Naga Geni dari negeri tirai bambu itu. Eyang Naga Wulung juga tidak memperoleh pusaka dari gurunya, ia membuat cambuk sendiri untuk melengkapi ilmunya.
Pembuatan cambuk itu disempurnakan oleh Ki Supala, guruku. Meski beliau semula hanya penggembala ternak di lereng gunung Sumbing, namun ia mengetahui banyak jenis serat yang bagus dan kuat. Cambuk Nagageni ini adalah hasil karyanya.".
"Saya mengucapkan beribu-ribu terima kasih kek. Telah mewariskan cambuk ini kepadaku." Kata Sembada.
"Tak perlu kau ucapkan terima kasih itu padaku. Kau telah berhasil menyadap seluruh ilmu Nagageni, cambuk itu hanya pelengkapnya saja." Kata Ki Ardi.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H