GOA KITAB ILMU
(Oleh Wahyudi Nugroho)
Kakek itu menghentikan gerakannya. Â Ia berjalan menghampiri pemuda itu, kemudian berjongkok di sampingnya. Â Ia memeriksa punggung pemuda itu, tempat di mana ia kenai serangan. Â Ia gerakkan tangannya meraba punggung itu.
Namun tidak terasa ada luka baik luar maupun dalam yang akan membahayakan hidup pemuda itu. Â Ia menarik nafas panjang, melepas rasa kawatir dalam hatinya. Â Ia memang tidak berniat membunuh pemuda itu, hanya berusaha menjebaknya. Â Agar pemuda itu singgah sejenak di goa yang pernah ditinggalinya.
Ia segera beranjak dari tempat itu. Â Berjalan menuju mulut goa dari mana ia dan pemuda itu masuk. Â Ia menyentuh sebuah tali di depan mulut goa itu, maka berguguranlah tanah dan batu menutup pintu goa itu. Â Terdengar suara gemuruh sejenak di pagi yang cerah itu. Â Debu bertebaran di udara di ruangan tempat pemuda itu masih menelungkup di atas tanah.
Ketika angin semilir yang membawa hawa dingin bertiup, nampak pemuda itu bergerak-gerak. Â Pertama jari-jarinya, kemudian matanya terbuka. Â Segera ia menyadari bahwa dirinya tengah menelungkup di tanah. Â Segera ia mencoba untuk bangun, dan sambil duduk untuk mengamati keadaan.Â
Ia diamkan dirinya sejenak, berusaha mengurangi denyut  di kepalanya yang masih terasa pening.  Sebentar saja ia telah menyadari bahwa dirinya baru saja pingsan.  Iapun masih ingat bahwa ia jatuh karena serangan yang dilancarkan kakek tua yang menjadi lawannya bertarung.
Tapi di mana kakek itu ? Â Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Â Tak ada seorangpun manusia yang tertangkap oleh matanya di pagi hari yang cerah itu. Â Berarti orang itu telah pergi, dan dia tidak dibunuhnya. Â Tapi kemana barangnya ? Â Ia segera berdiri dan mencari-cari. Â Ternyata barang itu masih menggeletak di tempatnya seperti semalam.
Pemuda itu merasa terheran-heran, ia berpikir apa tujuan kakek itu menghadang dirinya ?  Hendak merampas barangnya ? Tentu tidak ! Barang itu masih berada di sini bersama dirinya. Ingin membunuhnya ? Pasti juga tidak, terbukti ia masih hidup, dan tak segorespun kulitnya terluka.  Namun pemuda itu masih merasakan sakit pada punggungnya yang dipukul dengan parang semalam.
Pemuda itu berdiri, menggerak-gerakan kaki dan tangannya sebentar, kemudian menggerak-gerakkan kepala. Â Ia raba punggungnya dengan tangan, tak ada luka sedikitpun di sana. Pasti kakek itu memukulnya dengan parang pada bagian yang tumpul.
"Ternyata kakek itu mampu mengalahkanku. Siapa dia ?" Bisik pemuda itu dalam hati.
Ia lantas berjalan menuju tempat di mana barangnya menggeletak. Â Ia ambil barang itu dan diserempangkannya kembali melingkari pundak dan pinggangnya. Â Dengan dibantu tongkat di tangannya ia berjalan pelan menuju arah mulut goa dari mana semalam ia masuk. Â
Namun betapa terperanjat hatinya, mulut goa itu sudah tertutup timbunan tanah dan batu. Tak ada celah sedikitpun untuk melihat goa di seberang sana.
"Sialan." Umpat pemuda itu.
Ia mengedarkan pandangannya berkeliling.  Goa itu memang sangat lebar dan luas.  Tapi tak ada lagi lubang yang dapat dipakainya untuk jalan keluar.  Lewat langit-langit ? Jelas tidak akan mungkin dia meloncat ke atas sana, jaraknya tidak akan terjangkau.  Kecuali ada sulur tanaman merambat yang jatuh menggantung hingga lantai goa. Â
Baru ia menyadari bahwa ia telah terjebak di dalam goa tanpa ada jalan keluar. Â Kakek itu ternyata sangat kejam, ia tidak membunuhnya lewat jalan bertempur, tapi membiarkannya mati kelaparan di dalam goa.
"Kakek gila. Â Semoga mati tersambar petir dia. Â Mengurungku di tempat ini untuk mati kelaparan. Â Setan alas." Umpat pemuda itu. Â Dengan geramnya pemuda itu lantas berteriak..
