Mohon tunggu...
Agus Wahyudi
Agus Wahyudi Mohon Tunggu... Akuntan - Guru SD, mencoba belajar menulis dan mendongeng

Guru SD, sekarang tinggal di Lampung.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Orang Sabah Itu Ramah: Sebuah Pengalaman Saat Solo Touring Sepeda dari Kota Kinabalu

30 Desember 2021   11:03 Diperbarui: 3 Januari 2022   19:45 2269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bus mini Cik Man yang membawa saya ke Kota Merudu (Dokpri)

Dari sebelah kanan terdengar sebuah truk akan melintas. Saya mengarahkan sepeda di jalan menanjak itu ke sisi kiri. Saya kehilangan momentum dan terpaksa harus mengubah gear supaya mengayuh lebih ringan. KLEK! Hanger rear derailleur sepeda saya patah saat menanjak. Saya meminggirkan sepeda di arah berlawanan, makan perbekalan sambil menunggu adanya bus mini yang lewat menuju Kota Kinabalu. Baru sebentar menunggu, sebuah bus mini lewat, pengemudinya turun demi melihat keadaan saya yang sendirian di jalan sepi yang mirip jalur selatan pulau Jawa. Cik Man nama pengemudi bus mini itu. Ia kebetulan lewat karena ingin pulang kampung ke Kota Merudu.

---

Sudah enam bulan saya bekerja sebagai tenaga pendidik di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. Pengalaman pertama bekerja di negeri multikultur ini.

Sabah adalah salah satu negara bagian di timur Malaysia, terletak di Utara Kalimantan yang sebagian besar pekerja migran di perkebunan sawit adalah orang Indonesia.

Di dalamnya berdiri Gunung Kinabalu yang gagah, salah satu yang membuat saya begitu bersemangat karena saya dan anak laki-laki saya suka mendaki gunung. Siapa tahu nanti berkesempatan mendaki Gunung Kinabalu yang terkenal indah dengan manajemen pengelolaan gunung kelas dunia.

Beberapa teman yang pernah mendatangi negara Malaysia mengingatkan terkadang ada perilaku rasis, apalagi bagi orang “indon”. Tetapi, sejak awal saya tidak terlalu memperdulikan itu, karena toh jika ingin jujur, penduduk Indonesia pun banyak yang rasis juga.

Saya percaya bahwa sama seperti Indonesia, di Malaysia orang-orang baik akan lebih banyak dari orang-orang yang berperilaku rasis. Seringkali, berita buruk terasa lebih besar dari yang sebenarnya. Penasaran saya “menunggu” perlakuan rasis dari penduduk setempat: saat di kedai makan, pusat perbelanjaan, dan tempat umum lainnya.

Sejauh ini, saya belum “berjumpa” sama sekali dengan hal negatif itu, tetapi malah sebaliknya. Di mana-mana saya disapa ramah, senyum tulus dari orang-orang Sabah. Dan, pada saat saya mencoba melakukan perjalanan jauh dengan bersepeda, saya menemukan momen puncak keramahan orang Sabah.

Pengalaman berharga di atas saya alami saat melakukan solo touring dari Kota Kinabalu menuju Kudat. Perjalanan itu saya lakukan untuk mengisi waktu libur Natal, tanggal 24-26 Desember 2021. Saya berharap bisa mencapai The Tip of Borneo, titik 0 km paling utara dari pulau Kalimantan sore hari tanggal 24 Desember.

Saya merasa semua sudah saya persiapkan. Ban cadangan, pompa, obat-obatan darurat, alat untuk memperbaiki sepeda, pakaian, makanan, dan lainnya. Saya pun tidur cukup dan memenuhi nutrisi dengan makan malam, dan sarapan, memastikan saya punya karbohidrat yang cukup untuk kegiatan yang sangat melelahkan.

Saya sangat menikmati perjalanan tersebut dengan pemandangan gunung Kinabalu yang spektakuler. Senyuman orang-orang Sabah yang tinggal di sepanjang jalan menuju Kota Belud begitu ramah dan terasa begitu menyemangati saya. Sampai kemudian momen rusaknya sepeda saya di 22 km menuju Kota Merudu itu terjadi. Hanger tempat menggantungkan rear derailleur patah, dan sepeda tidak dapat digunakan kecuali dengan mengganti hanger itu. Sialnya, saya tidak membawa cadangannya.

Saya tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menunggu bantuan. Tidak mungkin saya berjalan kaki sejauh 128 km, balik ke Kota Kinabalu. Saya memutuskan untuk beristirahat, sambil memberi waktu untuk berpikir.

