"Aku kira kau sudah mati dan jasadmu sudah dimakan belatung di sini. Â Ternyata kau berhasil mencuri ilmu yang tergambar di dinding goa itu anak muda. " Â Kata kakek itu selanjutnya.
Pemuda itu diam saja. Â Ia mencoba menggerak-gerakkan badannya yang terasa kaku. Â Setelah merasa kuat ia urai kakinya dari duduk bersila, lantas ia mencoba berdiri. Â Namun tiba-tiba ia akan jatuh, dengan sigap kakek tua itu menahan badannya.Â
Pelan kakek itu menuntunnya memasuki ceruk di goa itu, kemudian mengambil air dengan kedua tangannya, lantas ia meminumnya beberapa tegukan. Â Terasa sekali badannya segar kembali.
"Kau belum boleh makan sembarangan. Â Perutmu belum kuat menerima nasi. Â Ini aku bawakan pisang. Â Malam ini kau hanya bisa makan pisang saja. Â Besuk baru boleh makan nasi, tapi dalam bentuk bubur."
Pemuda itu mengangguk. Â Kakek itu memandanginya dengan bibir tersenyum. Â Ada rasa takjub dan bangga, menyaksikan pemuda itu mampu menggapai puncak ilmu dalam waktu kurang dari sebulan.
"Aku tidak lagi berani meledekmu sebagai pemuda tolol. Â Murid perguruan Cemara Sewu yang dungu. Â Karena terbukti dalam waktu kurang satu bulan kau tuntaskan usahamu menggapai puncak ilmu di goa ini. Â Kau akan jadi pemuda pilih tanding anak muda." Kata kakek itu.
Pemuda itu hanya mengangguk dan tersenyum. Â Ia masih sibuk makan pisang. Â Namun anehnya ia sama sekali tidak merasakan lagi kecewa dan marah kepada kakek tua itu. Â Tidak seperti tiga hari lalu, betapa ia marah hingga mengumpat-umpat. Seraya mengatakan bahwa kakek itu demit atau setan.
Bahkan kini ia merasa senang kakek itu datang lagi menjenguknya. Â Ia jadi tidak lagi kesepian, hidup sendiri di dalam goa.
"Setelah kuat, kita bertempur lagi. Â Aku ingin menguji sejauh mana ilmu dalam goa ini telah kau kuasai." Â Kata kakek itu menantang. Â Namun pemuda itu menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak mau. Â Aku tidak ingin mengadu ilmu dengan kakek lagi." Katanya.
"Kenapa ? Â Apakah kau takut akan dapat aku kalahkan.?" Â Tanya kakek itu.