"Kakek gilaaaa, anak demittt.." Â Demikian ia lakukan berulang-ulang. Â Namun ia terkejut ketika terdengar suara lain mengumandang di ruang itu.
"Hahahaaha, kau akan mati kelaparan anak muda. Â Ilmumu terlalu dangkal untuk bisa melawanku. Â Kau harus mengumpulkan perbendaharaan ilmu lagi, agar mampu melawanku. Â Selamat tinggal pemuda, sebulan lagi aku akan datang untuk melihatmu, apakah tubuhmu sudah habis dimakan belatung. Â Hahahaha."
"Setan kau kek. Â Kesinilah, aku bunuh kau." Â Katanya dengan marah. Â Namun ditunggu-tunggu suaranya lagi kakek tua itu tidak pernah muncul. Â Kakek itu tentu telah pergi meninggalkan dirinya sendirian dalam goa.
Pemuda itu kemudian duduk lesu. Â Ia telah kehilangan harapan melanjutkan hidupnya. Â Karena ia tidak akan bisa keluar dari goa itu. Â Meskipun demikian ia masih mengedarkan pandangnya berkeliling. Â Tapi tak ia temukan lubang satupun untuk jalan keluar. Â
Namun perhatiannya tertarik dengan suara gericik air yang tertangkap telinganya. Â Ia lantas berdiri dan memperhatikan dari mana arah datangnya suara itu. Â Ketika sudah memastikan dari mana sumber suara itu, bergegas ia berjalan menghampiri.
Ternyata suara itu berasal dari sebuah ceruk di dinding goa. Terlihat di sana ada air yang memancar dari dinding dan jatuh ke lantai goa, Â kemudian mengalir beberapa depa dan hilang menyusup celah tanah. Â
Ia bergegas menadahkan kedua tangannya untuk mengambil air, kemudian meminumnya dengan lahap. Â Ternyata air itu sangat segar sekali, namun ada rasa sedikit pahit di lidahnya. Â Ia tidak memedulikan rasa pahit itu, ia terus mengambilnya dan meneguknya sampai dirasakannya kerongkongannya tidak terasa kering lagi.
Selesai minum ia memperhatikan sekitar. Â Ternyata ceruk itu cukup luas. Tapi yang mengherankan di pojok ceruk itu ada amben bambu yang bisa dipakai untuk berbaring. Â Di dekatnya beberapa alat-alat dapur, kuwali tanah, dua buah kendil, cobek batu, gentong atau tempayan yag tertutup lempengan batu.Â
Ia hampiri tempayan itu, ia angkat lempengan batunya, ternyata di dalamnya tersimpan beras yang cukup banyak. Â Di pojok lain setumpuk kayu bakar yang sudah kering, di atas tumpukan kayu terdapat parang, pisau dan jemparing. Beberapa anak panah terwadahi dalam andong tergantung di dinding ceruk.
Kakek tua itu ternyata menghuni goa ini. Â Apa yang dilakukan di sini ? Â Sendirian di dalam goa di tengah hutan lebat ? Â Benar-benar menyimpan misteri. Â Pemuda itu kemudian keluar dari ceruk itu, ia ingin mengamati bagian goa yang lain.
Ketika ia mengamati dinding goa di sebelah kanan ceruk, ia ragu-ragu sejenak, merasa tidak yakin terhadap penglihatannya. Â Ia melangkah mendekat, dan meraba dinding itu dengan tangannya. Â
Ternyata dinding itu penuh dengan lukisan gambar orang yang tengah memperagakan jurus-jurus silat. Â Ia berjalan pelan sambil terus mengamatinya hingga berpuluh langkah. Â Benar itu adalah jurus ilmu kanuragan dari sebuah perguruan tertentu. Â
Tapi sepertinya ia mengenal jurus-jurus itu, iapun kembali dari awal mengamati gambar-gambar itu. Â Ia mencoba memperagakan dengan tangan dan kakinya.
"Benar ! Â Ini adalah ilmu dasar perguruan Cemara Sewu. Â Aku pernah berlatih jurus ini saat awal berguru." Pikirnya.
Pemuda itu terheran-heran. Â Di goa ini ternyata ia seolah menemukan sebuah kitab perguruannya. Â Dari gambar itu dirinya baru menguasai separo dari jurus yang dimiliki perguruannya.