Di kepala saya hanya ada dua opsi: menunggu bus mini ke arah Kota Kinabalu dari Kudat, dan atau menunggu dijemput oleh teman dari sekolah di Kota Kinabalu. Kedua opsi itu saya pilih. Saya menelepon teman, juga menunggu bus mini sekaligus. Untung masih siang, untung tidak hujan!

Sekitar 30 menit menunggu, ada satu bus mini, sebuah Nissan Urban berjenis van yang datang dari arah Kota Kinabalu berbalik arah menghampiri saya. Ada seorang pengemudi dan istrinya di dalam van itu. Pengemudi turun dan dengan penuh senyuman saya menyambutnya.

“Nak pegi balik ke KK kah? Boleh saya ikut?”

“Maaf saya nak balik Kampung ke Merudu.”

Agak kecewa sebenarnya, tapi ada orang yang datang memberikan perhatian di tempat antah-berantah pasti tetap menyenangkan. Ia menanyakan apa yang terjadi dan saya menunjukkan hanger rear derailleur sepeda saya yang patah itu. Setelah mengobrol terkait perjalanan saya dari Kota Kinabalu, ia pun kembali ke arah tujuan.

Namun setelah beberapa ratus meter meninggalkan saya, mobil itu menepi. Cukup lama mobil itu berhenti di tepian jalan. Herannya, mobil itu berbalik dan kembali mengarah kepada saya.

“Jom ikut ke Pekan. Kamu kasih naik kamu punya sepeda. Di sana boleh cari kedai, bisa makan. Mana tau kamu boleh dapat kedai basikal di pekan.”

“Iya Cik, baik. Terima kasih.” Jawab saya senang.

Bus mini Cik Man yang membawa saya ke Kota Merudu (Dokpri)
Bus mini Cik Man yang membawa saya ke Kota Merudu (Dokpri)

Tanpa pikir lama saya naikkan sepeda saya, dan ikut menuju kota Merudu. Di dalam van itu, saya ngobrol banyak dengan pengemudi baik hati itu. Cik Man namanya. Ia menanyakan pekerjaan saya, tentang Indonesia, dan lainnya. Senang sekali rasanya saya mengikuti obrolan dari Bapak dan Ibu berhati mulia ini.

Cukup jauh ia mengantar saya, kira-kira 25 km saya tiba di pusat kota dan berhenti di sebuah kedai. Diam-diam saya ambil uang dari dompet saya, sebagai ucapan terima kasih. Tetapi, Ibu dan Cik Man tidak mau menerima uang itu. Saya hanya bisa tersenyum takjub dan mengulangi ucapan terima kasih saya. Kedua pasang suami-istri itu berlalu menuju tempat tujuan.

Saya berhenti di sebuah kedai, memesan es kopi dan makanan untuk makan siang. Sambil menunggu, saya menghubungi teman yang akan menjemput dan memberitahu posisi saya terbaru. Selesai makan, saya berpikir akan lebih mudah ke SPBU terdekat supaya mudah ditemukan nanti.

Saya meninggalkan kedai, menuntun sepeda menuju SPBU Shell. Saya berganti pakaian di toilet lalu duduk di dekat tempat saya memarkir sepeda. Menunggu di SPBU serba salah memang, karena tidak bisa bermain HP untuk mengisi waktu. Saya cuma celingak-celinguk melihat mobil lalu-lalang datang mengisi dan meninggalkan pompa bensin setelah tangki bahan bakar terisi.

Setelah agak lama duduk menunggu, seeorang keluar dari mobil Toyota Hilux double cabin berwarna jingga metalik. Laki-laki seumuran saya itu bersalaman, menyapa ramah. Tetapi saat bersalaman ada yang aneh dengan telapak tangannya. Ternyata, ia menyelipkan beberapa puluh ringgit untuk saya, jumlah yang cukup besar.

“Pak Cik tidak apa saya, uang ini untuk Pak Cik saja, saya sudah mempersiapkan uang untuk perjalanan ini.” Ucap saya berupaya menolak.

“Tidak apa, saya juga suka bersepeda. Janganlah tolak rejeki.” Ucapnya ramah.

Dibilang jangan tolak rejeki, luluh hati ini. Saya akhirnya menerima uang itu.

“Jom saya antar ke kedai basikal dekat sini.” Ajaknya

Dengan senang hati, saya menaiki sepeda ke Hiluxnya. Ternyata di dalam Hilux itu ada istri dan kedua anaknya yang dengan ramah tersenyum kepada saya. Kurang dari 15 menit perjalanan, kami tiba di kedai. Di situ saya mengobrol, berkenalan. Penolong berhati berlian ini bernama Cikgu Pong. Dipanggil Cikgu karena profesinya adalah pengajar, sama seperti saya.