Ia lanjutkan pengamatannya, setelah gambar-gambar tentang berbagai jurus, di dinding yang lain ia saksikan gambar penggunaan jurus itu dalam sebuah perkelahian. Â Kemudian permainan jurus dengan menggunakan senjata. Â Yang terakhir adalah petunjuk untuk meningkatkan tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh, dan membangkitkan tenaga sakti dalam diri serta menyalurkannya ke anggota badan.
Pemuda itu beristirahat sejenak, setelah mengamati semua gambar di dinding goa. Â Tumbuh beribu pertanyaan terhadap kakek tua itu. Â Apa maksudnya mengurung dirinya di sini ? Â Di dalam goa yang ternyata merupakan kitab perguruannya ? Â Ia mengingat-ingat lelaki tua itu sejenak. Â
Namun ia terhenyak, teringat perkataan kakek tua itu saat dirinya mengumpatinya.
"Ilmumu masih dangkal. Â Kau harus mengumpulkan lagi perbendaharaan ilmu sebelum melawanku."
Akhirnya pemuda itu sadar, kakek itu tidak berniat untuk membunuhnya dengan mengurungnya di goa ini, tetapi ia mengharapkan dirinya menambah perbendaharaan ilmunya. Belum seluruh ilmu ia kuasai dari perguruannya, terbukti dari gambar-gambar ini, ia baru mempelajari sepertiganya saja.
"Baru seupil ilmu kenapa diri ini sudah merasa hebat, Â benar kata kakek itu bahwa aku pemuda sombong." Katanya dalam hati.
Pemuda itu bangkit dan berjalan lagi mendekati titik awal gambar-gambar itu. Â Iapun mengulang kembali pelajaran dasar yang telah dia kuasai. Â Semula ia lakukan satu persatu, masing-masing jurus ia peragakan. Â Ia pelajari lagi jurus itu di mana istimewanya dan di mana kelemahannya. Â
Kemudian bergerak merangkai satu jurus dengan jurus lainnya. Sehari penuh ia hanya mampu melatih kembali sepuluh jurus, padahal di dinding terdapat sekitar delapan puluh jurus dasar. Berapa bulan ia harus sendirian di goa ini ?
Ketika capek ia istirahat, dengan duduk atau berbaring di lantai goa. Â Jika haus ia tinggal mengambil air dengan menadahkan kedua tangannya kemudian menghirupnya hingga puas.
Seharian pemuda itu hanya mengisi perutnya dengan air, namun entah kenapa ia tidak merasa lapar.
Malam hari ia tidak bisa menyaksikan gambar-gambar itu. Â Apa yang bisa dilakukan adalah mengulang kembali apa saja yang telah ia lakukan tadi siang. Â Tidak bosan-bosannya ia mengulang-ulang sebuah gerakan, sambil terus otaknya bekerja, mengamati dan membayangkan kemungkinan penggunaan jurus itu. Â
Hingga tengah malam ia baru berhenti, keringatnya mengalir deras membasahi tubuhnya yang telanjang dada. Â Ia lantas beristirahat di atas amben bambu, mengatur nafasnya dan mencoba mengheningkan diri dalam meditasi.
Pagi hari sesudah bangun dari tidur, ia merasakan badannya menjadi segar. Â Ia gerak-gerakan tangan dan kaki beberapa saat untuk melancarkan darahnya. Â Kemudian ia berlari-lari beberapa putaran di goa itu. Â Setelah itu ia lanjutkan kegiatan pagi itu dengan berlatih lagi. Â
Masih seperti kemarin ia mempelajari jurus-jurus satu persatu, namun tingkatannya sudah jurus-jurus lanjutan. Â Ia rangkai jurus itu, mulai dari awal hingga jurus terakhir yang ia pelajari hari ini.Â
Nampak sebuah rangkaian jurus yang indah ia mainkan, semakin lama semakin cepat dan bertenaga. Â Ketika matahari nampak di lubang langit-langit goa ia hentikan sejenak. Â Ia basahi kerongkongannya dengan air seperti biasanya.
"Satu setengah hari aku tidak makan di sini, ditambah waktu setengah hari dalam perjalanan dari pasar sampai hutan, kemudian semalaman saat  pingsan, segenggampun perutku belum terisi makanan.  Tapi kenapa aku tidak merasa lapar.  Ia hanya aku isi dengan air yang keluar dari dinding goa itu. Badankupun masih terasa segar dan kuat, apakah air itu air ajaib, misterius, aneh ? "Â
Ia kembali mengambil air, mengamati sejenak. Â Tak ada bedanya dengan air-air yang lain. Â Namun saat meminumnya selalu terasa sedikit pahit rasanya. Â Ia lantas meminumnya lagi.
Karena dua hari ia tidak mandi, keringatnya juga bercucuran terus, maka pemuda itu segera melepas pakaiannya. Â Dengan tempurung kelapa yang ada di situ ia membasahi tubuhnya dan menggosok-gosok debu yang melekat di tubuhnya. Â Ia merasakan semakin segar badannya setelah mandi.
Ia memutuskan untuk menanak nasi hari ini. Â Badannya tidak boleh ia paksa hanya minum air saja. Â Perutnya harus ia isi dengan makanan, agar tenaganya benar-benar pulih kembali.
Segera ia mengambil beras dua genggam, memasukkannya dalam kendil, setelah membersihkannya dengan air, ia tanak beras itu dalam tungku batu di ceruk goa.
Saat berlari-lari melingkari goa, ia ingat terdapat beberapa tanaman lumut tumbuh di dinding goa itu. Â Ia lantas mencari tanaman itu. Â Ia tampung hasil pencariannya dalam tempurung kelapa, kemudian ia cuci untuk menghilangkan gumpalan tanah di akar-akarnya. Â
Lumut-lumut hijau itu ia campur dalam beras yang ia tanak. Sebentar saja nasi telah masak. Â Hari itu ia isi perutnya dengan nasi putih yang telah bercampur dengan daun-daun lumut hijau sebagai sayurnya. Â Ternyata lumut-lumut itu enak juga, gurih dan sedikit manis.
Setelah makan ia berisitirahat. Â Sambil duduk dipinggir amben bambu ia gerak-gerakkan kaki. Tiba-tiba tumitnya menyenggol benda di bawah amben bambu. Â Iapun menengoknya, ternyata di bawah amben itu terdapat sebuah peti kecil. Â Ia tarik benda itu keluar, dan ia buka tutupnya. Â
Nampak di dalamnya terdapat dua jenis senjata. Â Dua buah pedang tipis kembar, dan sehelai cambuk berwarna merah. Â Ia ambil cambuk itu, panjangnya sekitar satu setengah depa. Â ia gerakkan tangannya untuk melecutkan cambuk itu. Maka terdengar suara ledakan yang keras menggema di dalam goa.
Ia pandangi benda itu sebentar, kemudian memasukkan kembali ke dalam peti. Â
Ia tidak tertarik dengan pedang itu, pasti pedang itu dibuat untuk digunakan seorang wanita. Â Pedang itu tipis dan lentur, bobotnyapun sangat ringan. Â Cocok untuk dimainkan seorang wanita yang tidak perlu tenaga besar.
Tak ada niat tumbuh dalam hati Sembada untuk keluar dari goa itu. Kini perhatiannya semakin bulat untuk mempelari ilmu yang tergambar di dinding. Ia ingin menguasai semuanya sampai tuntas. Jika nanti bisa keluar goa ia telah menyempurnakan bekal ilmunya sampai tuntas.
"Puncak ilmu yang tergambar pada gambar terakhir di dinding goa ini harus bisa aku kuasai" demikian tekad hatinya.
Sembada bangkit dari tempat duduknya. Ia merasa sudah cukup lama beristirahat. Makanan dalam lambungnya tentu telah turun, tak mungkin perutnya sakit bila ia berlatih lagi.
Demikianlah sebentar saja ia telah menggerakkan tubuhnya. Mengulang-ulang semua jurus yang telah dipelajari, mulai dari awal hingga akhir jurus. Baik yang telah ia pelajari di padepokan maupun jurus lanjutan yang tergambar di dinding goa.
Tak ada bosan-bosannya Sembada melakukan itu, meski telah berpuluh-puluh kali ia lakukan. Tubuhnya telah basah lagi oleh keringat, yang mengucur deras dari setiap lubang pori-pori dipermukaan kulitnya.
Kini Sembada telah dapat meningkatkan kecepatan geraknya. Dalam satu kedipan mata ia mampu menggerakkan dua sampai tiga jurus. Geraknya indah seperti kesatria yang tengah memperagakan tarian perang yang dahsyat.
Gerak tangan dan kakinya seolah mampu menyibak udara dalam sekejab. Menimbulkan bunyi yang semakin lama semakin keras. Pertanda ilmu tenaga dalamnyapun juga semakin meningkat.
Demikianlah Sembada membaja dirinya dalam latihan-latihan yang keras, penuh semangat dan terus menerus. Tak terasa waktu cepat berlalu. Rupanya matahari segera kembali ke peraduannya lagi. Kegelapan menyelimuti goa saat Sembada menghentikan latihannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H