Cikgu Pong bercerita jika ia juga punya hobi bersepeda, atau touring dengan motornya ke tempat-tempat eksotis di Sabah, lalu berkemah. Ia juga pernah melintasi batas negara dengan motornya, masuk ke tengah pulau Kalimantan Indonesia.

Ketika pemilik kedai sepeda bilang kalau dibengkelnya tidak tersedia hanger rear derailleur yang sama seperti milik saya yang patah, Cikgu Pong mendesak pemilik bengkel itu untuk terus mencarinya.

Cikgu Pong ternyata kenal baik dengan pemilik kedai sepeda itu. Pemilik kedai sepeda itu pun pamit pulang ke rumahnya untuk mencari suku cadang itu di gudang rumahnya.

Tidak lama ia kembali, dan mencocok-cocokkan hanger rear derailleur baru yang dibawanya. Lagi-lagi Cikgu Pong memintanya untuk mencoba dulu dipasangkan di sepeda saya. Dan, ternyata berhasil!!! Hanger yang dibawanya cocok di sepeda saya. Ongkos pasang dan harga suku cadangnya adalah RM 38. Cikgu Pong kembali ke mobilnya, mengambil uang untuk membayar perbaikan sepeda saya. Untung saya lebih cepat mengambil uang, malu rasanya sudah dibantu sebegitu besarnya, masih juga dibayari ongkos perbaikan sepeda saya.

Selesai sepeda saya diperbaiki, saya pamit untuk kembali ke SPBU Shell, tempat saya menunggu semula. Tentu saja, saya meminta untuk bertukar nomor telpon, siapa tahu ada kesempatan untuk bertemu kembali dengan Cikgu Pong, siapa tahu saya punya kesempatan untuk berbalas budi.

Sambil mengobrol tadi dan mengayuh sepeda kembali ke SPBU Shell, dalam hati saya berbicara dengan diri sendiri, betapa mulianya Cikgu Pong ini. Memberi uang, mengantar saya ke bengkel sepeda, menemani dan mengobrol sampai sepeda saya selesai diperbaiki, bahkan hampir saja membayari biaya perbaikannya. Dan itu dilakukan kepada saya, orang yang sama sekali tidak dikenalnya, orang Indonesia pula.

Lebih dari itu, ia menunda agenda bersama keluarganya, membiarkan istri dan anak-anaknya menunggu sampai urusan membantu saya selesai sepenuhnya.

Ketika berpamitan, istri dan anak-anaknya melambaikan tangan dan tersenyum tulus, tidak ada tanda jenuh menunggu di dalam mobil selama hampir satu jam suaminya “mengurusi” saya. Sebuah ketulusan yang tiada duanya dari keluarga Cikgu Pong ini.

Ketika sampai di SPBU Shell, Pak Aksar dan Pak Eko sudah menunggu di mobil van sekolah di pojokan pom bensin itu. Ban depan sepeda dilepas dan sepeda Polygon Path berwarna biru dimasukkan ke tengah van dalam posisi dibalik. Aman sudah!

Di tengah perjalanan kami singgah di Masjid untuh sholat Ashar. Sebentar saya mengecek handphone, dan saya mendapati pesan masuk Cikgu Pong yang menanyakan posisi saya dan mendoakan perjalanan saya lancar dan dimudahkan. Kami tiba di sekolah selepas Magrib.

sepeda saya di evakuasi di dalam van (Dokpri)
sepeda saya di evakuasi di dalam van (Dokpri)
---

Malam hari setelah Isya, 25 Desember, saya berjalan menuju sekolah untuk mengambil van, ingin mengantar teman-teman saya yang akan berkemah di Bukit Botak. Kebetulan jalan menuju sekolah gelap karena tidak ada lampu penerangan jalan. Dari arah berlawanan sebuah motor lewat. Sempat motor itu melewati saya, tetapi kemudian berbalik dan menghampiri saya.

“Nak kemana? Jom saya antar.” Tanyanya menawarkan untuk mengantar saya

“Terima kasih Cik, saya nak ke sekolah sudah dekat.” Jawab saya sambil menunjuk gerbang sekolah yang hanya tinggal beberapa meter di hadapan.

Empat pertolongan kepada saya berturut-turut dalam satu hari. Betapa saya harus bersyukur dikelilingi orang-orang baik. Cik Man dan istrinya, Cikgu Pong dan keluarga, Pak Eko dan Pak Aksar yang meluangkan waktu dan tenaganya berjam-jam untuk menjemput saya dari sekolah, dan terakhir pengendara motor yang pasti tidak kenal saya.

Semoga Allah memurahkan rezeki, menganugrahkan kesehatan dan memberkahi mereka dan keluarga yang membantu saya disaat-saat sulit.

Sebuah pengalaman batin yang luar biasa!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun